Dr. Saiful Bahri, Lc., MA.
Kita akan membahas beberapa perkataan para nabi, atau yang terkait dengan para nabi, yang diabadikan kutipannya dalam Al-Qur’an.
Pada kali ini, dengan beberapa pendekatan, kita akan mencoba mengangkat kutipan pilihan berupa motivational quotes dari para nabi yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Kutipan-kutipan tersebut bersumber dari perkataan para nabi, atau ucapan orang lain kepada mereka, yang menggambarkan bagaimana pribadi dan kesan terhadap para nabi. Hal ini penting, agar umat Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿAlaihi Wasallam bisa belajar tidak hanya dari keteladanan para nabi secara langsung, tetapi juga dari kesan dan ucapan orang-orang yang hidup di sekitar mereka.
Sering kali kita mengagumi kata-kata bijak dari tokoh-tokoh terkenal, padahal sebenarnya Al-Qur’an juga telah memuat kutipan-kutipan yang jauh lebih agung, namun kurang kita munculkan sebagai sumber motivasi dalam kehidupan sehari-hari.
Perkataan-perkataan tersebut merupakan bentuk motivasi yang muncul dari kondisi nyata yang dialami oleh para nabi. Dipilih oleh Allah dengan pilihan kata yang sangat cermat, gaya bahasanya sederhana dan mudah dipahami. Ini menjadi salah satu pendekatan dalam ʿUlūm al-Qur’ān—bagaimana pilihan diksi dalam Al-Qur’an sangat mendalam dan bermakna.
Perlu kita pahami bahwa kutipan dari para nabi yang ditampilkan dalam Al-Qur’an ini tidak selalu merupakan transkripsi literal dari perkataan asli para nabi. Hal ini karena para nabi berasal dari bangsa dan bahasa yang berbeda-beda, tidak semuanya berbahasa Arab. Maka, ketika Allah mengisahkan perkataan mereka dalam Al-Qur’an yang berbahasa Arab, itu disebut sebagai ḥikāyah, atau pengisahan dengan gaya tutur khas Al-Qur’an.
Contoh mudahnya, seperti penamaan kota atau negara yang berbeda-beda dalam tiap bahasa: ‘Den Haag’ dalam bahasa Belanda, ‘The Hague’ dalam bahasa Inggris, dan nama-nama lainnya dalam berbagai bahasa. Maka begitu pula dengan penuturan Al-Qur’an: kutipannya tidak selalu sama secara literal, tetapi mewakili esensi dan makna perkataan aslinya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sejauh mana presisi kutipan tersebut. Namun, jika kita mengacu pada pendekatan ḥikāyah, maka bisa dipahami bahwa kisah dan kutipan itu tidak harus identik secara redaksional dengan ucapan aslinya. Yang penting adalah substansi dan pesan yang disampaikan.
Allah sendiri yang memilih gaya bahasa dan diksi dalam Al-Qur’an. Ini menandakan keistimewaan dan keindahan dari kutipan tersebut. Karena itu, kutipan-kutipan ini layak dijadikan sebagai motivational quotes dalam menjalani hidup, karena berasal dari manusia-manusia terbaik pilihan Allah.
Selain menunjukkan keindahan bahasa, kutipan ini juga menjadi salah satu aspek iʿjāz al-lughawī—kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi kebahasaan. Siapa yang mengajarkan Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿAlaihi Wasallam kutipan-kutipan ini kalau bukan Allah? Ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi, bukan karangan manusia.
Berikut ini adalah motivational quotes yang diambil dari beberapa surat dalam Al-Qur’an: di antaranya Surah Yūsuf, Al-Aʿrāf, Al-Baqarah, dan Al-Mā’idah. Kutipan-kutipan ini bisa jadi berasal dari nabi yang berbeda, atau dari satu nabi namun dalam momen yang berbeda. Insya Allah kita akan bahas satu per satu.
Kita mulai dengan kutipan pertama, yaitu komentar yang ditujukan kepada Nabi Yūsuf ‘Alaihissalām dalam Surah Yūsuf ayat 36 dan ayat 78. Pada saat itu, Nabi Yūsuf berada di penjara dan juga saat telah menjadi tokoh penting di istana. Menariknya, kepribadian beliau tidak berubah sedikit pun. Ini terlihat dari kesan orang-orang terhadap dirinya.
