Hari Guru: Antara Pujian Seremonial dan Ketidakadilan Struktural

Oleh: Ahmad Fathullah MPd
Kepala LKSA Muhammadiyah Semampir

Setiap tahun Hari Guru dirayakan dengan penuh retorika: pidato seremonial, slogan-slogan idealis, dan penghormatan simbolik yang sering kali tidak menyentuh akar persoalan pendidikan. Kenyataannya, bangsa ini terlalu mudah memuji guru, tetapi terlalu lambat membenahi sistem yang membuat profesi mereka terus tertekan.

Paulo Freire pernah mengingatkan bahwa “Pendidikan tidak akan pernah netral; ia akan membebaskan atau menindas.”

Kutipan ini mencerminkan realitas kita: guru di lapangan masih terbelenggu oleh sistem yang cenderung menindas, beban administrasi berlebihan, birokrasi yang kaku, kurikulum yang berubah tanpa arah jelas, serta fasilitas yang tak sejalan dengan tuntutan zaman. Di banyak tempat, guru diminta menghasilkan pembelajaran berkualitas dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Guru disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi sebenarnya frasa itu lebih sering menjadi alasan sistemik untuk membiarkan kesejahteraan mereka stagnan. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, mengatakan, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”

Ironisnya, ungkapan luhur itu malah jauh dari praktik. Sekolah sering meletakkan seluruh beban pendidikan pada guru, sementara dukungan keluarga dan masyarakat tidak selalu berjalan seimbang. Guru terus diminta menjadi segalanya, dengan imbalan yang tidak selalu setara.

Data khusus tidak diperlukan untuk memahami bahwa guru honorer di banyak daerah mendapat honor yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan dasar. Ini bukan lagi persoalan moral, tetapi persoalan martabat. Tanpa keberanian politik untuk memperbaiki kesejahteraan pendidik, semua visi besar pendidikan hanyalah slogan kosong.

Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa sebagian guru enggan beradaptasi. John Dewey mengatakan, “Jika kita mengajar siswa hari ini dengan cara yang sama seperti kita mengajar kemarin, kita mencuri hari esok mereka.”

Pernyataan ini menampar keras siapapun yang masih menganggap pengalaman panjang cukup tanpa inovasi. Profesionalisme guru menuntut kemauan belajar, membuka diri pada metode baru, dan memanfaatkan teknologi yang hadir di depan mata.

Hari Guru seharusnya menjadi momen perhitungan, bukan perayaan semata. Perhitungan apakah kita telah memberi ruang bagi guru untuk tumbuh, apakah sekolah sudah bebas dari kultur feodal yang mematikan kreativitas, dan apakah pemerintah sungguh-sungguh menjadikan guru sebagai fondasi kebijakan pendidikan, bukan objek administratif belaka.

Tanpa pembenahan struktural, peringatan Hari Guru tidak lebih dari ritual tahunan penuh kepura-puraan. Seperti yang diingatkan Buya Hamka: “Jika engkau tidak sanggup menghormati seseorang, janganlah menghina pekerjaannya.” Menghargai guru bukan hanya melalui ucapan, tetapi melalui keberpihakan nyata.

Guru tidak membutuhkan seremonial mewah; mereka membutuhkan sistem yang adil. Dan bangsa yang gagal menegakkan keadilan bagi pendidiknya sedang membangun masa depan di atas fondasi yang rapuh. (*)

Read more: https://klikmu.co/hari-guru-antara-pujian-seremonial-dan-ketidakadilan-struktural/

Posting Komentar

0 Komentar