Penyebab Timbulnya Hasad (Iri dan Dengki) Menurut Al-Imam Ibnu Qudamah

Oleh: Fajar Rachmadani, Lc., M.A., P.hD.

Pada pembahasan berikutnya, Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullāh memberikan kepada kita pemahaman atau pelajaran yang sangat berharga: apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan sifat hasad atau iri dan dengki masuk ke dalam diri seseorang.

Dalam kitabnya, beliau mengatakan:

Qāla al-muallif rahimahullāhu ta‘ālā wa nafa‘anā bi ‘ulūmihi, āmin. Wal-ḥasadu lahu asbāb.
Hasad (iri dan dengki) memiliki sejumlah penyebab.

Kata beliau, yang pertama adalah al-‘adāwah (permusuhan). Ini adalah salah satu sebab utama mengapa seseorang bisa iri atau dengki kepada orang lain.

Yang kedua adalah at-takabbur (kesombongan). Sifat sombong ini juga akan melahirkan hasad. Nanti akan kita bahas lebih rinci.

Yang ketiga adalah al-‘ujb (kagum kepada diri sendiri), yakni merasa lebih baik daripada orang lain. Ini juga menjadi faktor yang menyebabkan sifat hasad masuk ke dalam hati seseorang.

Yang keempat adalah ḥubb ar-riyāsah (cinta yang berlebihan terhadap jabatan atau kedudukan). Orang yang terobsesi dengan posisi, merasa tersaingi, bisa dilanda hasad.

Yang kelima adalah khubṡ an-nafs (jiwa yang kotor) dan bukhluhā (sifat kikir atau pelit). Jiwa yang tidak bersih mudah memunculkan penyakit hati, termasuk hasad.

Beliau menyampaikan, dari sekian sebab tersebut, yang paling dahsyat adalah al-‘adāwah wal-baghḍā’: permusuhan dan kebencian.

Kenapa bisa muncul kebencian dan permusuhan ini? Karena bisa jadi seseorang pernah dilukai, disakiti, atau dizalimi oleh orang lain. Ketika seseorang merasa tersakiti, lalu timbul rasa benci dalam hati, maka dari kebencian itulah lahir sifat hasad.

Kata Ibnu Qudamah:

“Wa rasakha fī nafsihil ḥiqdu.” Akan muncul kedengkian dalam dirinya.

Dan kedengkian itu akan menuntut at-tasyaffī wal-intiqām — keinginan untuk membalas dan dendam.

Tidak ada ceritanya orang tiba-tiba hasad tanpa sebab. Biasanya, dalam kehidupan sehari-hari, hasad muncul karena ada orang yang menghalangi tujuannya, pernah menyakiti hatinya, menyelisihinya, atau menzaliminya. Hal itu menimbulkan kebencian, dan dari kebencian lahirlah kedengkian.

Indikator Hasad

Apa indikator seseorang terkena hasad?

Ibnu Qudamah menyebutkan:

“Fa māhmā aṣāba ‘aduwuhu minal-balā’, fariḥa bidzālik.” Apabila orang yang dibenci itu tertimpa musibah, dia justru merasa senang.

Orang yang hasad akan merasa bahagia ketika orang yang dia hasadi mendapat musibah. Bahkan lebih parahnya, dia menganggap bahwa musibah itu adalah balasan dari Allah kepada orang tersebut.

Ini sangat berbahaya, apalagi jika yang kita hasadi adalah saudara sesama muslim, dan hanya karena urusan duniawi.

Sebaliknya, jika seseorang merasa tidak suka melihat orang lain mendapatkan nikmat atau keberkahan dari Allah, maka itu juga merupakan bentuk hasad.

“Wal-ḥasadu yalzamu al-bughḍ wal-‘adāwah wa lā yufāriqahumā.” Hasad itu pasti lekat dengan kebencian dan permusuhan, dan tidak bisa dipisahkan darinya.

Maka ketika seseorang membenci orang lain, itu masih dalam batas manusiawi. Mungkin karena pernah dizalimi, disakiti, atau diperlakukan tidak baik. Tapi orang yang bertakwa, kata Ibnu Qudamah, kebencian itu tidak akan mendorongnya untuk berbuat zalim.

