Membaca Tasawuf HAMKA: Reorientasi Tasawuf di Indonesia
Hamdan Maghribi
Pendahuluan: Islam, Tasawuf, dan Indonesia
Tasawuf seringkali menjadi medan tarik-menarik antara kesalehan spiritual dan kecemasan puritan. Dalam lanskap pemikiran Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia , tokoh seperti Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) hadir sebagai figur yang berani menawarkan jalan tengah, bukan hanya menengahi perdebatan antara kaum Sufi dan anti-Sufi, tetapi lebih jauh mereorientasi tasawuf agar kompatibel dengan nilai-nilai modernitas tanpa mencabutnya dari akar-akar nubuwwah. Esai ini bertujuan menggambarkan proyek besar HAMKA dalam mengkonseptualisasikan tasawuf sebagai gaya hidup spiritual yang mencerahkan, produktif, dan berakar kuat pada syariat Islam, suatu bentuk yang oleh Aljunied disebut sebagai “tasawuf positif” atau “tasawuf moden.”(Aljunied 2016, 2024)
HAMKA di Tengah Tradisi dan Reformasi
Latar keluarga dan pendidikan HAMKA membentuk dirinya sebagai seorang pemikir yang berada di simpul persimpangan antara tradisi dan reformasi. Ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah, merupakan aktivis gerakan modernis anti-tasawuf dalam Muhammadiyah. Namun, kakek dan buyut HAMKA adalah pengamal tarekat Naqsyabandiyah. Dialektika antara dua kutub ekstrem ini mendorong HAMKA mencari titik temu antara spiritualitas dan rasionalitas, antara kesalehan spiritual dan keterlibatan sosial.(Rush 2016)
HAMKA tidak memusuhi tasawuf seperti ayahnya, tapi juga tidak menelannya mentah seperti para penganut tarekat yang ekstrem. Ia mengembangkan gagasan “reorientasi tasawuf” (reorienting Sufism) sebagai upaya mendamaikan dua arus besar dalam Islam; salafi dan sufi. Tujuannya bukan sekadar teoritis, melainkan strategis; mencegah perpecahan umat Muslim dan mengarahkan tasawuf pada peran konstruktif dalam kehidupan sosial modern.(Howell 2012)
Tasawuf: Mistik Islam atau Warisan Asing?
HAMKA menolak keras pandangan orientalis dan sebagian reformis Muslim yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari pengaruh asing; Hindu, Kristen, atau filsafat Yunani. Melalui pendekatan “argumentasi eliminatif” (seperti yang dikemukakan Durkheim), ia menunjukkan kelemahan argumentatif para orientalis, mulai dari Max Horten hingga Massignon, yang menurutnya telah mendistorsikan asal-usul tasawuf.(Hamka 2016)
Bagi HAMKA, tasawuf bukan inovasi yang datang belakangan, melainkan berasal dari kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat. Ia mengutip hadis dan riwayat ṣaḥīḥ maupun ḍa‘īf untuk membuktikan kesalehan asketik Nabi dan sahabat sebagai bentuk proto-tasawuf. HAMKA menyebutkan bahwa zuhud Nabi bukanlah penolakan terhadap dunia, melainkan sikap transendensi terhadap materialisme.
Namun, pandangan HAMKA di sini juga problematik. Ia tampak menilai tasawuf awal sebagai standar tunggal dan menolak kreativitas spiritual pasca-Nabi yang berkembang dalam berbagai tarekat dan aliran sufi-falsafi. Pendekatan ini menunjukkan usaha “standardisasi” tasawuf melalui semangat salafi, meskipun dalam wajah yang lembut, toleran dan terbuka.