Misalnya, para perempuan yang melukai tangannya ketika melihat Nabi Yūsuf, berkata: “Mā hādhā basyaran, in hādhā illā malakun karīm” (QS. Yūsuf: 31) — “Ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia.” Tentunya ini adalah kutipan dalam bahasa Arab yang menggambarkan kekaguman luar biasa terhadap beliau, meskipun aslinya mungkin tidak diucapkan dalam bahasa Arab.
Contoh lain: “Innā narāka minal muḥsinīn” — “Kami melihatmu sebagai orang yang berbuat ihsan,” (QS. Yūsuf: 36) adalah bentuk pengakuan terhadap pribadi Nabi Yūsuf yang penuh kebaikan, kebijaksanaan, dan ketenangan. Ini adalah pujian yang muncul dari pengalaman langsung orang-orang yang berinteraksi dengannya.
Ungkapan ini menjadi inspirasi bagi kita: bagaimana pribadi yang ihsan dan penuh hikmah dapat menghadirkan pengaruh yang besar dan dikenang dalam sejarah. Kutipan-kutipan seperti inilah yang seharusnya kita hadirkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber semangat dan motivasi dari Al-Qur’an.
Nabi Yusuf ‘Alaihissalām ketika dipenjara, kesan orang-orang pun tetap, “Wah, dia baik.” Ketika di istana pun, “Oh, dia baik.” Jadi, orang baik itu, mau dipenjara atau mau di istana, ya sama saja—tidak ada yang berubah dari dirinya.
Nah, jadi yang pertama adalah, kalau kita melihat kalimat Innā narāka minal muḥsinīn—kami melihat Anda sebagai orang-orang yang muḥsin—baik ketika susah, baik ketika tanggal muda atau tanggal tua, baik ketika sulit, muda, jadi pejabat, atau dipenjara, dan dalam keadaan macam-macam lainnya, kepribadian seseorang akan tetap terlihat dari sisi kebaikannya. Ini yang pertama.
Yang kedua, ini menarik, ya. Karena momen ini sangat tepat—yaitu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām menjumpai Nabi Ismail, dan bermimpi mendapatkan perintah dari Allah Subḥānahu wa Taʿālā untuk menyembelih anaknya.
Nabi Ismail ‘Alaihissalām disebut saat itu berada dalam usia ṣabī—yakni usia mumayyiz, usia anak-anak yang sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, sudah bisa diajak kerja sama, berpikir, dan bertindak. Maka ketika Nabi Ibrahim mengatakan:
“Yā bunayya, innī arā fīl-manāmi annī adhbaḥuka, fanẓur māżā tarā.”
Lalu jawaban Nabi Ismail luar biasa:
“Yā abati, if‘al mā tu’mar, satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣābirīn.”
Ini yang secara literal saya sampaikan di sini, di Surah Aṣ-Ṣāffāt ayat 102: satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣābirīn. Luar biasa.
Pertama, ungkapan “yā abati” menunjukkan kedekatan antara anak dan ayah. Padahal secara fisik, Nabi Ismail jarang bertemu dengan ayahnya. Tetapi kedekatannya sangat kuat. Ini menandakan hubungan spiritual dan emosional yang terjaga erat—baik melalui ibunya maupun dari kekuatan iman keduanya.
Kedua, respons Nabi Ismail sangat tidak terduga. Anak seusia itu mengatakan “if‘al mā tu’mar”, artinya ia memahami bahwa ayahnya diperintah oleh Allah, dan meskipun itu datang melalui mimpi, Nabi Ismail mengakuinya sebagai bentuk wahyu. Dan yang terakhir, yang menjadi quotes kita adalah:
“Satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣābirīn.”
Luar biasa. Satajidunī, engkau akan menjumpaiku—akan menemukan aku, insya Allah, termasuk orang-orang yang sabar. Jadi di sini beliau tidak cuma bilang, “Saya sabar,” begitu saja. Tapi “insya Allah, saya sabar.” Ini luar biasa.
Ungkapan ini nanti akan dilengkapi dengan ungkapan sejenis: satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣāliḥīn pada jeda pembahasan berikutnya.
Selanjutnya, kalau tadi dari sisi anak kecilnya, sekarang dari sisi orang dewasa. Ada seorang saleh—ada yang mengatakan bahwa ia adalah Nabi Syu‘aib, yang juga kebetulan diutus di negeri Madyan. Tetapi tidak sedikit dari para mufassir yang mengatakan bahwa sosok ini adalah orang saleh, bukan Nabi. Bukan Nabi Syu‘aib, tapi orang saleh yang pernah menampung Nabi Musa.