“Wa innamā atqiyā yabḡhūn wa lā yaẓlimūn.” Orang bertakwa mungkin membenci, tapi tidak sampai menzalimi.

Artinya, dalam hidup ini memang ada orang yang menyebalkan, menjengkelkan. Tapi orang yang bertakwa tidak akan membiarkan kebenciannya membuatnya menyakiti atau menzalimi orang lain.

Bahkan, “wa yakrahuhā min nafsih” — dia tidak menyukai sifat itu ada dalam dirinya. Karena orang yang bertakwa memandang menyakiti orang lain seperti menyakiti dirinya sendiri.

Sombong, Salah Satu Penyebab Hasad

Penyebab kedua dari hasad adalah kesombongan (al-kibr).

Ibnu Qudamah mengatakan:

“Fahuwa yarā ba‘ḍ an-nās amāla aw wilāyatan fa-yatakabbara ‘alayhi wa yaqburu ‘alayhi.” Seseorang melihat orang lain mendapatkan harta atau jabatan, lalu merasa lebih tinggi darinya.

Nabi ﷺ bersabda:

“Lā yadkhulul-jannah man kāna fī qalbihi mitsqāl ḥabbah min kibir.” Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebiji zarah kesombongan.

Para sahabat lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami menyukai pakaian atau penampilan yang bagus? Apakah itu termasuk kesombongan?”

Rasulullah ﷺ menjawab:

“Inna Allāha jamīl yuhibbul jamāl.” Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.

Kemudian beliau menjelaskan bahwa kesombongan adalah:

“Baṭrul-ḥaqq wa ghamṭ an-nās.” Menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.

Jadi, kesombongan bukan tentang penampilan atau pakaian yang bagus, melainkan menolak kebenaran yang datang kepadanya, hanya karena status, jabatan, atau merasa lebih baik dari orang lain.

Wagamtunas

Apa itu gamtunas? Apakah gamtunas itu meremehkan atau merendahkan orang lain? Nah, ini sebenarnya adalah bagian dari definisi kesombongan menurut pandangan kenabian (definisi nabawi).

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan, “Mengapa sifat sombong ini menjadi sebab seseorang bisa memiliki rasa hasad, iri, dan dengki?” Karena orang yang sombong itu biasanya merasa bahwa dirinya adalah yang terbaik di dunia. Ia merasa tidak ada yang bisa menandinginya dan menganggap semua orang berada di bawah levelnya. Inilah yang disebut gamtunas.

Ketika ia melihat ada orang lain yang mampu mengunggulinya—misalnya, ia merasa dirinya paling pintar se-Indonesia, lalu ternyata ada orang yang lebih pintar—ia tidak suka. Ia khawatir orang tersebut menjadi rivalnya dan bahkan bisa mengalahkannya dalam hal kekayaan, kekuasaan, atau keilmuan.

Kenapa? Fayatakabbur ‘alaihi—ia khawatir orang lain akan menyombongkan diri kepadanya, dan ia sendiri tidak mampu mengungguli orang tersebut. Maka lahirlah perasaan hasad.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk keluar rumah, bergaul, mengikuti majelis ilmu, dan bertemu banyak orang. Tujuannya agar kita menyadari bahwa:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Di atas setiap orang yang berilmu, ada yang lebih berilmu.” (QS. Yusuf: 76)

Di atas orang yang saleh, ada yang lebih saleh. Di atas orang kaya, ada yang lebih kaya. Di atas orang dermawan, ada yang lebih dermawan. Maka, jika seseorang hanya berada di dalam rumah, seperti katak dalam tempurung, ia akan merasa dirinya yang paling baik, paling saleh—dan ini sangat berbahaya.

Maka dikatakan, salah satu penyebab munculnya hasad adalah takabur. Dalam istilah sekarang, mainnya kurang jauh. Orang yang tidak banyak bergaul akan mudah merasa komunitasnya paling baik, pengajiannya paling benar, kelompoknya paling mulia. Kenapa? Karena dolane kurang adoh, atau istilah lainnya kopine kurang kenthel.

Karenanya, kita perlu bergaul lintas ormas, lintas mazhab, agar wawasan kita terbuka, khazanah keilmuan kita bertambah, dan kita dijauhkan dari sifat takabur dan ujub.