Menentukan Batas: Memurnikan yang Autentik
Dalam konteks Sumatra dan Indonesia secara umum, bahkan Melayu, HAMKA sangat prihatin dengan kaburnya batas antara tasawuf sejati dan praktik-praktik mistik sinkretik seperti perdukunan, pemujaan keramat, dan penggunaan jimat. Oleh karena itu, ia menyusun definisi ketat tentang tasawufi. Tasawuf menurut HAMKA adalah cabang dari syariat Islam (iḥsān)yang bertujuan kepada tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa), memurnikan niat, menundukkan hawa nafsu, dan mengasah akhlak mulia.(Aljunied 2016)
HAMKA membedakan antara tasawuf etis (ethical Sufism) dan tasawuf filsafati yang ia anggap menyimpang. Tasawuf etis fokus pada tazkiyah al-nafs dan pengendalian batin melalui zikir, tafakur, dan amal saleh. Di sisi lain, tasawuf filsafati seperti yang diwakili oleh Al-Ḥallāj, Ibn ‘Arabī, dan Hamzah Fansuri dipandang berbahaya karena membawa ajaran Waḥdah al-Wujūd yang dianggap menyesatkan umat dan mengaburkan batas antara Khāliq dan makhlūq.
Meskipun demikian, HAMKA tidak sepenuhnya memusuhi Sufi falsafi. Ia menghargai pencarian mereka terhadap Tuhan di tengah kebuntuan perdebatan hukum dan fiqh. Kritik HAMKA lebih diarahkan pada ekses-ekses penyimpangan, bukan pada pencarian makna itu sendiri.
Tasawuf Tanpa Tarekat
Salah satu gagasan paling inovatif HAMKA adalah tasawuf tanpa tarekat; sebuah bentuk individualisasi dan demokratisasi tasawuf. Menurutnya, seseorang bisa menjadi sufi tanpa harus menjadi anggota tarekat tertentu. Syaratnya, mengikuti syarī‘ah, mengasah akhlak, dan membangun hubungan spiritual dengan Allah secara langsung tanpa perantara.
Konsep ini menandai perubahan besar dalam dunia tasawuf Melayu, di mana otoritas tarekat dan syeikh sering menjadi pusat. HAMKA menawarkan spiritualitas yang cair, egaliter, dan kompatibel dengan semangat modernisme Islam. Inilah bentuk tasawuf yang dapat diterima oleh kalangan reformis Muhammadiyah yang selama ini memandang tarekat dengan curiga.
Tasawuf Positif
HAMKA membagi tasawuf menjadi dua kategori besar; tasawuf positif dan tasawuf negatif. Tasawuf positif adalah bentuk tasawuf yang membangun, optimistis, dan berorientasi pada kebahagiaan dunia-akhirat. Tasawuf negatif adalah tasawuf yang fatalistik, apatis, dan mengabaikan realitas sosial dengan dalih spiritualitas.
Dalam tasawuf positif, HAMKA mereinterpretasi konsep-konsep penting seperti zuhd, tawakkal, dan qanā‘ah. Zuhd bukan berarti menjauhi dunia, tapi tidak diperbudak olehnya. Tawakkal bukan fatalis, pasrah menyerah, tapi usaha maksimal yang disertai tawakkal kepada Allah. Qanā‘ah bukan alasan untuk miskin, melainkan rasa cukup setelah berjuang keras. Justru Muslim harus kaya raya, yang membedakan adalah hartanya harus berorientasi ukhrāwī bukan berhenti pada nafsu duniawī.
Dalam Tasawuf Modern, HAMKA mengusulkan modernisasi tasawuf yang sejalan dengan kebutuhan zaman. Tasawuf bukan pelarian dari modernitas, tapi jembatan spiritual untuk hidup secara etis dalam dunia modern. Ia mengimbau umat Islam agar menjadi “Sufi dalam bisnis”, “Sufi dalam politik”, dan “Sufi dalam pengajaran”; menyatukan spiritualitas dan keterlibatan sosial.(HAMKA 2015)
Rasionalitas dalam Tasawuf
Salah satu kritik tajam Hamka adalah terhadap mitos-mitos yang melingkupi tradisi Sufi di dunia Melayu. Ia menyerang kisah-kisah legenda yang tak rasional seperti kesaktian wali, cerita-cerita ajaib sembilan wali Jawa, hingga pemujaan kuburan para syeikh sufi. Baginya, semua ini adalah bentuk “tahayul dan dongengan” yang merusak spiritualitas umat.
