Oleh: M. Ainul Yaqin Ahsan MPd
Pengasuh LKSA Muhammadiyah Rungkut
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera kembali membuka kenyataan pahit tentang rapuhnya manusia di hadapan alam. Dalam hitungan jam, hujan deras menjelma arus yang mencabut rumah, memutus jalan, menenggelamkan harapan, dan memisahkan keluarga. Ratusan orang terenggut nyawa, hilang, atau mengungsi dengan pakaian seadanya, sementara lumpur menjadi saksi betapa cepatnya hidup dapat berubah.
Namun bagi seorang Muslim, bencana tidak berhenti sebagai tragedi fisik, melainkan ayat kauniyyah, yaitu tanda-tanda Allah di alam semesta yang mengajak manusia membaca pesan di balik peristiwa.
Islam tidak mengajarkan kita menatap bencana hanya sebagai fenomena meteorologi, bukan pula mengajarkan kita tergesa-gesa menyebutnya hukuman. Bencana adalah ruang tafakur yang Allah buka bagi seluruh masyarakat.
Musibah Tidak Pernah Lepas dari Izin Allah
Al-Qur’an menegaskan:
مَاۤ أَصَابَ مِنۡ مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ اللّٰهِ
“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah.” (QS. At-Taghābun: 11)
Ayat ini bukan meniadakan rasa sedih, tetapi memberikan pegangan: apa pun yang terjadi tidak pernah luput dari ilmu Allah. Musibah bukan peristiwa acak, tetapi hadir membawa pesan.
Imam al-Qurthubi dalam Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Juz 18, hlm. 136) menafsirkan ayat ini sebagai penghibur bagi orang beriman bahwa musibah tidak terjadi kecuali dalam bingkai kebijaksanaan Allah.
Makna Musibah
1. Musibah sebagai Ujian Keimanan
Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفِ وَالْجُوعِ…
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah janji bahwa orang beriman pasti diuji agar kualitas imannya meningkat. Musibah di Sumatera menjadi ruang untuk melihat sejauh mana kita bergantung kepada Allah ketika segala penopang dunia runtuh.
2. Musibah sebagai Penghapus Dosa
Nabi bersabda:
“Tidaklah seorang mukmin ditimpa keletihan, penyakit, kesedihan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah hapuskan sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari No. 5641; Muslim No. 2573)
Hadis ini dijelaskan oleh Imam an-Nawawi bahwa musibah adalah bentuk kasih sayang Allah karena Ia membersihkan dosa dengan cara yang menyelamatkan hamba pada hari kiamat.
3. Musibah sebagai Peringatan
Kerusakan alam juga merupakan tanda yang harus dibaca:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ…
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan akibat perbuatannya, agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rūm: 41)
Menurut Ibn Katsir, kerusakan di alam, termasuk bencana ekologis, merupakan alarm agar manusia kembali kepada ketaatan dan menjaga bumi.
Bencana Bukan Selalu Azab
Para ulama sepakat bahwa musibah tidak otomatis berarti azab. Imam an-Nawawi, Imam al-Ghazali, dan Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan: bagi orang beriman, musibah adalah ujian dan rahmat; bagi orang lalai, musibah adalah peringatan; dan bagi orang zalim, musibah bisa menjadi hukuman.
Kita tidak boleh menghakimi korban bencana. Allah maha mengetahui isi hati manusia. Yang diuji bukan hanya mereka yang terkena, tetapi seluruh masyarakat: diuji keimanannya, kepeduliannya, dan tanggung jawabnya.
Takdir, Sunatullah, dan Kelalaian Manusia
Dalam Islam, peristiwa alam tidak berdiri sendiri. Ia berjalan di atas dua rel: Takdir Allah dan sebab-akibat (kausalitas) yang Allah tetapkan sebagai sunatullah.
1. Sunatullah: Hukum Alam yang Tidak Berubah
Allah berfirman:
فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا
Artinya: jika hujan turun tanpa henti, sungai akan meluap; jika tanah jenuh air, ia akan melorot. Ini bukan “kemurkaan alam”, tapi hukum penciptaan yang bekerja. (QS. Al-Ahzāb: 62)
2. Kerusakan Alam
Banyak daerah rawan banjir dan longsor karena hutan gundul, sungai menyempit, resapan air tertutup beton, penambangan tanpa kendali. Semua ini termasuk fasad fil-ardh, kerusakan yang ditegaskan dalam QS. Ar-Rum: 41.
3. Kelalaian Manusia
Bencana sering lahir dari akumulasi pilihan manusia sendiri. Para ulama menyebutnya asbāb wa musabbabāt (Allah menetapkan akibat melalui sebab yang manusia lakukan).
Bagaimana Seharusnya Kita Menyikapi Bencana?
1. Sikap Spiritual
Nabi mengajarkan doa saat ditimpa musibah:
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا (HR. Muslim No. 918)
Doa ini bukan sekadar penghibur, tetapi juga mengajarkan harapan bahwa Allah tidak mencabut sesuatu kecuali memberi gantinya.
2. Sikap Sosial
Empati dalam Islam bukan pilihan, tetapi kewajiban:
“Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang mukmin, Allah akan hilangkan satu kesusahannya di hari kiamat.” (HR. Muslim No. 2699)
Setiap bantuan seperti air, makanan, pakaian, donasi, atau tenaga adalah bagian dari ibadah sosial.
3. Pembenahan Jangka Panjang
Bencana akan berulang jika hutan tidak dipulihkan, sungai tidak dibersihkan, tata ruang tidak diperbaiki, dan pembangunan mengabaikan risiko.
Banjir bandang dan longsor di Sumatera bukan sekadar air dari langit. Bencana adalah dialog senyap antara Allah dan manusia. Di dalamnya ada ajakan untuk kembali, bahan renungan untuk memperbaiki diri, peluang menghapus dosa, ujian kesabaran, dan kewajiban sosial.
Jika kita membaca peristiwa ini dengan jernih, kita tidak akan terjebak pada ekstrem menyalahkan pihak tertentu. Sebaliknya, kita melihat bencana sebagai ujian bagi hati, tanggung jawab bagi masyarakat, dan peringatan bagi bangsa.
Musibah adalah cermin. Yang ingin Allah perlihatkan adalah siapa diri kita sebenarnya: sebagai hamba, sebagai sesama, dan sebagai khalifah di muka bumi. (*)
Read more: https://klikmu.co/bencana-sumatera-apa-yang-sebenarnya-allah-inginkan-dari-kita/
0 Komentar