Yakun asy-syakhsu yakhsha ayyafudhlahu ghairuhu, fala yahtamil dzalik.
Seseorang khawatir jika ada orang lain yang melampaui dirinya, dan ia tidak sanggup menerima kenyataan itu.

Ibnu Qudamah juga menukil beberapa firman Allah SWT untuk menjelaskan kenapa orang-orang kafir Quraisy begitu membenci Rasulullah ﷺ. Ketika Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui Malaikat Jibril ‘alaihissalam, mereka tidak suka. Kenapa? Karena mereka merasa lebih unggul dari Rasulullah ﷺ. Mereka merasa memiliki kedudukan, jabatan, nasab yang mulia.

Dalam Surah Az-Zukhruf ayat 31 disebutkan:

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ

“Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar dari salah satu dua negeri ini?”

Mereka ingin Al-Qur’an diturunkan kepada pemuka Quraisy, bukan kepada Muhammad ﷺ. Kenapa muncul sikap seperti itu? Karena ada rasa takabur—merasa lebih baik dari orang lain.

Dalam Surah Al-An’am ayat 53, Allah berfirman:

أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَا

“Apakah orang-orang ini yang diberi nikmat oleh Allah di antara kita?”

Mereka tidak terima. Mereka merasa lebih berhak dan lebih pantas menerima wahyu dibanding Rasulullah ﷺ.

Contoh dari Kaum ‘Ad

Dalam Surah Al-Mu’minun ayat 33 dan 34, Allah mengisahkan sikap kaum ‘Ad terhadap Nabi Hud ‘alaihissalam. Para pemuka mereka berkata:

مَا هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ

“Ia tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, ia makan seperti apa yang kalian makan dan minum seperti apa yang kalian minum.”

Mereka berkata demikian karena hasad. Kenapa yang dipilih sebagai nabi adalah Hud ‘alaihissalam, bukan mereka? Mereka tidak ingin kehilangan pengaruh dan pengikut.

Dalam ayat berikutnya, mereka berkata:

إِنْ أَطَعْتُم بَشَرًا مِّثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَّخَاسِرُونَ

“Jika kalian taat kepada manusia seperti kalian juga, sungguh kalian akan menjadi orang-orang yang merugi.”

Kalau kita bawa ke konteks kekinian, ini seperti perebutan followers. Antar dai, mubalig, atau aktivis dakwah bukannya saling mendukung, malah saling menjatuhkan, mencari kesalahan. Kenapa? Karena hasad. Karena ingin diakui. Karena haus validasi.


Faktor Kedua: Cinta Jabatan dan Kedudukan

Selanjutnya, kata Ibnu Qudamah, faktor lain yang melahirkan hasad adalah ḥubb ar-riyāsah wa al-jāh—cinta terhadap jabatan dan kekuasaan, serta haus akan pujian dan validasi.

Contohnya, seseorang merasa dirinya satu-satunya pakar dalam suatu bidang. Ia haus akan sanjungan. Kalau dipuji, ia sangat bahagia. Tapi ketika muncul kabar bahwa ada orang lain yang lebih hebat, lebih kompeten, lebih canggih, ia tidak suka. Bahkan, yang ekstrem, ia berharap orang itu mati atau kehilangan kelebihannya.

Wa aḥabba mautahu – Ia berharap saingannya mati, atau zawāl fadhlihi – berharap kelebihan orang itu hilang, agar ia tetap menjadi satu-satunya ahli dalam bidang tersebut.

Ya, as-syajā‘ah—dalam keberanian—termasuk bagian dari ibadah. Bahkan keberanian dalam beribadah merupakan ibadah itu sendiri. Bapak-Ibu yang dirahmati oleh Allah, ini sebagaimana yang pernah kita sampaikan. Setan itu, dan ini insyaallah akan kita bahas dalam pertemuan selanjutnya dalam kitab ini, memiliki sepuluh pintu untuk masuk ke dalam hati manusia. Jika setan gagal menggoda seseorang dengan kemaksiatan karena orang tersebut adalah ahli ibadah dan imannya kuat, maka ia akan menggunakan cara lain.

Cara yang kedua yang digunakan oleh setan adalah membisikkan kesombongan ke dalam hati orang itu. Ia membisikkan bahwa dirinya adalah orang paling ahli ibadah. Dibisikkan dalam hatinya bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Ini sangat berbahaya. Di sinilah letak talbīs iblīs—tipu daya iblis.