Kisah ini diceritakan dalam Surah Al-Qaṣaṣ ketika Nabi Musa ‘Alaihissalām menerima pertolongan. Singkat cerita, Nabi Musa menolong dua orang perempuan yang sedang menggembala ternak. Mereka tidak ingin merepotkan karena, seperti diceritakan, para laki-laki lainnya sibuk memberi minum ternaknya, sedangkan mereka berdua tidak memiliki laki-laki di rumah selain ayah mereka yang sudah tua.
Ketika Nabi Musa melihat fenomena janggal—kenapa ada perempuan menepi, menjauh, tidak ikut mengantri air minum seperti yang lain—beliau bertanya, “Ada apa? Apa yang kalian alami?” Mereka menjawab, “Kami tidak bisa memberi minum ternak kami sampai para penggembala laki-laki itu pergi.”
Lalu Nabi Musa merasa kasihan dan mencari sumber air lain. Ia menggeser batu besar—yang menurut riwayat hanya bisa digeser oleh sepuluh orang—seorang diri. Lalu beliau memberi minum ternak mereka. Setelah itu Nabi Musa pergi meninggalkan mereka, karena merasa tugasnya selesai. Itu bagian dari ihsan beliau.
Namun singkat cerita, kedua perempuan itu menceritakan kejadian tersebut kepada ayah mereka. Lalu ayahnya memanggil Nabi Musa. Nabi Musa kemudian bercerita tentang kisah pelariannya, dan seterusnya. Lalu yang menarik: beliau ditawari untuk menikah dengan salah satu putri dari orang tua itu.
Ungkapan yang menarik dalam ayat 27 adalah:
“Satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣāliḥīn.”
Ini adalah kalimat positif untuk menenangkan dan mengayomi seseorang yang sedang dalam kondisi tidak stabil. “Satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣāliḥīn”—Insya Allah, saya termasuk orang saleh. Dengan kata lain: Insya Allah, tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Masalah seberat apapun, jika bersama Allah, akan terasa ringan. Ini adalah ungkapan yang sangat positif. Kalimat yang akan membangkitkan optimisme, mengajak kita bergantung hanya kepada Allah, dan tidak putus asa.
Dari sini juga tergambar kepribadian Nabi Musa. Saya pribadi, kalau membaca kisah Nabi Musa, sangat terhubung. Kisahnya begitu relevan dengan manusia pada umumnya. Maka, jangan merasa “GR” kalau kisah hidup kita mirip dengan kisah Nabi Musa. Karena memang kisah beliau disusun oleh Allah sebagai cermin bagi banyak orang.
Ketakutan Nabi Musa terhadap ular, kemarahan Nabi Musa, kesedihan dan kejatuhan mentalnya, perasaan menjadi pelarian, butuh tempat curhat—semua itu manusiawi. Karena itulah kisah Nabi Musa disebut berulang kali dalam Al-Qur’an: karena sangat manusiawi dan realistis. Potongan kisah beliau bagaikan puzzle, yang dialami oleh banyak manusia di bumi ini.
Kepribadian Nabi Musa sangat kuat. Kuat secara fisik, dan amanah secara moral. Anak perempuan itu berkata kepada ayahnya:
“Yā abati, ista’jirhu, inna khayra man ista’jarta al-qawiyy al-amīn.”
“Wahai Ayahku, pekerjakanlah dia! Sesungguhnya orang terbaik yang bisa Ayah pekerjakan adalah yang kuat dan amanah.”
Ayahnya pun bertanya, “Dari mana kamu tahu bahwa dia amanah dan kuat?” Dalam tafsir disebutkan: kekuatannya tampak ketika ia menggeser batu besar yang hanya bisa dipindahkan sepuluh orang—dan Nabi Musa lakukan seorang diri. Amanahnya terlihat dari adab beliau. Saat berjalan bersama dua perempuan itu, angin yang berhembus kadang menyingkap aurat, dan Nabi Musa tidak ingin dalam posisi melihatnya. Maka beliau berkata, “Lebih baik saya berjalan di depan.”
Betapa sopan dan hormatnya Nabi Musa kepada perempuan—di saat masyarakat Madyan saat itu tidak menghargai perempuan sama sekali. Mereka tidak peduli, bahkan merendahkan perempuan secara terang-terangan. Tetapi Nabi Musa berbeda.
