Dilema Fikih Sperma Beku

KLIKMU.CO – Kemajuan ilmu kedokteran terus menghadirkan tantangan etika dan hukum bagi umat beragama. Salah satu inovasi yang menjadi sorotan adalah kriopreservasi sperma (sperm freezing), metode pembekuan sel sperma pada suhu ultra rendah untuk disimpan dalam waktu lama. Teknologi ini menjadi penyelamat bagi pria yang menghadapi risiko kemandulan permanen akibat pengobatan berisiko seperti kemoterapi atau radioterapi.

Dalam menyikapi inovasi ini, setiap penetapan hukum harus berangkat dari prinsip fikih progresif yang menghargai sains dan bertujuan untuk mencapai mashlahah (kebaikan) umat. Fikih tidak boleh menjadi penghalang kemajuan, melainkan harus berfungsi sebagai koridor etika yang memandu sains agar tetap dalam batasan syariah.

Ketua Majelis Tarjih PDM Kota Surabaya Dr H Thoat Stiawan MHI menjelaskan bahwa memandang teknologi ini sebagai bagian integral dari ikhtiar medis untuk menjaga potensi keturunan (Hifz an-Nasl). Sikap awal ini didasarkan pada kaidah fikih yang fundamental, yang berlaku pada seluruh aspek muamalah (urusan keduniaan) manusia: Al-Aslu fi al-Asyya’ al-Ibahah (الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ).

“Kaidah ini, yang berarti hukum asal segala sesuatu adalah boleh, menegaskan bahwa kriopreservasi sebagai teknologi baru (muamalah) dibolehkan selama tujuannya baik dan tidak ada dalil qath’i (pasti) yang melarangnya,” jelasnya.

Klasifikasi Muamalah dan Penolakan Tauqifiyah

Menurutnya, penting untuk memperdalam mengapa kriopreservasi sperma diklasifikasikan dalam ranah muamalah. Ranah ibadah bersifat tauqifiyah (semua dilarang kecuali diperintahkan oleh dalil), sedangkan muamalah bersifat tasamuh (semua boleh kecuali dilarang). Kriopreservasi sebagai prosedur teknis yang bertujuan medis dan sosial jelas bukan ibadah ritual.

Klasifikasi ini memberikan ruang bagi ijtihad dan tajdid (pembaruan). Jika kriopreservasi dianggap ibadah, ia pasti haram. Namun karena ia adalah muamalah, maka hukumnya adalah mubah (boleh) kecuali jika ia membawa dampak kerusakan yang dilarang syariat.

”Dengan demikian, hukum kriopreservasi tidak bergantung pada dalil eksplisit tentang “pembekuan sperma”, tetapi pada dampak dan penggunaan akhirnya,” paparnya.

Hukum Asal Boleh dengan Syarat Mutlak

Dr Thoat menegaskan, kebolehan awal ini diperkuat oleh kondisi yang sering melatarinya. Kaidah fikih Al-Hajat Tunazzalu Manzilatal-Dharurah (الْحَاجَةُ تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ), yang berarti kebutuhan menduduki kedudukan darurat, memberikan justifikasi. Menurutnya, risiko kemandulan permanen akibat kemoterapi menjadikan sperm freezing sebagai kebutuhan mendesak (hajat) yang diizinkan syariat.

Hal ini sejalan dengan tujuan pernikahan sebagaimana termaktub dalam QS. Ar-Rum (30):21, “…وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَوَدَّةً وَرَحْمَةً” (…dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang), yang secara implisit mencakup upaya memiliki keturunan. Upaya menjaga potensi reproduksi di tengah ancaman medis adalah pengejawantahan dari hajat ini.

“Maka, sifat fikih membolehkan dengan syarat mutlak dan menolak larangan total. Keputusan ini mengharuskan adanya syarat homolog dan syarat intact marriage. Kedua syarat ini adalah fondasi yang membedakan prosedur yang dibolehkan dari prosedur yang haram,” terangnya.

Syarat Kebolehan dan Filter Hifz an-Nasl

Dr Thoat secara tegas menetapkan syarat mutlak dalam kriopreservasi reproduksi demi menjaga kesucian nasab, sebuah prinsip etika yang tak dapat diganggu gugat. Syarat fundamental pertama adalah syarat homolog, yang mewajibkan sperma beku hanya boleh digunakan untuk sel telur istri sah dari pemilik sperma tersebut; batasan ini berfungsi sebagai filter utama yang secara absolut menolak praktik donor sperma.

Syarat kedua adalah syarat intact marriage, yang mengharuskan penggunaan sperma beku mutlak hanya boleh saat suami dan istri masih terikat dalam pernikahan yang sah dan suami masih hidup. Ini menjadi filter tegas terhadap upaya penggunaan sperma pasca-wafat atau pasca-perceraian.