HAMKA menekankan pentingnya akal sehat dan ilmu dalam menjalani kehidupan mistik. Bagi HAMKA, akal bukan lawan dari hati (ruhani), tetapi instrumen utama dalam menyucikan jiwa. Dalam Tasawuf Moden, ia menulis: “Gunakan akalmu. Akal adalah mesin kehidupan. Akal sehat berada di tengah antara nafsu dan hati.” Pandangan ini selaras dengan semangat rasionalitas Islam klasik, namun tetap memberi ruang bagi dimensi batin dan aktifitas spiritual.(HAMKA 2015)
Pengaruh HAMKA dan Aktualitas Pemikirannya
Warisan HAMKA dalam membentuk wajah baru tasawuf di dunia Melayu tidak bisa dianggap angin lalu. Karya-karyanya menjadi referensi utama dalam diskursus tasawuf kontemporer. Konsep tasawuf positif telah melahirkan banyak studi lanjutan dan buku populer. Bahkan, sebagian kalangan Muhammadiyah yang dahulu antipati terhadap tasawuf mulai menerima spiritualitas HAMKA sebagai jalan tengah yang rasional dan syar‘ī.
Popularitas HAMKA tidak hanya disebabkan oleh ide-idenya yang orisinal, tetapi juga karena gaya penulisan dan bahasa yang komunikatif. Ia tidak hanya menulis untuk ulama, tetapi juga untuk masyarakat awam, kaum modernis, bahkan kalangan sufi-tarekat. Dengan demikian, HAMKA berhasil menjembatani keragaman pemahaman dan membumikan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Penutup
HAMKA berhasil mereposisi tasawuf dari sekadar laku elitis para sufi tarekat menjadi gaya hidup spiritual yang membumi, etis, dan modern. Ia menawarkan jalan ketiga; antara spiritualitas yang mistik dan rasionalitas yang puritan, antara ortodoksi yang kaku dan mistisisme yang bebas. Inilah wajah tasawuf yang tidak hanya “melarikan diri dari dunia” tetapi justru “memandu umat menaklukkan dunia” dengan spirit ketuhanan dan kenabian.
Di tengah kebangkitan religiositas baru dan gelombang pencarian spiritual di era modern, gagasan-gagasan HAMKA tetap relevan. Tasawuf tidak harus berarti menjauh dari dunia, tetapi mendekatkan diri pada Tuhan sambil menebar kebaikan di tengah masyarakat. Jika tasawuf itu adalah cinta, maka HAMKA telah menuliskan puisi panjang tentang cinta yang berpijak di bumi dan menjulang ke angkasa.
Bahan Bacaan
Aljunied, Khairudin. 2016. “Reorienting Sufism: Hamka and Islamic Mysticism in the Malay World.” Indonesia, no. 101: 67. https://doi.org/10.5728/indonesia.101.0067.
———. 2024. “Sufi Warriorism in Muslim Southeast Asia.” Sociology Lens 37 (4): 502–16. https://doi.org/10.1111/johs.12474.
Hamka. 2016. Perkembangan & Pemurnian Tasawuf: Dari Masa Nabi Muhammad Saw. Hingga Sufi-Sufi Besar. Jakarta: Republika.
HAMKA. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika.
Howell, Julia Day. 2012. “Sufism and Neo-Sufism in Indonesia Today.” RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs.
Rush, James R. 2016. Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press.
Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/09/membaca-tasawuf-hamka-reorientasi-tasawuf-di-indonesia/
0 Komentar