Beliau bukan seperti “ladies’ man” yang dipahami dalam arti populer hari ini, yang sering kali kebablasan. Nabi Musa memuliakan perempuan, bukan memujanya secara berlebihan; tidak mengeksploitasi auratnya, tidak menggunakan kelemahannya. Itulah bentuk penghormatan sejati terhadap perempuan.
Jadi, di sini menarik. Setelah sang anak memberikan isyarat itu, ayah yang baik pun berkata, “Sudahlah, nikahi saja dia.” “Aku nikahkan engkau dengan dia.” Itu adalah bentuk tawaran kerja sama yang bersifat simbiosis mutualisme. Yakni, Nabi Musa ditawari: “Kamu bekerja padaku saja, ya.” Syaratnya: hijrah selama delapan tahun. Tapi jika kamu ingin menyempurnakan menjadi sepuluh tahun, itu lebih baik.
Ini menjadi bahasan menarik, bahwa ternyata mahar itu boleh berbentuk fungsi, bukan sekadar materi. Maka boleh saja seseorang berkata, “Aku nikahkan engkau dengan anakku, Fulanah binti Fulan, dengan mas kawin atau mahar berupa mengajarkan bahasa Arab sampai bisa.” Atau dengan mahar menghafalkan Al-Qur’an 30 juz. Itu harus jelas. Jika ia mengatakan, “Saya hafalkan 30 juz,” dan disaksikan, maka itu harus dipenuhi. Jika tidak, itu akan menjadi utang. Ini menarik.
Anak kecilnya mengatakan: satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣābirīn. Sementara orang dewasanya mengatakan: satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣāliḥīn. Selesai. Anak-anak kecil, orang-orang lemah, itu berusaha sabar. Sedangkan orang-orang yang mampu, orang-orang baik, itu berusaha menjadi baik, berkontribusi, mengayomi, dan memberi bantuan. Selesai. Masyarakat ini ideal jika seperti itu.
Kalau Indonesia ini, seandainya yang hidup hanyalah anak-anak kecil dan orang-orang susah yang mengatakan satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣābirīn, dan orang-orang berkuasa, orang-orang mampu, orang-orang tua kepada anak-anaknya dan anak-anak kecil berkata: satajidunī in shā’ Allāh minaṣ-ṣāliḥīn, maka luar biasa. Gabungan dua kutipan ini saja sudah menjadi teladan.
Baik, kita lanjutkan ke kutipan berikutnya. Ini adalah harapan yang tidak terputus dari seorang ayah yang mendidik anaknya. Dan ini juga terjadi hari ini—betapa sulitnya di era disrupsi ini mengawasi anak-anak kita. Pendidikan anak bukan semata-mata soal pengawasan, tapi juga pengayoman.
Pada saat orang tua sudah memberikan fasilitas dan sarana pendidikan yang baik pada anak, belum tentu anak akan menjadi baik. Tetapi orang tua tetap harus maksimal dalam mendidik anaknya. Lihatlah apa yang dilakukan Nabi Nuh ‘Alaihissalām—luar biasa. Ia kehilangan istri dan anaknya sekaligus. Tapi beliau tetap berusaha.
Last minute, beliau berkata:
“Yā bunayya, irkab ma‘anā wa lā takun ma‘al-kāfirīn.”
Sekalipun ini anak paling bandel—istilah kita—beliau tetap berkata, “Anakku, ke sini. Anakku yang kusayang.” Beliau menawarkan untuk bergabung. Tidak ada kata putus asa. Jangan sampai kemudian muncul kalimat, “Mulai hari ini kamu bukan anakku!” Hanya karena emosi, frustasi. Ungkapan seperti, “Kamu bukan anakku, aku coret dari silsilah,” tidak bisa begitu. Secara darah, anak itu tetap anak kita.
Nabi Nuh sangat sedih. Ketika beliau bertanya kepada Allah: “Ini anakku, dan janji-Mu menyelamatkan keluarga.” Tapi apa jawaban Allah? Allah menjawab:
“Innahu ‘amalun ghayru ṣāliḥ.”
Respon Allah itu sangat jelas: “Bukan begitu.” Bahkan dikatakan, “Dia bukan keluargamu,” dalam arti bukan bagian dari amal saleh yang kau harapkan. Tentu Nabi Nuh sedih, karena bagaimanapun itu tetap darah dagingnya. Maka kita sebagai orang tua tidak boleh frustasi.