Jika iblis gagal menyeret manusia kepada maksiat, ia akan menjerumuskannya ke dalam kesombongan. Orang tersebut mungkin tidak berbuat maksiat, tetapi ia senang sekali jika dipuji.

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ

“Apabila kalian mendengar orang yang suka memuji, maka lemparkanlah debu ke wajah mereka.”

Hadis ini, jika dipahami secara tekstual, bisa berbahaya. Karena tentu kita tidak bisa memaknainya secara harfiah. Apalagi orang Indonesia, khususnya orang Jawa, terkenal suka basa-basi. Kalau lama tidak bertemu, basa-basinya itu biasanya berupa pujian: “Masyaallah, lama tidak bertemu, kok sekarang semakin sukses.” Kalau hadis ini dipahami secara literal, maka bisa-bisa kita mengambil debu dan melemparkannya ke wajah orang yang memuji. Alih-alih silaturahmi, yang ada malah ribut.

Jadi bagaimana memahami hadis ini?

Makna dari “lemparkanlah debu ke wajahnya” adalah bentuk metafora. Artinya, abaikan pujian itu. Jangan gubris. Jangan sampai pujian itu membuat kita besar kepala. Itu bentuk kesia-siaan. Kamu memuji sampai berbusa-busa, tapi aku tidak akan merespons. Itu maksudnya.

Bapak-Ibu yang dirahmati Allah, kata Imam Ibn Qudamah, salah satu sebab seseorang bisa terkena penyakit hasad, iri, atau dengki adalah ḥubbur-ri’āsah wal-jāh—cinta terhadap kedudukan dan ketenaran.

Dulu, para ulama Yahudi mengetahui tentang kenabian Rasulullah ﷺ. Mereka adalah orang-orang yang diberi kitab oleh Allah—kitab Taurat. Di dalam Taurat disebutkan ciri-ciri Nabi akhir zaman. Mereka tahu betul ciri-ciri tersebut. Karena itu, saat Rasulullah ﷺ masih kecil, sekitar usia 8 tahun, dan ikut pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam, seorang pendeta Yahudi bernama Buhaira atau Bahira memanggil Abu Thalib.

Pendeta itu bertanya, “Siapa anak ini?” Abu Thalib menjawab, “Ini keponakanku.” Pendeta itu kemudian mengatakan bahwa anak ini memiliki tanda-tanda kenabian sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab mereka. Ia berpesan kepada Abu Thalib, “Setelah selesai urusanmu di Syam, segera pulang dan jaga anak ini baik-baik. Karena kelak dia akan menjadi seorang nabi.”

Namun, wa qad kāna ‘ulamā’ul-Yahūd yunkirūna ma‘rifata an-Nabiyyi ﷺ—para ulama Yahudi itu mengingkari kenabian Nabi Muhammad ﷺ, meski mereka mengetahuinya. Kenapa mereka tidak mau beriman? Min la’nīhim—karena jika mereka beriman, maka jabatan dan kedudukan mereka sebagai tokoh akan tergeser. Mereka takut kehilangan jabatan.

Ini sama seperti orang yang jelas-jelas tahu seseorang itu zalim, tapi tetap dipuji-puji. Kenapa? Karena takut tidak mendapat bagian, takut kehilangan kedudukan.

Lebih lanjut, al-kibr (kesombongan) itu muncul karena khubtsun-nafsi—jiwa yang kotor—dan syuhh—sifat kikir terhadap hamba-hamba Allah. Ibn Qudamah mengatakan, ada orang yang tidak cinta jabatan, tidak gila pujian, tidak sombong, tapi begitu mendengar ada orang lain yang saleh, rajin ikut kajian, atau mendapatkan nikmat, ia tidak suka. Ketidaksukaan ini, jika bukan karena hati yang kotor, lalu karena apa?

Bahkan, ada orang yang ketika mendengar saudaranya terkena musibah, malah merasa bahagia. Ini tanda hatinya kotor.

Fahwa abadan yuhibbul idbir—dia selalu senang jika orang lain dalam kesulitan. Bahkan jika orang lain mendapat nikmat, dia merasa seakan-akan nikmat itu diambil dari dirinya.

