Oleh: Hamdan Maghribi
(Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah)
Pendahuluan
Selama ini, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam modernis yang kritis terhadap tasawuf. Dikenal dengan semangat purifikasi (pemurnian) ajaran Islam, organisasi ini sering diasosiasikan dengan sikap anti-tarekat, anti-bid‘ah, dan skeptis terhadap praktik keagamaan yang tidak berdasar naṣṣ. Namun, benarkah Muhammadiyah sepenuhnya menolak tasawuf?
Esai ini ingin menunjukkan bahwa realitasnya jauh lebih kompleks. Muhammadiyah memang tidak mengadopsi bentuk tasawuf tradisional seperti tarekat atau kultus personal terhadap mursyid, namun mereka mengintegrasikan nilai-nilai spiritualitas Islam yang selaras dengan syariat dan rasionalitas. Inilah yang dalam beberapa penelitian tentang hubungan Muhammadiyah dan Tasawuf disebut sebagai “Neo-Sufisme Muhammadiyah”.
Jejak Spiritual Muhammadiyah
Walau dalam anggaran dasarnya Muhammadiyah tidak mencantumkan tasawuf sebagai bagian dari organisasinya, dalam praktiknya banyak nilai-nilai tasawuf yang meresap ke dalam gerakan ini. Seringkali Muhammadiyah memilih istilah lain seperti “spiritualitas iḥsān” alih-alih “tasawuf”, sebagai strategi komunikasi agar tidak memicu resistensi dari anggotanya yang skeptis terhadap istilah-istilah sufistik.
K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dikenal tidak menolak tasawuf secara total. Ia mengadopsi nilai-nilai moral dan spiritual dari ajaran tasawuf klasik, seperti keikhlasan, pengendalian diri, dan perjuangan batin (jihād al-nafs), tanpa harus mengikuti struktur tarekat yang hierarkis.
Ia juga membentuk kelompok pengajian “Fatḥ al-Asrār Miftāḥ al-Sa‘ādah” yang fokus pada pembinaan akhlak dan kesadaran sosial, mirip dengan majelis dzikir namun tanpa ritual tarekat. Bagi Ahmad Dahlan, agama tidak hanya ritual, tapi energi pendorong perubahan sosial.
Tidak Anti-Tasawuf
Muhammadiyah tidak menolak seluruh ajaran tasawuf. Mereka justru menerima elemen-elemen yang berakar kuat pada Al-Qur’an dan Sunnah, seperti konsep iḥsān, zuhd, dan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Namun Muhammadiyah menolak keras tasawuf yang bersifat eksklusif, elitis, dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Praktik-praktik seperti khalwat, kultus terhadap mursyid, atau doktrin waḥdah al-wujud dianggap melenceng dari tauhid dan membahayakan integritas syariat. Karena itu, Muhammadiyah lebih condong pada bentuk “Tasawuf Salafi” atau bahkan “Neo-Sufisme”, yakni tasawuf yang dibersihkan dari unsur bid‘ah dan irasionalitas, tapi tetap mempertahankan semangat spiritualitas Islam.
Neo-Sufisme (Tasawuf Salafi) sebagai Jalan Tengah
Konsep “Neo-Sufisme” pertama kali dipopulerkan oleh Fazlur Rahman untuk merujuk pada model tasawuf yang menggabungkan semangat spiritualitas dan etika dengan akal sehat dan gerakan sosial. Muhammadiyah -tanpa menamakan dirinya demikian- sebenarnya sudah lama mengembangkan pendekatan ini.
Neo-Sufisme Muhammadiyah ditandai oleh; Semangat reformasi dan tajdīd (pembaharuan); Kritis terhadap bid‘ah dan praktik mistik tak berdasar; Komitmen terhadap amal sosial dan etika publik; Penekanan pada moralitas individu dan sosial; Integrasi iman, ilmu, dan amal. Dengan pendekatan ini, tasawuf tidak diposisikan sebagai pelarian dari dunia, tapi sebagai energi moral untuk mengubah dunia.
Salah satu bukti kuat integrasi spiritualitas dan aksi sosial dalam Muhammadiyah adalah teologi al-Mā‘un. Surah ini dijadikan fondasi dakwah sosial Muhammadiyah, terutama untuk menggerakkan layanan pendidikan, kesehatan, dan sosial bagi kaum miskin.
Bagi Ahmad Dahlan, amal sosial bukan sekadar pekerjaan filantropi, tapi bagian dari ekspresi spiritualitas Islam. Keimanan yang tidak melahirkan kepedulian sosial adalah keimanan palsu. Inilah wajah tasawuf Muhammadiyah: berbasis al-Qur’an, membumi dalam praksis sosial, dan menolak eksklusivisme.
