al-Tuḥfah al-‘Irāqiyyah dan Jalan Sufi Ibn Taimiyyah
Hamdan Maghribi
Nama Ibn Taimiyyah kerap kali diasosiasikan dengan ketegasan hukum, kritik keras terhadap bid‘ah, dan polemik keagamaan yang tajam. Namun, banyak yang belum mengetahui bahwa ulama Ḥanbalī ternama ini juga menulis tentang aspek terdalam dalam kehidupan beragama; a‘māl al-qulūb, maḥabbah, tawakkal, maqāmāt dan aḥwāl.(Sa‘ad 1984; Al-Bakrī 2020) Dalam sebuah karya ringkas namun padat berjudul al-Tuḥfah al-ʿIrāqiyyah fī al-Aʿmāl al-Qalbiyyah,(Ibn Taimiyyah 2000) Ibn Taimiyyah mengeksplorasi kedalaman pengalaman spiritual umat Islam, dan mengajak pembaca untuk melihat bahwa spiritualitas sejati tidak harus tercerabut dari hukum syariat, melainkan justru bersumber darinya.
Tulisan sederhana ini akan membuka lembaran-lembaran kitab al-Tuḥfah yang menantang stereotip dan stigma terhadap Ibn Taimiyyah. Apa sebenarnya isi al-Tuḥfah? Mengapa kitab ini merupakan cerminan etika spiritual Ibn Taimiyyah? Dan lebih jauh lagi, apa kontribusi kitab ini dalam memahami relasi antara tasawuf dan ortodoksi dalam Islam?
Membaca Kembali Ibn Taimiyyah
Saat membaca judulnya, mungkin kita akan mengira bila Al-Tuḥfah adalah semacam panduan Sufi dari Ibn Taimiyyah. Ternyata, faktanya lebih kompleks. Al-Tuḥfah, yang secara harfiah berarti “Hadiah dari Irak tentang Amal-amal Hati”, membahas tema yang sangat khas dalam khazanah Sufi klasik: maqāmāt (tingkatan-tingkatan sufi) dan aḥwāl (keadaan-keadaan spiritual). Namun, pendekatan Ibn Taimiyyah dalam membahasnya sangat berbeda. Ia tidak menggambarkan bagaimana seorang sufi mengalami ekstase, fanā’, kasyf, atau ilhām. Sebaliknya, ia menulis secara sistematis dan ketat, seolah ingin menguji kembali konsep-konsep sufi dalam sinaran wahyu dan hukum syariat.(Ibn Taimiyyah 2000)
Sebagai karya spiritual, Al-Tuḥfah membahas kualitas-kualitas batin seperti tawakkal (berserah diri kepada Allah), maḥabbah (cinta kepada Allah), ṣabr (kesabaran), riḍā (kerelaan), wara‘ (kehati-hatian), dan syukur. Namun, tujuan utama Ibn Taimiyyah bukanlah meniru gaya sufi klasik seperti al-Qusyairī atau al-Hujwīrī, melainkan menyaring dan “memurnikan” tasawuf agar tetap setia pada teks-teks wahyu (nuṣūṣ) dan prinsip Ahl al-Ḥadīṡ.(Ibn Taimiyyah 2000; Post 2024)
Banyak orang menuduh Ibn Taimiyyah sebagai anti-Sufi.(Sirriyeh 2014; Post 2016; Anjum, n.d.) Tuduhan ini tidak sepenuhnya tepat. Dalam banyak karyanya, Ibn Taimiyyah mengungkapkan rasa hormat yang besar kepada tokoh-tokoh sufi awal seperti al-Junaid dan ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī.(Michel 1981; Makdisi 1973) Namun, ia menentang praktik-praktik tasawuf yang menurutnya menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ajaran waḥdah al-wujūd (kesatuan wujud) dan konsep quṭb (sumbu/poros spiritual) yang tidak punya dasar dalam teks wahyu. Dalam kerangka inilah Al-Tuḥfah ditulis. Tujuan Ibn Taimiyyah adalah mengembalikan istilah-istilah tasawuf Islam ke dalam jalur salaf al-ṣāliḥ, dengan menyelaraskan semua klaim spiritual dengan dua sumber utama: Al-Qur’an dan ḥadīṡ. Pendekatan “spiritualitas berbasis nuṣūṣ”,(Post dan Shah 2023) yakni bentuk spiritualitas yang tidak membiarkan pengalaman batin berdiri sendiri, tapi selalu merujuk kepada firman Tuhan dan petunjuk Nabi.
