Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang
Kasus masuknya dua ratus lima puluh ton beras ilegal melalui Pelabuhan Sabang memicu perdebatan tentang tata kelola pangan nasional. Pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti adanya kejanggalan pada proses administratif yang seharusnya menjadi benteng utama pengendalian impor. Di tengah persoalan distribusi dan tumpukan stok, publik mempertanyakan konsistensi kebijakan pangan pemerintah.
Masuknya beras ilegal tersebut menjadi perhatian nasional setelah Amran menjelaskan kronologi penemuan kasus ini dalam konferensi pers pada dua puluh tiga November. Ia menyampaikan bahwa laporan itu diterima pada siang hari dan langsung ditindaklanjuti agar beras tidak sempat beredar di pasar.
Dari penelusuran awal ditemukan kejanggalan dalam proses perizinan. Rapat resmi mengenai impor telah dilaksanakan pada empat belas November di Jakarta, dan seluruh pihak terkait mencatat penolakan terhadap permohonan impor dalam risalah pertemuan. Namun izin dari Thailand telah lebih dulu terbit sebelum rapat berlangsung, sehingga memunculkan pertanyaan tentang adanya proses di luar jalur administrasi.
Amran juga menjelaskan bahwa beras ilegal tersebut diduga berasal dari Thailand dan Vietnam yang menawarkan harga lebih murah dibandingkan harga domestik. Selisih harga ini menjadi faktor pemicu maraknya upaya memasukkan beras dari luar negeri tanpa prosedur lengkap, terutama ketika Indonesia dinyatakan tidak sedang melakukan impor.
Dinamika Harga dan Tekanan terhadap Petani
Keberadaan beras ilegal ini memunculkan ironi tersendiri karena muncul di tengah klaim pemerintah tentang kecukupan stok nasional. Publik mencermati adanya ketidaksinkronan antara data resmi dan kondisi lapangan, termasuk soal tumpukan beras di gudang Bulog yang sebagian menurun kualitasnya akibat tidak tersalurkan secara optimal.
Salah satu persoalan yang kerap dibahas adalah disparitas harga antara gabah petani dan harga beras di pasaran. Gabah dibeli sekitar enam ribu lima ratus rupiah per kilogram, tetapi harga beras dapat melambung hingga lebih dari seratus persen. Sementara itu, beras impor kerap hadir dengan biaya yang jauh lebih rendah sehingga berpotensi menekan harga petani.
Biaya pupuk, pestisida, dan transportasi yang meningkat juga membuat posisi petani semakin terdesak. Ketika beras impor—baik legal maupun ilegal—masuk ke pasar, harga domestik dapat terganggu dan petani menjadi pihak paling dirugikan. Kondisi ini menimbulkan keresahan di berbagai daerah karena kebijakan pangan dianggap belum memberi solusi menyeluruh.
Pengawasan Lemah dan Reaksi Publik
Reaksi publik pun bermunculan, terutama dari warganet yang mempertanyakan bagaimana beras sebanyak itu dapat masuk melalui pelabuhan. Mereka menyoroti perlunya pengawasan lebih ketat mulai dari pintu masuk Bea Cukai hingga koordinasi antar kementerian. Beberapa komentar bernada satir mempertanyakan apakah ada kepentingan tertentu yang ikut bermain dalam proses impor.
Sebagian warganet juga mengungkap kekecewaan atas ketidaksesuaian antara klaim swasembada dengan realitas harga beras yang masih tinggi. Narasi keberhasilan produksi dianggap tidak sepenuhnya tercermin dalam situasi pasar. Publik merasa bahwa informasi yang disampaikan pemerintah belum memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi pangan nasional.
Di tengah kritik yang berkembang, apresiasi tetap diberikan kepada petugas yang bergerak cepat menyegel beras ilegal tersebut. Namun apresiasi ini tidak menghapus kebutuhan untuk membenahi sistem pengawasan dan koordinasi yang menjadi celah utama. Tanpa perbaikan struktural, peristiwa seperti ini akan terus berulang dan merugikan banyak pihak.
Kasus beras ilegal di Sabang menggambarkan kompleksitas persoalan pangan Indonesia. Mulai dari akurasi data produksi, mekanisme impor, distribusi yang belum optimal, hingga tingginya beban biaya produksi petani—semuanya saling terkait dalam rantai kebijakan yang belum sepenuhnya solid. Pemerintah perlu memperbaiki integrasi antarlembaga serta meningkatkan transparansi agar kepercayaan publik dapat dipulihkan.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kebijakan pangan bukan hanya soal angka, tetapi mengenai integritas sistem yang menjamin kesejahteraan petani dan stabilitas harga bagi masyarakat. Jika akar persoalan tidak dibenahi secara tuntas, maka isu beras ilegal hanya akan menjadi satu dari banyak gejala masalah yang lebih dalam. (*)
Read more: https://klikmu.co/jejak-gelap-impor-beras-ilegal/
0 Komentar