Ahmad Dahlan, HAMKA, dan Tasawuf: Kritis tapi Adaptif
Ahmad Dahlan sendiri belajar agama di Mekkah dan terpengaruh oleh pemikiran pembaharu seperti Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā. Meski bergaul dengan ulama Sufi seperti Syeikh Ahmad Khatib, ia memilih jalan tengah; tidak mengadopsi tarekat, tapi juga tidak anti terhadap spiritualitas.
Ia menyadari bahwa banyak penyakit umat saat itu bukan hanya karena lemahnya ekonomi, tapi juga karena rusaknya moral dan spiritual. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi prioritas gerakan Muhammadiyah. Ia mengkritik keras kejumudan dan taklid buta terhadap ulama atau sistem tarekat yang cenderung feodalistik.
Dalam pidatonya, Ahmad Dahlan mengatakan bahwa umat Islam kehilangan “keberanian macan” dan hanya tersisa “keberanian kambing”, sebuah metafora yang menggambarkan kehilangan semangat juang dan kepercayaan diri umat.
Tokoh penting dalam Neo-Sufisme Muhammadiyah adalah Hamka. Meski dibesarkan dalam tradisi tarekat, ia tidak mengikuti praktik-praktik mistik yang bertentangan dengan syariat. Dalam bukunya Tasauf Modern, Hamka menawarkan tafsir tasawuf yang rasional, etis, dan relevan dengan zaman modern.
Bagi Hamka, tasawuf sejati adalah proses pengendalian diri, penguatan hati, dan penyucian niat. Ia mengkritik keras tasawuf palsu (pencitraan) yang hanya mengejar karāmah, kultus individu, atau praktik menyimpang. HAMKA melihat bahwa Islam sejati adalah keseimbangan antara syariat dan hakikat, antara ibadah dan amal sosial.
Spiritualitas Profetik
Seringkali Muhammadiyah dianggap dekat dengan Salafi-Wahabi karena semangat purifikasi dan penolakannya terhadap bid‘ah. Namun banyak kajian yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak sepenuhnya sejalan dengan Wahabi yang sangat rigid.
Muhammadiyah lebih mirip dengan “Salafi Sufi”, mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menolak tarekat yang tidak berdasar, tapi tetap menghidupkan spiritualitas, akhlak, dan amal sosial. Mereka menolak mistikisme, tapi tidak menolak transendensi. Mereka menolak kultus mursyid, tapi tidak menolak keikhlasan.
Salah satu alasan Muhammadiyah jarang menyebut tasawuf secara eksplisit adalah untuk menghindari resistensi internal dan kesalahpahaman publik. Mereka lebih memilih istilah “iḥsān”, “spiritualitas profetik”, atau “religiusitas rasional”.
Ini bukan berarti mereka anti terhadap tasawuf, tapi mereka ingin mengemasnya dalam bahasa yang lebih bisa diterima oleh komunitasnya yang cenderung rasionalis dan anti-bid‘ah.
Ahmad Dahlan dan para penerusnya menekankan pentingnya rūḥ al-syarī‘ah, bukan sekadar bentuk luarnya. Amal ibadah tanpa semangat sosial adalah kosong. Zikir tanpa fikir dan kepedulian adalah egoisme spiritual. Dengan konsep spiritualitas profetik ini, Muhammadiyah menjadikan agama sebagai alat perubahan sosial, bukan pelarian dari kenyataan. Inilah wajah neo-sufisme Muhammadiyah: religius, rasional, progresif, dan membumi.
Penutup
Muhammadiyah bukanlah organisasi Sufi dalam pengertian klasik, tapi juga bukan gerakan anti-Sufi. Mereka mengadopsi prinsip-prinsip moral dan spiritual dari tasawuf, seperti iḥsān, tazkiyah, dan muḥāsabah, namun menolak formalitas tarekat.
Neo-Sufisme Muhammadiyah adalah bentuk spiritualitas Islam yang rasional, sosial, dan reformis. Ia menekankan pentingnya membersihkan jiwa, memperbaiki masyarakat, dan menjadikan Islam sebagai kekuatan transformatif.
Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah telah membuktikan bahwa tasawuf tidak harus mistik apalagi klenik, dan reformasi Islam tidak harus kering dari spiritualitas. Dalam Muhammadiyah, tasawuf menjadi jalan menuju pembebasan manusia; spiritual dan sosial.
Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/24/adakah-tasawuf-muhammadiyah/
0 Komentar