Memuliakan Tamu, Membuka Pintu Berkah

Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang

Dalam setiap kunjungan tamu yang mengetuk pintu rumah kita, ada pintu langit yang ikut terbuka—pintu pahala, pintu ketenangan, dan pintu keberkahan yang Allah janjikan bagi hamba yang menghidupkan adab mulia ini. Memuliakan tamu bukan sekadar tradisi, melainkan ibadah yang mengangkat derajat seorang mukmin, melembutkan hati, dan memperkuat hubungan dengan Allah serta sesamanya.

Memuliakan tamu adalah bagian dari ajaran Islam yang dalam dan sarat nilai spiritual. Ia bukan sekadar etika sosial atau adat kebiasaan, melainkan ibadah yang menyentuh inti hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Ketika seseorang menerima tamu dengan wajah cerah, menyediakan pelayanan terbaik sesuai kemampuan, dan menganggap kedatangan tamu sebagai anugerah, maka ia sedang menapaki ibadah yang membuka pintu-pintu kebaikan yang tidak selalu tampak oleh mata. Inilah yang ingin ditegaskan oleh para ulama, di antaranya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, yang menempatkan ikram ad-dhayf sebagai amalan yang langsung terhubung dengan keimanan.

Beliau berkata sebagaimana tercantum dalam Fatāwā Nūr ‘ala ad-Darb:
“إِكْرَامُ الضَّيْفِ يَنْبَغِي أَلَّا نَقُولَ إِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ بَلْ نَقُولُ إِنَّهُ مِنَ الْعِبَادَاتِ”
“Memuliakan tamu seyogianya kita tidak mengatakan bahwa itu termasuk adat kebiasaan, tetapi kita katakan bahwa itu termasuk ibadah.”

Pandangan ini berlandaskan sabda Nabi yang menghubungkan memuliakan tamu dengan hakikat iman. Rasulullah bersabda:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ»
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Betapa halus cara Rasulullah menanamkan nilai ini. Beliau tidak berkata “memuliakan tamu itu baik” atau “memuliakan tamu itu dianjurkan”. Tetapi beliau mengaitkannya langsung dengan keimanan. Ini menunjukkan bahwa kedatangan tamu bukan sekadar interaksi sosial, melainkan momentum bagi seorang hamba untuk menunjukkan kualitas keberagamaannya. Semakin tulus seseorang memuliakan tamunya, semakin tampak cahaya iman dalam dirinya.

Teladan dari Nabi Ibrahim dan Rasulullah

Al-Qur’an pun membuka cakrawala pemahaman kita melalui kisah para nabi yang mencontohkan penghormatan kepada tamu. Dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, Allah mengabadikan bagaimana beliau menyambut tamu malaikat yang datang dalam rupa manusia. Allah berfirman:

﴿ هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ ﴾
“Sudahkah sampai kepadamu kisah tamu-tamu Ibrahim yang dimuliakan?” (QS. Az-Zāriyāt: 24)

Kemudian Allah melanjutkan:

﴿ فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ ﴾
“Maka ia pergi kepada keluarganya lalu datang dengan membawa daging anak sapi yang gemuk.” (QS. Az-Zāriyāt: 26)

Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa memuliakan tamu dilakukan dengan sigap, tanpa ragu, dan tanpa menunggu tamu meminta sesuatu. Beliau bergegas, bukan berjalan santai. Beliau mengambil hidangan terbaik, bukan sisa atau seadanya. Sikap ini mencerminkan hati yang lapang, jiwa yang penuh adab, dan keyakinan bahwa memberi kepada tamu adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah.

Begitu pula Rasulullah. Beliau adalah manusia paling mulia dalam pelayanan kepada tamu. Para sahabat menggambarkan bahwa jika ada tamu datang, wajah beliau berseri-seri, duduk dekat tamu, menanyakan keperluannya, dan mendoakannya. Tidak pernah sekalipun beliau menunjukkan sikap berat atau enggan. Bahkan dalam keterbatasan, beliau tetap memberi.

Dimensi Batin dan Keberkahan Memuliakan Tamu

Allah berfirman:
﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾
“Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Ḥasyr: 9)

Inilah standar kemuliaan yang diajarkan Islam: bukan memberi dari kelapangan, tetapi bahkan dalam kesempitan hati tetap mendahulukan keridhaan Allah.

Memuliakan tamu juga memiliki dimensi batin yang halus. Ketika tamu datang, sesungguhnya Allah sedang menguji apakah hati kita lapang atau sempit, ikhlas atau berat, bersyukur atau mengeluh. Kadang Allah mengirim tamu bukan untuk diberi makan, tetapi untuk melatih sifat dermawan. Kadang Dia mengirim tamu bukan untuk minum, tetapi untuk menguji kesabaran dan kerendahan hati. Bahkan kadang Allah mengirim tamu untuk menjadi pemantik terbukanya pintu rezeki, sebab setiap tamu membawa jejak malaikat yang memohonkan rahmat bagi tuan rumah yang memuliakannya.

Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan bahwa memuliakan tamu adalah sebab datangnya kebaikan:
“فَإِكْرَامُ الضَّيْفِ عِبَادَةٌ تُقَرِّبُ الإِنْسَانَ مِنْ رَبِّهِ، وَتَكُونُ سَبَبًا لِصَلَاحِهِ بِإِذْنِ اللّٰهِ تَعَالَى”
“Memuliakan tamu adalah ibadah yang mendekatkan seseorang kepada Rabb-nya, dan menjadi sebab bagi kebaikan dirinya dengan izin Allah Ta’ala.”

Namun ibadah ini tetap berada dalam batas kemampuan. Islam tidak menuntut seseorang menyediakan yang tidak ia mampu. Memuliakan tamu bukan berarti mewah, tetapi tulus. Tidak berarti melimpah, tetapi ramah. Tidak berarti hidangan mahal, tetapi hati yang lapang. Nabi bersabda:
«لَا تَكَلُّفَ فِي الضَّيَافَةِ»
“Tidak ada berlebih-lebihan dalam menjamu tamu.” (Riwayat Baihaqi)

Dengan demikian, memuliakan tamu adalah ibadah yang ringan namun berdampak besar. Barangsiapa ingin hatinya dilembutkan, rezekinya diberkahi, dan rumahnya diliputi sakinah, maka hidupkanlah adab ini. Layani tamu dengan senyum, sambut mereka dengan doa, dan niatkan semuanya sebagai ibadah agar setiap langkah kecil itu menjadi catatan kebaikan yang abadi.

Semoga Allah menjadikan rumah kita seperti rumah para salihin—tempat di mana tamu merasa dihormati, doa-doa terangkat, dan keberkahan turun tanpa henti. Aamiin. (*)

Read more: https://klikmu.co/memuliakan-tamu-membuka-pintu-berkah/

Posting Komentar

0 Komentar