Pendidikan anak itu mencakup tiga hal:
- Promotif – mempromosikan yang baik.
- Preventif – mencegah yang buruk agar tidak terjadi.
- Kuratif – ketika hal buruk sudah terjadi, jangan putus asa. Harus ada upaya penyembuhan, perbaikan.
Dan inilah yang dilakukan oleh para nabi: tidak pernah kehilangan harapan, sampai benar-benar akhir. Betapa sedihnya ketika ternyata ajakan itu tidak berbalas. Sekalipun anaknya tidak ikut bersama orang kafir, tetapi ia juga tidak mau membersamai ayahnya.
Sedih sekali. Kisah Nabi Nuh ini benar-benar mengaduk-aduk emosi kita. Orang yang tidak tahu bisa saja mencibir: “Lihat, anak Nabi saja bisa kafir.” Itu karena mereka tidak paham konteksnya.
Kita di Indonesia ini perlu belajar dari sini. Ketika ada sesuatu terjadi, jangan pernah langsung menyalahkan orang tuanya. Masing-masing orang tua punya ujian sendiri. Bahkan jika orang tuanya salah dan tidak memberi harapan, tetap tidak pantas bagi kita sebagai orang lain untuk menghakimi mereka. Kita tidak tahu.
Maka, jadilah ayah seteguh Nabi Nuh. Tentu harapannya: semoga tidak ada anak-anak kita yang seperti Kan‘ān (anak Nabi Nuh).
Baik, kita move on, masih ada beberapa kutipan. Ini juga menarik—luar biasa. Ketika Nabi Ibrahim memiliki pesan penting yang dilanjutkan kepada anak-anaknya, lalu wasiat itu diulang oleh Nabi Ya‘qub.
Disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Yā banīyya, inna Allāha ṣṭafā lakumu ad-dīn, fa-lā tamūtunna illā wa antum muslimūn.”
Pesan turun-temurun ini dari Nabi Ibrahim kepada Ishaq, dari Nabi Ibrahim kepada Ismail, lalu kepada anak cucu mereka. Disampaikan bahwa Allah telah memilihkan agama untuk kalian. Maka jika sudah mendapatkan hidayah, peganglah itu. “Wa lā tamūtunna illā wa antum muslimūn.”
Ungkapan ini sangat dahsyat. Kalimat “fa-lā tamūtunna illā wa antum muslimūn” bukan berarti melarang untuk mati. Mati itu pasti. Ketika dikatakan, “Jangan mati kecuali dalam keadaan muslim,” itu bukan berarti kita bisa menolak mati, tapi maknanya adalah: Kalau nanti mati, pastikan dalam keadaan muslim.
Seperti jika saya berkata: “Jangan datang ke rumah saya kalau tidak membawa oleh-oleh.” Itu bukan berarti saya melarang Anda datang ke rumah. Tapi maksudnya, kalau datang, bawalah oleh-oleh. Begitu pula ungkapan “fa-lā tamūtunna illā wa antum muslimūn.” Bukan melarang mati—karena mati pasti—tapi memastikan kita wafat dalam keadaan Islam.
Ini adalah penanaman fondasi kokoh dalam beragama, yang ditanamkan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām. Dan ini menyatukan seluruh anak-anaknya. Anak-anak Nabi Ibrahim disatukan dengan akidah ini. Sehingga mau jadi apa saja, dan berada di mana saja, mereka akan tetap ingat pesan ayah mereka:
“Fa-lā tamūtunna illā wa antum muslimūn.”
Bagaimana Nabi Ibrahim itu memberi pesan kepada anak-anaknya, kemudian pesan tersebut bersambung kepada keturunannya. Ini juga disebutkan secara berurutan di dalam Surah Al-Baqarah. Kali ini kita bersama Nabi Ya’qub, yang ingin mengonfirmasi pesan-pesan dari kakek moyangnya, yakni Nabi Ibrahim, yang dahulu diajarkan kepada ayahnya, Nabi Ishaq. Sekarang, Nabi Ya’qub juga ingin menyampaikan pesan itu kepada anak-anaknya.
Jadi, Nabi Ya’qub ketika menghadapi sakaratul maut atau tanda-tanda kematian yang sudah dekat, sebelumnya sudah mempersiapkan, tapi ini lebih ditekankan sebagai upaya menjaga security awareness dalam aspek akidah. Ini disampaikan kepada putra-putranya dengan mengatakan:
“Mā ta‘budūna min ba‘dī?”
