Kenapa Kiai Dahlan Tidak Menulis Kitab?

Oleh Dr Nurbani Yusuf MSi
Pendiri Komunitas Padhang Makhsyar

Di depan para santrinya, Kiai Dahlan tidak bertanya berapa ayat yang sudah mereka hafal, tetapi berapa ayat yang sudah diamalkan. Bukan setoran hafalan, tetapi setoran amal.

Dari satu surat pendek itu kemudian lahir ratusan panti asuhan, ribuan sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi. Saya menyebutnya Etika Al-Ma’un, untuk menyetarakan dengan Protestant Ethics, Teologi Tokugawa di Jepang, atau Konfusianisme di China.

Kiai Dahlan merupakan antitesis dari kondisi umat Islam pada zamannya—yang saat itu digambarkan Dr Alfian (Ketua LIPI) sebagai jumud, kolot, tradisional, dan eksklusif. Kiai Dahlan mendirikan sekolah dengan sistem klasikal, membangun rumah sakit untuk kaum pribumi dan santri. Ia bukan hanya pemikir, tetapi penggerak. Karena itu Muhammadiyah disebut juga pergerakan—Pergerakan Muhammadiyah.

Carl Whyterington menyebut Kiai Dahlan bukan tipe ulama kebanyakan, tetapi seorang pragmatis, praktisi, atau penggerak agama.

Sementara Mitsuo Nakamura, dalam karya fenomenalnya The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, lebih tegas menggambarkan karakter keulamaan Kiai Dahlan.

Tiga cendekiawan besar ini, menurut saya, sudah cukup menggambarkan model keulamaan Kiai Dahlan yang berbeda dari ulama kebanyakan.

Lalu, benarkah Kiai Ahmad Dahlan tidak memiliki karya ilmiah atau kitab yang diwariskan kepada santri dan pengikutnya? Pertanyaan ini sering muncul, dan tentu jawaban setiap orang bisa berbeda.

Kiai Dahlan bukan intelektual model Aristoteles, bukan Sokrates, bukan Plato, bukan pula Hujjatul Islam Ibnu Taimiyah. Ia bukan ulama yang tinggal di menara gading penuh buku dan teori. Ia juga bukan tipe ulama dokumenter seperti Imam Bukhari atau Imam Muslim; bukan ahli tafsir dengan kitab berjilid-jilid yang berdebat soal julus, istiwā’, atau kasb sebagaimana ulama Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, ataupun ulama ilmu kalam lainnya.

Kiai Dahlan tidak menghabiskan waktu memperdebatkan apakah Al-Qur’an itu makhluk, tidak membahas jumlah ayat, tidak terjebak dalam ribuan perbedaan furu’ yang acap menjadikan umat Islam jumud dan stagnan akibat menjadikan fikih sebagai identitas semata.

Kiai Dahlan justru meletakkan dasar berpikir—cara pandang, perspektif, atau pendekatan dalam memahami agama secara benar, kontekstual, modern, dan futuristik.
Ia menawarkan pemajuan dan pemodernan Islam melalui analisis sosial yang valid. Baginya, pemahaman agama yang benar akan melahirkan maslahat, sedangkan pemahaman yang keliru akan melahirkan kekakuan, fanatisme, dan kejumudan.

Itulah kearifan Muhammadiyah. Itulah ideologi gerakannya. Untuk menyebutnya secara ringkas, saya memilih istilah Dahlaniyan, bukan dahlanisme atau dahlaniyah, apalagi bila dianggap madzhab. (*)

Read more: https://klikmu.co/kenapa-kiai-dahlan-tidak-menulis-kitab/

Posting Komentar

0 Komentar