Benarkah Ada Bencana Alam: Membaca Musibah dari Perspektif Geologis, Sosiologis, dan Religius

Oleh: Asruri Muhammad
Pegiat Dakwah Muhammadiyah

Istilah “bencana alam” telah begitu melekat dalam bahasa sehari-hari. Media menggunakannya, dokumen pemerintah memakainya, dan masyarakat mengulangnya tanpa ragu. Gempa terjadi—bencana. Banjir datang—bencana. Gunung meletus—bencana.

Padahal, jika ditelaah dari sisi ilmu bumi maupun ajaran Islam, istilah ini sesungguhnya problematis. Alam tidak pernah berbuat jahat. Gempa, hujan ekstrem, atau letusan gunung api bukanlah “bencana”—mereka adalah fenomena alamiah yang tunduk pada hukum Allah. Yang menjadikannya bencana adalah kerentanan manusia, rusaknya tata ruang, lemahnya bangunan, atau jauhnya manusia dari nilai keadaban dalam menjaga bumi.

Memahami musibah membutuhkan tiga kacamata sekaligus: geologis, sosiologis, dan religius. Ketiganya tidak bisa dipisahkan dan justru saling memperkaya.

Perspektif Geologis

Dalam geologi modern, tidak terdapat istilah natural disaster. Yang ada adalah natural hazard, yaitu fenomena alam yang berpotensi menimbulkan kerusakan apabila terjadi di area yang tidak siap.

Fenomena seperti gempa tektonik, aktivitas vulkanik, siklus hidrologi, hingga dinamika iklim sudah berlangsung jutaan tahun sebelum manusia hadir. Bagi geolog, fenomena ini bukan “musibah”, tetapi proses alam normal yang menunjukkan dinamika bumi.

Pendekatan mitigasi dalam geologi bersifat teknis dan berbasis bukti, antara lain: pemetaan risiko dan zonasi rawan, standar bangunan tahan gempa, sistem peringatan dini, serta rehabilitasi lingkungan. Dari perspektif ini, yang menjadi bencana bukanlah proses alamnya, tetapi ketidaksiapan manusia dalam merespons proses tersebut.

Perspektif Sosiologis

Sosiologi menegaskan bahwa bencana adalah peristiwa sosial—bukan sekadar gejala fisik. Gempa besar di wilayah kosong mungkin tidak menimbulkan kerusakan sama sekali. Namun gempa kecil di kota padat dengan bangunan rapuh dapat menimbulkan tragedi besar.

Dengan demikian, bencana adalah pertemuan dua faktor utama: bahaya alam (hazard) dan kerentanan sosial (vulnerability).

Kerentanan ini muncul dari kemiskinan, pemukiman kumuh di bantaran sungai, tata ruang yang mengabaikan risiko, penghancuran lingkungan, serta minimnya pendidikan kebencanaan.

Solusi sosiologis meliputi membangun literasi kebencanaan, penguatan komunitas lokal, tata ruang berbasis risiko, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dalam perspektif ini, bencana pada hakikatnya adalah kegagalan manusia mengelola ruang hidupnya.

Perspektif Religius-Islami

Islam memiliki cara pandang yang lebih mendalam. Al-Qur’an tidak pernah menyebut “bencana alam”. Allah tidak menzalimi hamba-Nya (QS. 3:108). Karena itu, istilah “bencana” tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa wahyu.

Yang ada adalah musibah (ujian kehidupan), fitnah (ujian keimanan), tanzir (peringatan), dan azab (hukuman bagi umat yang durhaka atau membangkang secara kolektif). Makna ini menunjukkan bahwa satu peristiwa dapat membawa pesan berbeda bagi setiap individu maupun masyarakat. Musibah bukan semata fenomena fisik, tetapi sekaligus ruang evaluasi etis dan spiritual.

Dalam Islam, alam adalah ayat kauniyah. Fenomena alam bukan ancaman, melainkan tanda kebesaran Allah. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda bagi orang berakal.” (QS. Ali Imran: 190). Belajar geologi, klimatologi, atau mitigasi bencana adalah bentuk membaca ayat-ayat kauniyah tersebut.

Larangan merusak bumi. Kerusakan lingkungan adalah faktor utama yang memperparah musibah. Al-Qur’an mengingatkan: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 11–12). Menebang hutan tanpa kendali, menambang secara liar, menguruk daerah resapan—semua ini bukan hanya kelalaian teknis, tetapi dosa ekologis.

Istighfar sebagai proteksi moral. Allah berfirman: “Allah tidak akan mengazab mereka selama mereka beristighfar.” (QS. Al-Anfal: 33). Istighfar bukan sekadar ucapan, tetapi perubahan perilaku: jujur, menjaga amanah, tidak merusak lingkungan, dan menolong sesama.

Menjaga nyawa adalah kewajiban syariah. Dalam maqashid syariah, menjaga jiwa (hifzh an-nafs) adalah tujuan utama. Maka seluruh aktivitas mitigasi—pelatihan evakuasi, relawan SAR, dapur umum, penyediaan logistik—semuanya adalah ibadah sosial.

Menggabungkan Ketiga Perspektif

Jika ketiga perspektif digabungkan, terbentuk pemahaman yang utuh: geologi menjelaskan apa yang terjadi dan bagaimana prosesnya, sosiologi menjelaskan mengapa kerusakan terjadi pada sebagian masyarakat, dan Islam memberikan makna, etika, serta arah moral agar manusia rendah hati dan adil terhadap bumi.

Dari sini kita belajar bahwa istilah bencana alam hanyalah penyederhanaan bahasa. Alam tidak pernah salah. Yang menjadikannya bencana adalah manusia yang lengah, lingkungan yang rusak, dan kelalaian spiritual dalam merawat amanah bumi.

Dengan memadukan ketiganya, kita dapat membangun masyarakat yang tangguh secara ilmiah, kuat secara sosial, dan matang secara spiritual. Inilah fondasi masyarakat berketahanan tinggi—baik menghadapi musibah, maupun menapaki jalan kehidupan. (*)

Read more: https://klikmu.co/benarkah-ada-bencana-alam-membaca-musibah-dari-perspektif-geologis-sosiologis-dan-religius/

Posting Komentar

0 Komentar