“Nanti setelah aku wafat, kalian menyembah siapa?”
Ini penting sekali. Ini amanah dari kakeknya, Nabi Ibrahim, yang disampaikan selain pesan sebelumnya:
“Fa-lā tamūtunna illā wa antum muslimūn.”
“Nanti setelah aku mati, nak, apa yang kalian sembah?”
Pertanyaan ini menjadi pegangan kuat bagi anak-anaknya untuk terus memerankan kebaikan di mana pun mereka berada. Subḥānallāh. Luar biasa.
Ada sebagian orang tua, ketika berpikir, fokusnya hanya, “Nanti kalau saya mati, kamu makan apa?” Atau, misalnya, ketika seorang ayah hendak menginterogasi calon menantunya yang laki-laki, dia akan berkata, “Nanti anakku kamu kasih makan apa?”
Kita jangan grogi kalau ditanya semacam itu. Balik saja, “Mau anak Bapak biasanya makan apa?”
Sebenarnya, bukan itu tolok ukurnya. Tolok ukurnya adalah: Setelah saya tidak ada, kalian masih menyembah Allah atau tidak? Tapi disampaikan dengan redaksi yang halus dan penuh konfirmasi: Apa yang kalian sembah setelah aku?
Luar biasa.
Jadi, ini ternyata relevan. Kalimat:
“Mā ta‘budūna min ba‘dī”
…berlaku di keluarga kecil kita, berlaku juga di lingkungan kita. Nanti kalau kita sudah tidak ada, apakah anak-anak kita masih ke musala? Masih ke masjid? Anak-anak kita masih ngaji? Masih belajar al-Qur’an?
Itu penting. Karena dahsyatnya era disrupsi, masa depan anak-anak tertutup, tidak bisa dilihat. Maka, penting untuk menyambung estafet dari pesan Nabi Ibrahim ke pesan Nabi Ya’qub. Ini terasa sekali dan menjadi pondasi paling kuat.
Nomor satu tadi adalah kutipan “innā narāka minal muḥsinīn” dari kisah Nabi Yusuf. Itu adalah hasil dari pendidikan kuat, motivasi yang diambil dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub ‘alaihimassalām.
Ini luar biasa. Kita belajar lagi dari Nabi Yusuf ‘alaihis-salām. Seorang pemaaf. Ketika abang-abangnya, kakak-kakaknya, datang, kisahnya pun terkuak. Awalnya Nabi Yusuf menyamar, kakaknya juga tidak menyadari. Sampai kemudian adik kandungnya datang, dia masih menyembunyikan jati dirinya. Tapi akhirnya, Nabi Yusuf merasa: “Ini sudah saatnya saya buka kedok saya.”
Ketika dia bertanya kepada kakak-kakaknya:
“Dulu kalian pernah melakukan apa kepada Yusuf?”
Kaget mereka. Mereka tidak pernah menceritakan hal itu kepada pejabat istana Mesir yang begitu akrab dengan mereka dan telah berbuat ihsan. Kok tiba-tiba ditanya begitu?
Mungkin dalam hati mereka berkata, “Ini kok mirip ya?” Tapi di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit, agar kita bisa memvisualisasikan sendiri kisah itu.
Lalu Nabi Yusuf berkata:
“Lā tathrība ‘alaikumul-yawm. Yaghfirullāhu lakum, wa huwa ar-ḥamur-rāḥimīn.”
Subḥānallāh. Harusnya kita seperti itu: tidak ada celaan, tidak ada kemarahan, tidak ada dendam. Dia tenang. Bahkan sebelum mampu melakukan itu, dia sudah diam. Ada istilah healing sekarang. Tapi bagaimana kita menghadapi trauma masa lalu?
Dibully ketika kecil, mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, atau hal-hal menakutkan—semua itu berhasil dilewati oleh Nabi Yusuf. Karena apa? Fokusnya kepada ayahnya. Ayahnya adalah pusaka. Birrul wālidain—berbakti kepada orang tua—ditekankan terus. Sehingga kakak-kakaknya pun diabaikan masa lalunya. Dalam artian, kesalahan mereka dimaafkan. Bahkan ketika ia mengingatkan mereka kepada nikmat Allah.