Dua Pilar Etika Ibn Taimiyyah
Salah satu aspek paling penting dari Al-Tuḥfah adalah bahwa etika spiritual Ibn Taimiyyah berdiri di atas dua pilar besar: pertama, kesesuaian dengan kehendak legislatif Tuhan (al-irādah al-syar‘iyyah), dan kedua, kesesuaian dengan kehendak ontologis Tuhan (al-irādah al-kauniyyah).(Ibn Taimiyyah 2000) Yang pertama menuntut ketaatan terhadap hukum-hukum syariat, sedangkan yang kedua menuntut penerimaan sepenuhnya terhadap takdir dan ciptaan Tuhan.
Bagi Ibn Taimiyyah, seorang sufi sejati tidak hanya taat secara syar‘ī, tetapi juga riḍā atas segala keputusan Tuhan dalam ciptaan-Nya, termasuk ujian dan penderitaan. Dengan kata lain, etika spiritualnya tidak berhenti pada kepatuhan, tetapi juga pada penyesuaian batin dengan realitas ketuhanan. Inilah titik temu antara fiqh, kalām, dan tasawuf dalam pemikiran Ibn Taimiyyah.
Dalam pembahasan tentang tawakkal, Ibn Taimiyyah menolak anggapan bahwa kepercayaan kepada Allah adalah maqām untuk ‘awwām saja. Ia mengkritik pandangan sebagian sufi yang mengatakan bahwa orang-orang terpilih sudah melampaui kebutuhan untuk tawakkal karena telah menyerahkan segala urusan kepada Tuhan secara total.
Tawakkal, Maḥabbah dan Walāyah
Ibn Taimiyyah berargumen bahwa tawakkal adalah inti dari tauḥīd rubūbiyyah (keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pengatur segala sesuatu), dan karenanya merupakan kewajiban bagi seluruh mukmin, termasuk para wali. Ia mengutip ayat Q.S. al-Fātiḥah: 5, iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn (hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan), sebagai ringkasan dari seluruh agama.(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah 2019) Di sinilah, menurut Ibn Taimiyyah, tawakkal menjadi ibadah batin yang mendalam, bukan sekadar kepasrahan pasif.(Al-Jauziyyah 2020)
Ia juga membagi manusia dalam empat kategori berdasarkan hubungan mereka dengan hukum Tuhan dan kepercayaan kepada-Nya. Yang paling terpuji adalah mereka yang menggabungkan ketaatan terhadap hukum dengan penyerahan total kepada kehendak ilahi. Di sinilah maqām tawakkal menjadi bukti dari spiritualitas yang otentik, yang tidak terlepas dari syariat, tetapi justru menyempurnakannya.
Cinta (maḥabbah) merupakan aspek lain yang sangat penting dalam Al-Tuḥfah. Ibn Taimiyyah menyebut cinta kepada Allah sebagai akar dari semua amal ibadah. Dalam pembelaannya terhadap realitas cinta timbal balik antara Tuhan dan hamba, ia mengoreksi pandangan teolog Asy‘arī yang menolak kemungkinan Tuhan mencintai makhluk secara harfiah. Bagi mereka, cinta Tuhan hanyalah metafora bagi kehendak atau pemberian nikmat.(Ibn Taimiyyah, n.d., 2000; Ibn Taimiyyah dan Pavlin 2015)
Ibn Taimiyyah dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan adalah cinta yang nyata, dan bahwa Tuhan pun mencintai hamba-hamba-Nya secara aktual. Ia menjelaskan bahwa tidak mungkin seseorang mencintai ibadah tanpa mencintai Tuhan terlebih dahulu. Cinta kepada-Nya adalah sumber utama segala bentuk pendekatan diri, żikr, dan pengabdian. Lebih jauh, ia membedakan dua tingkat cinta: pertama, cinta umum yang timbul karena kebaikan Tuhan terhadap hamba-Nya; dan kedua, cinta khusus yang dimiliki para wali terpilih, yang mencintai Allah semata karena Dia layak dicintai, bukan karena pemberian-Nya.(Ibn Taimiyyah, n.d.) Cinta tingkat tinggi inilah yang menjadi puncak spiritualitas, dan merupakan bentuk keharmonisan total antara hamba dan Tuhan.