Sebagian ulama membedakan antara bakhil dan syahīḥ. Bakhil adalah orang yang kikir terhadap hartanya sendiri, tidak mau mengeluarkannya. Misalnya diminta kurban Rp3 juta, berat sekali. Tapi syahīḥ adalah orang yang tidak suka kalau orang lain mendapat kenikmatan, padahal bukan dari hartanya sendiri.

Contohnya, Ustaz Arif mau sedekah kepada Mas Nalen, tapi ada orang lain yang tidak suka padahal itu bukan hartanya. Inilah syahīḥ—kikir dalam bentuk hasad. Tidak ada hubungan apa-apa, tidak ada permusuhan, tapi tidak suka jika orang lain mendapatkan nikmat. Kalau bukan karena hati yang kotor, karena apa?

Ini penyakit berat. Ibn Qudamah menyebutkan, wa mu‘ājatuhu syadīdah—mengobatinya sangat sulit. Karena tidak ada sebab rasional. Tiba-tiba saja muncul rasa tidak suka. Penyakit seperti ini adalah bagian dari jibillah—sifat buruk bawaan yang susah dihilangkan.

Jadi, Bapak-Ibu yang dirahmati oleh Allah, semua sebab yang kita bahas tadi adalah asbābul ḥasad—sebab-sebab yang melatarbelakangi seseorang memiliki sifat hasad.

Ketahuilah bahwa an-naas maulûduna baina aqwâmin taktsuru bainahumul asbâb, manusia lahir di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan berbagai sebab dan latar belakang. Di antara penyebab terjadinya hasad atau iri dan dengki, ada lima atau enam hal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Menurut Ibn Qudamah, hasad itu sangat sering terjadi antara satu sahabat dengan sahabat yang lain (al-ashdiqâ’), antara teman dengan teman (al-amtsâl), antara saudara kandung (al-ikhwah), bahkan juga di antara kerabat (banî ‘amm). Lihatlah bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihissalâm – kurang apa mereka? Karena hasad, mereka tega memperlakukan Nabi Yusuf sedemikian rupa.

Pesan moral dari kisah itu apa? Ketika Nabi Yusuf bermimpi, ia menceritakan mimpinya kepada ayahnya. Apa kata ayahnya? “Yâ bunayya lâ taqshush ru’yâka ‘alâ ikhwatika,” “Wahai anakku, jangan ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.” (QS. Yusuf: 5)

Mimpi saja dianjurkan untuk disimpan. Kenapa? Karena kita tidak bisa mengontrol hati orang lain, bahkan hati saudara kita sendiri. Maka salah satu rumus kesuksesan menurut para ulama adalah: jika kita punya rencana besar, cita-cita tinggi, atau harapan besar, tetapi tidak yakin bisa mempercayai orang lain – meskipun itu saudara sendiri – maka sebaiknya jangan diceritakan dulu.

Nabi Yusuf saja tidak boleh menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Apalagi kalau kita menceritakan lebih dari itu.

Kita harus pandai-pandai menjaga rahasia. Orang zaman sekarang baru proses saja sudah diposting ke media sosial. Padahal, siapa yang tahu? Bisa saja orang lain malah menjadi hasad. Tunjukkan saja hasilnya nanti. Prosesnya tidak perlu dipamerkan. Karena ketika dipamerkan, kita tidak bisa mengontrol hati dan persepsi orang lain. Bisa jadi orang lain malah berusaha menggagalkan langkah kita.

Dalam kisah Nabi Yusuf, salah satu saudaranya mendengar (menguping) cerita mimpi Yusuf. Maka terjadilah apa yang kemudian terjadi – semuanya bermula dari hasad.

Hasad itu bukan hanya terjadi antarorang yang tidak ada hubungan kekerabatan. Bahkan antar-saudara pun bisa terjadi.

Kenapa bisa begitu?

Hasad itu muncul karena beberapa sebab. Di antaranya adalah ketika dua orang atau lebih memiliki tujuan yang sama, dan tujuan itu terbatas, sempit, serta tidak mungkin diraih bersama.

Contoh: pemilihan kepala desa. Kepala desa hanya satu, sementara calon bisa sepuluh orang. Mereka semua punya tujuan yang sama, tapi jabatannya hanya satu. Di sinilah terjadi yang disebut oleh ulama sebagai tahâsud, tawârudul aqrâb ‘ala maqâshid, saling berbenturan untuk mencapai tujuan yang sama.