Kedua batasan krusial ini berakar kuat pada maqasid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam), khususnya Hifz an-Nasl (penjagaan keturunan). Dalam fikih, Hifz an-Nasl tidak hanya mencakup dimensi biologis, tetapi terutama dimensi hukum dan sosial, yaitu memastikan setiap keturunan lahir dari ikatan pernikahan yang valid sehingga memiliki kejelasan hak waris, perwalian, dan hubungan mahram.

“Oleh karena itu, melanggar syarat homolog atau syarat intact marriage secara otomatis merusak dimensi hukum dan sosial Hifz an-Nasl, sebab syariat menolak keras segala bentuk ketidakjelasan nasab, bahkan jika proses pembuahannya terjadi di laboratorium,” ungkapnya.

Batasan Hajat dan Pengecualian Non-Medis

Meskipun hajat menjadi dasar kebolehan, Dr Thoat memberikan batasan tegas: kriopreservasi sperma tidak dibenarkan jika dilakukan hanya atas dasar hajat sosial atau nonmedis seperti penundaan pernikahan atau alasan karier. Dalam kasus ini, elemen darurat atau hajat yang membolehkan menjadi hilang.

Fikih menuntut solusi lain seperti segera menikah dan mengomunikasikan kondisi risiko kemandulan kepada calon pasangan, daripada mengambil jalan teknologi yang berpotensi membuka pintu penyalahgunaan.

Tiga Batasan Haram dan Argumentasi Hukum

Setelah menetapkan hukum asal kebolehan (al-ibahah) berdasarkan hajat medis dan syarat homolog, Dr Thoat menegaskan terdapat tiga skenario penggunaan kriopreservasi sperma yang secara mutlak dilarang (haram) dalam syariat. Larangan ini didasarkan pada prinsip pencegahan kerusakan (Saddudz Dzara’i’ / سَدُّ الذَّرَائِعِ) dan perlindungan fundamental terhadap nasab (Hifz an-Nasl / حِفْظُ النَّسْلِ).

  1. Penggunaan Sperma Donor (Heterolog)
    Hukum fikih: haram mutlak (حَرَامٌ مُطْلَقٌ). Skenario ini adalah pelanggaran paling fatal terhadap Hifz an-Nasl. Fikih Islam mengakui nasab hanya melalui ikatan pernikahan yang sah. Dasar pelarangan ini berakar pada larangan mendekati zina (QS. Al-Isra:32). Diperkuat oleh kaidah: al-waladu lil-firasy (الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ).
  2. Penggunaan Sperma Pasca-Wafat Suami
    Hukum fikih: haram. Kematian suami mengakhiri ikatan pernikahan. Penggunaan sperma pascawafat menciptakan kekacauan hukum terkait warisan dan perwalian (QS. Al-Baqarah:234). Karena itu diterapkan kaidah saddudz dzara’i’.
  3. Penggunaan Sperma Pasca-Perceraian (Talak Ba’in)
    Hukum fikih: haram. Talak ba’in memutus total akad nikah. Konsepsi pascaperpisahan melanggar prinsip menjaga kesucian keturunan yang menjadi tujuan utama maqasid syariah.

Implementasi Kontrak Hukum dan Etika Klinis

Setelah menetapkan batasan fikih yang mengharamkan penggunaan sperma di luar syarat homolog dan syarat intact marriage, Dr. Thoat menegaskan pentingnya implementasi praktis hukum di ranah klinis. Hal ini dilakukan melalui penerapan saddudz dzara’i’ untuk menutup potensi kerusakan akibat kelalaian teknis atau penyalahgunaan etika.

Karena itu, kontrak hukum wajib dibuat: perjanjian tertulis antara penyedia layanan klinis (bank sperma) dengan pasangan suami istri harus secara eksplisit mencantumkan klausul pemusnahan sel sperma secara otomatis setelah penyedia menerima bukti hukum putusnya pernikahan (akta kematian suami atau akta cerai talak ba’in).

Selain itu, integritas moral dan keahlian (kifayah / كِفَايَةٌ) pihak yang terlibat harus menjadi pertimbangan utama. Risiko tertukarnya sampel (ikhtilath al-‘ayināt / اخْتِلَاطُ الْعَيِّنَاتِ) tidak boleh diabaikan. Seluruh proses harus dilakukan oleh institusi yang memiliki standar profesionalisme tinggi dan memegang nilai keagamaan.

Dalam pandangan Dr Thoat, Fikih Islam Berkemajuan menawarkan jalan tengah yang adil: mengakui keunggulan sains sebagai ikhtiar medis namun tetap menjaga batasan nasab sebagai fondasi syariat. Kriopreservasi sperma dibolehkan selama berada dalam ikatan pernikahan yang utuh, dan diharamkan mutlak jika mengancam integritas keturunan melalui donor, pascawafat, atau pascaperceraian.

“Keputusan ini menjaga hak individu atas potensi reproduksi sambil melindungi kehormatan hukum seluruh umat,” tandasnya.

(*/AS)

Read more: https://klikmu.co/dilema-fikih-sperma-beku/

Posting Komentar

0 Komentar