Ibn Taimiyyah juga mendefinisikan ulang konsep walāyah (kewalian). Menurutnya, wali Allah bukanlah orang yang memiliki karāmah supranatural atau maqām metafisik yang tinggi, tetapi mereka yang memiliki iman dan takwa. Ia mengutip Q.S. Yūnus: 62-63: “Sesungguhnya wali-wali Allah itu adalah mereka yang tidak merasa takut dan tidak bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa”.(Ibn Taimiyyah 1985) Dengan demikian, Ibn Taimiyyah menolak sistem hirarki spiritual seperti quṭb, abdāl, dan aghwāṡ yang populer di kalangan sufi. Ia memandang sistem tersebut sebagai tambahan-tambahan yang tidak punya dasar dalam teks wahyu. Sebagai gantinya, ia menawarkan pembagian Qur’ānī: ẓālimun linafsih (orang yang menzalimi diri sendiri), muqtaṣid (orang yang moderat), dan al-sābiqūn bi al-khairāt (orang yang berlomba dalam kebaikan). Hanya kelompok terakhir inilah yang layak disebut wali Allah terpilih.(Ibn Taimiyyah 2004)
Al-Tuḥfah: Jalan Sufi Ibn Taimiyyah
Meski Al-Tuḥfah bukanlah karya Ibn Taimiyyah yang populer, namun ia menyimpan kedalaman konseptual yang luar biasa. Di dalamnya, kita melihat bagaimana Ibn Taimiyyah berusaha membangun jembatan antara dunia tasawuf dan epistemologi wahyu. Ia tidak menghapuskan konsep maqām dan ḥāl, tetapi menafsirkan ulang semuanya dalam kerangka īmān-Islām-ihsān, iman.(Maghribi 2024) Sayangnya, karya ini nyaris terlupakan selama beberapa abad, hingga akhirnya muncul kembali di era modern, terutama di kalangan Salafi yang berusaha menghidupkan kembali warisan Ibn Taimiyyah. Ceramah-ceramah tentang Al-Tuḥfah kini bisa ditemukan secara luas di kanal YouTube para ulama kontemporer seperti Sa‘d al-Syaṭrī dan Ḥāmid al-Junaibī.
Namun, kontribusi akademis terhadap pemahaman karya ini masih sangat langka. Dalam konteks ini, para Taymiyyan di dunia akademik Barat pelan namun pasti menghembuskan angin segar yang membuka ruang baru bagi penelitian tentang spiritualitas dalam pemikiran Ibn Taimiyyah.(Hoover 2020; Michot 2007; Anjum 2010; Post 2016)
Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Al-Tuḥfah al-ʿIrāqiyyah bukanlah panduan praktis jalan sufi sebagaimana karya-karya al-Ghazālī atau al-Suhrawardī. Namun, ia adalah refleksi mendalam tentang bagaimana seseorang bisa menjalani kehidupan spiritual yang sehat dalam ceruk tauhid, fiqh, dan akhlak kepada Allah.
Bagi Ibn Taimiyyah, puncak spiritualitas bukanlah fanā’, tetapi muwāfaqah (kesesuaian sempurna dengan kehendak Tuhan), baik dalam bentuk hukum maupun takdir. Seorang wali sejati bukanlah yang bisa berjalan di atas air atau membaca pikiran orang lain, tetapi yang jujur, sabar, ikhlas, dan sepenuhnya selaras dengan cinta dan kehendak Ilahi. Al-karāmatu luzūm al-istiqāmah, (puncak dari) karāmah (sejatinya) adalah konsistensi dalam istiqāmah, demikian Ibn Taimiyyah menambahkan.(Ibn Taimiyyah 1985)
Dalam epistemologi Ibn Taimiyyah, tasawuf tidaklah tertolak keseluruhan, tapi diluruskan. Bukan dibuang, tapi disaring. Ia menawarkan tasawuf yang kembali kepada sumbernya yang paling otentik, wahyu. Sebuah ajakan untuk menempuh jalan batin di mana mata tertuju pada langit, tapi kaki tetap berpijak pada bumi, jalan batin yang bermesraan dengan Tuhan juga menghayati makna kemanusiaan.