Maka, tak heran jika dalam realitanya, satu dengan yang lain saling hasad.

Ibnu Qudamah menjelaskan: “Tarâ al-‘âlim yahsudul ‘âlim dûnal ‘âbid” – Ulama hasad kepada ulama, bukan kepada ahli ibadah. Tidak ada ceritanya seorang ulama hasad kepada ahli ibadah. Kenapa? Karena profesinya berbeda.

Begitu juga: “Al-‘âbid yahsudul ‘âbid dunal ‘âlim,” ahli ibadah hasad kepada ahli ibadah yang lain, bukan kepada ulama. Tidak ada ceritanya orang alim hasad kepada orang awam. Untuk apa?

Berarti kalau ada ulama yang hasad kepada ulama lain, kemungkinan besar motivasinya adalah duniawi. Kalau motivasinya akhirat, tidak akan muncul hasad.

Misalnya, “Dulu subscriber saya dua juta, kok sekarang ada ustaz baru, subscribernya lebih banyak?” Akhirnya timbul hasad. “Bagaimana caranya menjatuhkan dia? Cari kesalahannya. Hancurkan kehormatannya.” Padahal dulunya pengajian dia seribu jamaah, sekarang kalah ramai dengan ustaz baru. Maka orang alim pun bisa hasad kepada orang alim. Itu tandanya orientasinya bukan akhirat, melainkan dunia.

Kalau motivasinya akhirat, maka nasihat itu diberikan dalam diam. Melihat ada kesalahan pada seorang dai, lalu berkata, “Saya ingin meluruskan. Ini bentuk cinta dan kepedulian saya.” Maka nasihat disampaikan secara pribadi. Japri.

Tapi hari ini, videonya dipotong, dikasih efek silang merah, lalu diviralkan: “Jangan dengarkan ustaz ini!” Itu bukan nasihat, itu membuka aib. Itu bukan nasîhah, tapi fadhîhah – bukan memperbaiki, tapi mempermalukan.

Begitu juga: at-tâjir yahsud at-tâjir, pedagang hasad kepada pedagang. Tidak ada pedagang hasad kepada ulama. Tukang sapu hasad kepada tukang sapu, bukan kepada tukang roti. Karena tujuan hidup mereka berbeda. Tidak mungkin orang yang tujuannya beda bisa saling iri.

Maka dikatakan oleh para ulama: fa ash-lul ‘adâwah at-tazâhum ‘alâ gharadhin wâhid – pangkal dari permusuhan, yang melahirkan hasad, adalah ketika banyak orang berebut pada satu tujuan yang sama, sementara tujuannya terbatas.

Coba kita renungkan penutup dari Ibn Qudamah: kalau semua orang di Indonesia menatap ke langit, apakah mereka saling hasad? Tidak. Kenapa? Karena langit itu luas. Semua bisa melihatnya. Kecuali yang buta – mohon maaf.

Kalau tujuan kita luas, maka tidak akan ada hasad. Tapi kalau tujuannya sempit, disitulah hasad muncul.

Apa yang luas itu? Ma’rifatullâh. Mengenal Allah. Akhirat.

Kalau orientasi kita akhirat, maka akhirat itu luas. Tidak akan habis dibagi. Tapi kalau orientasi kita dunia, maka dunia ini sempit. Maka muncul hasad, iri, dengki, dan akhirnya permusuhan.

Jogja saja hari ini sudah mulai sempit dan macet. Maka cara pandang kita harus diubah. Lihatlah pada tujuan yang luas, yaitu akhirat. Jika orientasinya akhirat, kita akan saling menasihati, saling mencintai, saling mendukung dalam kebaikan dan kesabaran, sebagaimana dalam firman Allah:

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 3)

Tapi kalau tujuan kita dunia? Maka jangan heran jika terjadi saling serang, saling menjatuhkan, saling iri, saling dengki.

Na‘ûdzu billâhi min dzâlik.
Wallâhu ta‘âlâ a‘lam bish-shawâb.



Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/10/penyebab-timbulnya-hasad-iri-dan-dengki-menurut-al-imam-ibnu-qudamah/

Posting Komentar

0 Komentar