Oleh: Anas Febriyanto
Anggota KM3Nas DPP IMM & Guru SMP Muhammadiyah 1 Surabaya
Muhammadiyah adalah gerakan yang lahir dari keberanian berpikir maju. Sejak awal berdirinya oleh KH Ahmad Dahlan, pendidikan telah menjadi ruang perjuangan untuk melahirkan manusia berilmu, berakhlak, dan berdaya guna. Kini, lebih dari satu abad, sekolah-sekolah Muhammadiyah tumbuh menjadi salah satu jaringan pendidikan Islam terbesar di Indonesia.
Namun, pertanyaan reflektif tetap perlu diajukan: apakah seluruh sekolah Muhammadiyah benar-benar berjalan dengan karakter, arah, dan ruh gerakan seperti yang dicita-citakan?
Dari pertanyaan inilah urgensi besar itu muncul—keharusan menghadirkan sertifikasi Guru Kemuhammadiyahan dan pembina ekstrakurikuler sebagai instrumen penjamin mutu ideologis dan profesional.
Identitas Ideologis dan Makna Ekstrakurikuler
Desakan sertifikasi muncul karena identitas Muhammadiyah tidak boleh berhenti sebagai tulisan di spanduk atau plang sekolah. Identitas itu harus hidup dalam nilai, cara berpikir, dan karakter siswa yang dibentuk melalui proses pembelajaran. Guru Kemuhammadiyahan memegang peran vital sebagai penjaga ruh tersebut. Sertifikasi menjadi mekanisme yang memastikan bahwa guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga menjadi representasi nyata Islam berkemajuan yang menjadi fondasi gerakan ini.
Ekstrakurikuler pun tidak dapat dipandang sekadar pengisi waktu luang. Tapak Suci melatih keberanian, Hizbul Wathan membentuk kepemimpinan, IPM mengasah intelektualitas dan organisasi, sedangkan kegiatan baca tulis Al-Qur’an menguatkan estetika dan kedalaman spiritual. Namun semua itu berpotensi berubah menjadi rutinitas tanpa makna jika pembinanya tidak memiliki visi, metode, dan pemahaman ideologis. Karena itu, sertifikasi pembina ekstrakurikuler sangat penting agar setiap kegiatan bukan hanya aktif, tetapi terarah, bermakna, dan berfungsi sebagai proses kaderisasi yang berkesinambungan.
Profesionalisme dan Peran Strategis Pimpinan Muhammadiyah
Dunia pendidikan terus bergerak cepat, sementara banyak guru Kemuhammadiyahan maupun pembina ekstrakurikuler masih bekerja berdasarkan pengalaman, bukan standar kompetensi. Padahal, pendidikan Muhammadiyah bukan semata amal usaha, melainkan investasi peradaban. Sertifikasi menjadi ukuran yang menegaskan kualitas, komitmen, dan profesionalisme para pendidik yang bertugas membangun mutu sumber daya manusia.
Agar wacana sertifikasi ini tidak berhenti sebagai ide, pimpinan Muhammadiyah perlu bergerak menata sistem. Langkah itu dapat diwujudkan dengan menetapkan kebijakan nasional yang terstruktur dan berkelanjutan, melibatkan PTMA dan majelis terkait sebagai pusat pelatihan, menyediakan insentif serta jalur karier berbasis kompetensi, dan memastikan sertifikasi terintegrasi dengan sistem penilaian mutu sekolah. Bila itu dilakukan, sertifikasi bukan menjadi beban, tetapi justru penghargaan atas profesi sebagai pendidik kader persyarikatan.
Jika sistem sertifikasi tersebut terbangun, sekolah Muhammadiyah akan memiliki guru yang memahami ideologi gerakan, pembina ekstrakurikuler yang terlatih dan visioner, proses kaderisasi yang hidup dan terukur, serta identitas sekolah yang kokoh di tengah kompetisi pendidikan. Pada akhirnya, sekolah Muhammadiyah tidak hanya dipercaya karena akreditasi atau fasilitas, tetapi karena karakter, kultur, dan keunggulan nilai yang membedakannya dari lembaga lain.
Pendidikan adalah denyut jantung Muhammadiyah. Karena itu, sertifikasi guru Kemuhammadiyahan dan pembina ekstrakurikuler bukan sekadar agenda administratif, tetapi strategi peradaban. Sudah saatnya pimpinan Muhammadiyah menyatakan bahwa langkah ini bukan hanya penting, melainkan wajib direalisasikan. Sebab, masa depan Muhammadiyah tidak ditentukan oleh banyaknya gedung yang berdiri, tetapi oleh siapa yang mengisinya dan ruh apa yang mereka hidupkan. (*)
0 Komentar