Bahan Bacaan
Al-Bakrī, Ṭāriq al-Sayyid Muṣṭafā. 2020. Ibn Taimiyyah wa Mauqifuhu min al-Turāṡ al-Ṣūfī. Riyāḍ: Dār Ibn al-Jauzī.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. 2020. Ranks of the Divine Seekers: A Parallel English-Arabic Text. Diterjemahkan oleh Ovamir Anjum. Leiden: BRILL.
Anjum, Ovamir. n.d. “Sufism without Mysticism? “Ibn Qayyim al-Ğawziyyah’s Objectives in Madāriğ al-sālikīn.” In Shadow, 161–188.
———. 2010. “Sufism without Mysticism? Ibn Qayyim al-Jawziyyah’s Objectives in Madārij al-Sālikīn.” A Scholar in the Shadow: Essays in the Legal and Theological Thought of Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
Hoover, Jon. 2020. Ibn Taymiyya: Makers of The Muslim World. London: Oneworld Academic.
Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, Muḥammad ibn Abī Bakr. 2019. Madārij al-Sālikīn fī Manāzil al-Sā’irīn. Diedit oleh Muḥammad Ajmal Al-Iṣlāḥī. Mekkah: Dār ‘Ālam al-Fawā’id.
Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm. n.d. Qāidah fi al-Maḥabbah. Diedit oleh Fawwāz Aḥmad Zamrālī. Beirut: Dār Ibn Ḥazm.
———. 1985. al-Furqān baina Auliyā’ al-Raḥmān wa Auliyā’ al-Syaiṭān. Damaskus: Maktabah Dār al-Bayān.
———. 2000. Al-Tuḥfah al-‘Irāqiyyah fī al-A’māl al-Qalbiyyah. Diedit oleh Yaḥyā ibn Muḥammad ibn ‘Abd Allāh al-Hunaidī. Riyāḍ: Maktabah al-Rusyd.
———. 2004. Majmū’ Fatāwā Syaikh al-Islām Aḥmad ibn Taimiyyah. Diedit oleh ‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad Ibn Qāsim dan Muḥammad ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Muḥammad Ibn Qāsim. Riyāḍ: Maṭābi‘ al-Riyāḍ.
Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm, dan James Pavlin. 2015. Epistle on Worship (Risālat Al-ʿUbūdiyya). Cambridge, UK: Islamic Texts Society.
Maghribi, Hamdan. 2024. Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Malang: Madani.
Makdisi, George. 1973. “Ibn Taimiya: a Sufi of the Qadariya Order.” The American Journal of Arabic Studies 1: 118–29.
Michel, Thomas. 1981. “Ibn Taymiyya’s Sharḥ on the Futūḥ al-Ghayb of ʿAbd al-Qādir al-Jīlānī.” Hamdard Islamicus 4 (2).
Michot, Yahya. 2007. “Ibn Taymiyya’s Commentary on the Creed of Al-Ḥallāj.” In Sufism and Theology, diedit oleh Ayman Shihadeh, 123–36. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press.
Post, Arjan. 2016. “A Glimpse of Sufism from the Circle of Ibn Taymiyya: An Edition and Translation of al-Baʿlabakkī’s (d. 734/1333) Epistle on the Spiritual Way (Risālat al-Sulūk).” Journal of Sufi Studies 5 (2): 156–87.
———. 2024. “Ibn Taymiyya’s al-Tuḥfa al-ʿIrāqiyya.” In Key Classical Works on Islamic Ethics, 290–309. BRILL. https://doi.org/10.1163/9789004459472_013.
Post, Arjan, dan Mustafa Shah. 2023. “Ibn Taymiyya and the Ethics of Spiritual Perfection.” In The Oxford Handbook of Islamic Ethics. Oxford, UK: Oxford University Press.
Sa‘ad, Al-Ṭablāwī Maḥmūd. 1984. Al-Taṣawwuf fī Turaṡ Ibn Taimiyyah. Kairo: Al-Hai’ah al-Miṣriyyah al-Āmmah li al-Kitāb.
Sirriyeh, Elizabeth. 2014. Sufis and anti-Sufis: The defence, rethinking and rejection of Sufism in the modern world. Routledge.
Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/09/al-tu%e1%b8%a5fah-al-iraqiyyah-dan-jalan-sufi-ibn-taimiyyah/
0 Komentar