Kalau diteruskan sampai ayat 100, itu adalah puncaknya. Di situ Nabi Yusuf berkata:
“Qad aḥsana bī idh akhrajani minas-sijni…”
Dia mengatakan: “Dia (Allah) yang mengeluarkanku dari penjara.” Bukan: “yang mengeluarkanku dari sumur.” Karena pelaku yang membuang dia ke sumur itu sedang berdiri di depannya. Dengan sangat halus, dia tidak mengungkit kesalahan masa lalu.
Itulah luar biasanya Nabi Yusuf ‘alaihis-salām. Dia melawan trauma.
Ada beberapa kata healing di dalam surah ini. Termasuk ketika Nabi Yusuf disebut sebagai orang baik di beberapa ayat. Itu adalah pengakuan: “Aku orang baik.” Ungkapan ini juga adalah bentuk healing—bagaimana kita men-treatment trauma yang kita alami. Misalnya, ketika kita takut, bagaimana kita mentreatment-nya?
Itu bisa dibahas dalam kajian psikologi. Tapi sekarang kita cukup ambil quotes-nya saja.
Baik, kita masuk ke kutipan ke-8. Māshā’ Allāh. Ini juga luar biasa.
Kondisi yang berbeda. Saat itu Nabi Musa marah ketika menjumpai kaumnya menyekutukan Allah. Di situ ada Nabi Harun. Nabi Harun itu adalah orang yang diplomatis, harusnya bisa menjelaskan dengan lebih baik. Tapi justru tidak bisa mencegah kaumnya.
Nabi Musa marah. Itu bisa dilihat: bagaimana marahnya Nabi Musa. Dia lempar luh (papan Taurat), dan memegang jenggot Nabi Harun. Tarik.
Kemudian ketika disebut:
“Wa lā tarshud ‘alayya innī khashītu an taqūla farraqta baina banī isrā’īl.”
Lalu muncul ayat lain:
“Wa lā taj‘alnī ma‘al-qaumizh-ẓālimīn.”
Itu bukan pembelaan diri biasa. Jangan samakan aku dengan mereka. Dan jangan kau kira aku tidak berbuat apa-apa. Itu peringatan tegas.
Nanti kalau ditambah dengan doa Nabi Musa yang lain, seperti:
“Rabbanā lā taj‘alnā fitnatal lil-qaumizh-ẓālimīn.”
…maka terlihat betul kendali emosional dan spiritual Nabi Musa.
Banyak kutipan menarik dari Nabi Musa, sebenarnya. Tapi di sini cukup kita ambil:
“Wa lā taj‘alnī ma‘al-qaumizh-ẓālimīn.”
Ini mengingatkan bahwa fokus kita adalah memperbaiki masyarakat, bukan menyalahkan sesama saudara.
Fokuslah kepada penyimpangan masyarakat, jangan fokus menyalahkan sesama orang baik.
Itu kira-kira pesan luar biasa dari kisah Nabi Musa.
Melalui beliau, Allah itu sebenarnya sedang menyindir kita semua. Melalui Nabi Musa, sikap-sikap manusiawi ditunjukkan agar kita merasa dekat, tidak berjarak dengan beliau.
Jadi, boleh-boleh saja kita memberi judul: “Nabi Musa: Nabi yang Paling Banyak Disebut di dalam Al-Qur’an.” Bahkan, pernah suatu ketika Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda, seolah-olah ukuran standar (dakwah dan ujian) itu dibuat untuk Nabi Musa dan Bani Israil.
Kalau boleh saya memberi judul besar terhadap kisah-kisah dalam Al-Qur’an, mungkin salah satunya adalah: “Akulah Musa.” Maksudnya, “Akulah” di sini adalah pembaca. Pembaca seakan-akan sedang menjadi Musa: ketika dia marah, ketika dia sedih, ketika dia kehilangan, ketika dia merasa drop—semua itu manusiawi.
Namun, setiap hal yang dialami Nabi Musa tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah, pasti ada solusinya.
Ada figur seperti Nabi Harun, berarti dalam berdakwah kita ini harus kolektif. Ada team building-nya. Kita ini manusia, bisa kecewa, bisa marah, bisa sedih. Kita tidak harus sempurna seperti tokoh-tokoh superhero dalam film Hollywood.
Inilah pelajaran team building yang luar biasa.
