Jejak Kebenaran di Tanah Palestina

Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang

Sejarah panjang Palestina bukan hanya rentetan tanggal dan peristiwa, melainkan cermin yang memantulkan siapa yang benar-benar merawat tanah itu dengan cinta, keringat, dan pengorbanan. Di balik klaim sepihak yang sering mengguncang nurani, ada jejak kemanusiaan dan spiritualitas yang tak bisa dihapus oleh propaganda. Inilah kisah tentang tanah yang dijaga dengan iman, bukan klaim kosong.

Sejarah tentang siapa yang paling berhak atas Palestina sering kali dibingkai oleh kepentingan politik. Klaim-klaim modern kerap dipoles seperti kebenaran mutlak, seolah-olah seluruh masa lalu tunduk pada narasi yang diciptakan beberapa dekade terakhir. Padahal jika kita menelusuri perjalanan panjang tanah itu mulai dari bangsa Kanaan, Filistin, masa para nabi, hingga era kekhalifahan Islam dan hukum internasional modern, kita menemukan bahwa kepemilikan tidak pernah ditentukan oleh suara paling keras, melainkan oleh siapa yang menjaga dan hidup di atasnya.

Al-Qur’an memberi kita panduan jernih tentang hakikat tanah suci dan keadilan. Allah berfirman:

﴿وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ﴾
“Dan sungguh Kami telah tetapkan dalam Zabur setelah (tertulis) dalam az-Zikr bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiya: 105)

Ayat ini tidak menunjuk pada satu etnis tertentu, tetapi pada sifat: kesalehan, keadilan, dan penjagaan terhadap amanah Allah.

Jejak Purba dan Penduduk Asli Palestina

Sejak masa Kanaan jauh sebelum istilah “bangsa Yahudi” terbentuk dalam pengertian modern tanah Palestina dihuni oleh berbagai komunitas yang hidup, bertani, berdagang, dan membela wilayah itu dari penyerangan luar. Pada masa Filistin, dinamika budaya dan ekonomi menunjukkan hubungan manusiawi antara berbagai suku, bukan dominasi satu kelompok. Jika klaim hari ini mengatakan bahwa Palestina adalah kepemilikan tunggal masa lampau, sejarah justru menjelaskan bahwa penduduk aslinya selalu beragam namun dengan jejak paling kuat pada masyarakat Arab yang menetap dan berkembang di sana selama ribuan tahun.

Ketika Rasulullah ﷺ menetapkan standar etika kepemilikan dan perlindungan tanah, beliau menekankan prinsip moral, bukan garis keturunan. Sabda beliau:
«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ»
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya kepada kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna hadis ini jelas: kezaliman tidak boleh diakui sebagai legitimasi kepemilikan, sekalipun diklaim atas nama sejarah.

Era Umar bin Khattab

Palestina memasuki babak baru ketika Umar bin Khattab ra. datang dan menerima kunci kota secara damai. Tidak ada pengusiran massal, pembantaian, atau pemusnahan budaya. Sebaliknya, Umar menerbitkan al-‘Uhdah al-Umariyyah, jaminan perlindungan kepada umat Kristen, Yahudi, dan seluruh penduduknya. Sejarawan menyebut dokumen itu sebagai salah satu tonggak toleransi paling monumental dalam sejarah dunia. Artinya, kepemilikan tidak dipahami sebagai dominasi eksklusif, tetapi sebagai tanggung jawab moral untuk memberi rasa aman.

Dalam rentang lebih dari 1.300 tahun berikutnya kecuali periode singkat saat Perang Salib Palestina tetap berada di bawah pemerintahan Muslim. Bukan sebagai penjajah, melainkan sebagai penduduk utama yang membangun sekolah, masjid, pasar, ladang, dan jaringan sosial yang bertahan hingga kini. Seluruh dokumen legal internasional sebelum 1948 pun menunjukkan Palestina sebagai wilayah dengan penduduk mayoritas Arab yang memiliki struktur sosial dan politik sendiri.

Ayat Allah menguatkan hal ini:
﴿وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴾
“Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan bersedih hati, kamu adalah yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)

Identitas Palestina dan Klaim Keadilan

Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ menegaskan keberkahan Syam termasuk Palestina:
«عَلَيْكُمْ بِالشَّامِ فَإِنَّهَا صَفْوَةُ بِلَادِ اللَّهِ»
“Hendaklah kalian memakmurkan Syam, karena ia adalah negeri pilihan Allah.” (HR. Ahmad)

Berkah ini bukan hadiah etnis, melainkan amanah bagi siapa saja yang menjaga keadilan di atasnya.

Klaim bahwa tanah itu hanya milik satu bangsa tidak memiliki dasar historis ataupun moral. Fakta yang tegak berdiri ribuan tahun ialah bahwa penduduk yang merawat dan mempertahankan Palestina ialah masyarakatnya sendiri—beragam, tetapi tumbuh menjadi satu identitas: bangsa Palestina. Mereka bukan pendatang, bukan pecahan diaspora politik, tetapi manusia yang mengakar pada tanah itu dari generasi ke generasi.

Narasi ini bukan untuk menafikan hak hidup siapa pun, melainkan mengingatkan bahwa kebenaran tidak pernah lahir dari propaganda. Ia lahir dari sejarah, ketulusan, dan jejak panjang kehidupan nyata. Palestina sejak masa purba hingga kini berdiri sebagai bukti bahwa tanah suci tidak tunduk pada klaim sepihak, melainkan pada siapa yang menjaganya dengan iman, keadilan, dan kemanusiaan. (*)

Read more: https://klikmu.co/jejak-kebenaran-di-tanah-palestina/

Posting Komentar

0 Komentar