Nanti dalam kesempatan lain akan dijelaskan bahwa tidak boleh ada tawar-menawar dengan kezaliman. Baik kezaliman dari internal, seperti yang pernah terjadi di masyarakat Bani Israil, maupun kezaliman dari eksternal yang datang dari luar.
Ketika Nabi Musa mengatakan:
“Fitnahan lil-qaumiẓ-ẓālimīn,”
itu artinya fitnah (ujian) bukan hanya berarti satu jenis saja. Ujian itu bisa berarti korban kezaliman, bisa juga pelaku kezaliman, bisa juga orang yang membiarkan atau mendukung kezaliman. Semua itu bagian dari fitnah yang tidak boleh diabaikan.
Nah, ajakan dakwah itu dimulai dari kita.
Jadi kita harus tetapkan juga pada diri kita: “Wa lā taj‘alnī ma‘al-qaumiẓ-ẓālimīn.” Jangan sampai kita termasuk dalam golongan yang diam terhadap kebatilan.
Ketika kita melihat ada orang diam, jangan buru-buru menuduh. Kita tidak tahu kondisinya. Bisa jadi, dia sedang dalam posisi sangat sulit. Kok bisa sih di tempat itu ada kemaksiatan? Padahal ada orang alim?
Bisa jadi karena posisi, bisa juga karena strategi dakwah. Jangan langsung menghakimi.
Yang terakhir, ini lebih dahsyat lagi.
Nabi Musa ‘alaihissalām, ketika memberikan semangat kepada Bani Israil yang memiliki trauma dan persepsi keliru terhadap musuh-musuh mereka. Mereka mempersepsikan bahwa ada orang-orang hebat yang tidak bisa dikalahkan. Padahal mereka sudah diselamatkan dari kejaran Fir‘aun.
Ketika itu, Bani Israil diperintahkan oleh Nabi Musa: “Ayo kita masuk ke Palestina.”
Lalu Nabi Musa menyampaikan kepada mereka:
“Uḏkurū ni‘mata Allāhi ‘alaykum, iḏ ja‘ala fīkum anbiyā’a, wa ja‘ala lakum mulūkan, wa ātākum mā lam yu’ti aḥadan minal-‘ālamīn.”
“Ingatlah nikmat Allah! Sebagian kalian dijadikan nabi, sebagian dijadikan raja. Kalian diberikan sesuatu yang tidak diberikan kepada orang lain, termasuk diselamatkan dari kekejaman yang bertahun-tahun kalian alami.”
Māshā’ Allāh.
Nikmat ini diberikan, tapi mereka justru menolak. Padahal cerita masa lalu itu sudah berubah. Yang baik—yakni masa Nabi Yusuf—itu menyenangkan. Tapi setelahnya, di masa pemerintahan Fir‘aun, terjadi penindasan besar-besaran secara sistematis dan masif terhadap Bani Israil, khususnya yang beriman kepada Allah. Mereka dimarjinalkan dan ditindas.
Maka sebenarnya, fokus kita hari ini bukan pada mengkaji kisahnya secara rinci, tetapi pada kutipan-kutipan (quotes) para nabi.
Satu kutipan, tetapi itu mencakup satu tema besar.
Dan inilah sebagai penutup karena waktu yang mendekati akhir,
Perkataan para nabi yang diabadikan dalam Al-Qur’an adalah pelajaran, termasuk untuk Nabi Muhammad ﷺ.
Ungkapan-ungkapan tersebut secara kebahasaan luar biasa indah dan bermakna dalam. Sekalipun “naḥnu sabilul-ḥikāyah” (kita mendengarnya dalam bentuk kisah), dan belum tentu secara literal sama seperti yang mereka katakan saat itu, tetapi pilihan kata-kata dari Allah sangatlah dahsyat. Sangat tepat. Dan mengandung pelajaran luar biasa.
Ungkapan ini menjadi bagian dari dimensi kemukjizatan Al-Qur’an, baik dari sisi kebahasaan, maupun dari sisi hal-hal ghaib yang dikisahkan.
Mudah-mudahan kita termotivasi dengan kisah-kisah dan kutipan-kutipan dari para nabi tadi.
Sekalipun hanya sembilan, sebenarnya ada puluhan kutipan lainnya di dalam Al-Qur’an yang bisa kita pelajari. Namun sembilan kutipan inilah yang saya pilih secara khusus—untuk kita pelajari dari sisi kebahasaan dan kandungannya.
Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/24/motivation-quotes-para-nabi-dalam-al-quran/
0 Komentar