Warisan Ibn Taimiyyah dan Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Hamdan Maghribi
Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
Dosen Akhlak dan Tasawuf UIN Surakarta

Pendahuluan

Dalam sejarah peradaban Islam, setiap zaman melahirkan tokoh-tokoh pembaru yang menyerukan kembali kepada kemurnian ajaran Islam. Mereka hadir sebagai jawaban atas dekadensi intelektual, penyimpangan dalam praktik keagamaan, dan kejumudan nalar umat. Salah satu tokoh pembaru yang paling berpengaruh adalah Ibn Taimiyyah (1263–1328), seorang ulama besar mazhab Hanbali dari Damaskus yang pemikiran teologis dan gerakan reformisnya menembus batas waktu dan wilayah(Ahmad & Greer, 2022; Bori, n.d.; Dumairieh, 2025; Nizami, 1990). Meskipun hidup di abad ke-13 dan di wilayah Syam, pengaruh Ibn Taimiyyah melintasi ruang dan zaman, hingga memberi sumbangan dalam kebangkitan Islam modern di Indonesia(Sudar, 2014; Zarkasyi, 1986, 2016).

Esai ini mengulas bagaimana warisan pemikiran Ibn Taimiyyah sampai ke tanah air dan memengaruhi tiga tokoh revivalisme Islam awal abad ke-20: Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad), dan Ahmad Hassan (pemimpin Persatuan Islam). Ketiganya, meskipun memiliki latar belakang dan jalur yang berbeda, menjadikan semangat pembaruan dan teologi Ibn Taimiyyah sebagai salah satu fondasi penting dalam perjuangan mereka mewarnai wajah Islam di Nusantara.

Ibn Taimiyyah: Ulama Tegas Penentang Bidah

Aḥmad ibn ‘Abd al-Ḥalīm ibn Taimiyyah, atau lebih dikenal sebagai Ibn Taimiyyah, hidup di masa penuh gejolak. Dunia Islam kala itu mengalami disintegrasi politik akibat invasi Mongol dan kemerosotan spiritual akibat berkembangnya bid‘ah dan khurafat yang mencemari ajaran Islam. Dalam konteks ini, Ibn Taimiyyah tampil sebagai figur yang menyerukan kembali kepada ajaran Islam murni berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan pemahaman generasi al-salaf al-ṣāliḥ (tiga generasi awal Islam)(Al-‘Imrān, 2019).

Bagi Ibn Taimiyyah, pemurnian akidah adalah pintu utama kebangkitan umat. Ia mengkritik keras berbagai bentuk penyimpangan dalam tauhid, terutama praktik syirik khafī (halus, terselubung) seperti memohon kepada orang saleh yang telah wafat di kuburan, menjadikan jimat sebagai pelindung, dan mengkultuskan manusia(Al-Barīkān, 2004). Teologinya dikenal kemudian dengan pendekatan tri-tauhid: tauhid rubūbiyyah (mengakui Allah sebagai Pencipta dan Pengatur), tauhid ulūhiyyah (mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah), dan tauhid asmā’ wa ṣifāt (mengimani nama-nama dan sifat Allah sebagaimana yang termaktub dalam teks). Meskipun Ibn Taimiyyah sebenarnya membagi tauhid menjadi dua, namun kemudian para pengikutnya, khususnya Ibn Abī al-‘Izz dan kemudian Ibn ‘Abd al-Wahhab yang merumuskan ulang menjadi tiga(Hoover, 2025).

Ibn Taimiyyah menolak pendekatan teologi filsafat dan kalām yang berkembang saat itu. Ia menantang gagasan-gagasan Mu‘tazilah, Asy’ariyyah, bahkan tasawuf spekulatif ala Ibn ‘Arabi yang menurutnya menjauhkan umat dari teks-teks wahyu. Ia juga menyerukan agar umat Islam tidak taqlīd buta kepada mazhab, melainkan membuka pintu ijtihād bagi yang memiliki kapasitas ilmu(Kazi, 2013; Sharif El-Tobgui, 2019).

Meskipun hidupnya penuh tantangan dan berkali-kali dipenjara karena pandangannya(Yāsīn, 2018), warisan pemikiran Ibn Taimiyyah terus hidup melalui murid-muridnya, seperti Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Kaṡīr, dan belakangan menginspirasi gerakan pembaruan Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Pintu Masuk Pemikiran Ibn Taimiyyah ke Indonesia

Pemikiran Ibn Taimiyyah sampai ke Indonesia tidak melalui jalur tunggal, melainkan melalui beragam jalur dan aliran yang saling berkelindan: kontak intelektual di Mekkah, jaringan pelajar Nusantara, literatur reformis Muslim, dan peran para jurnalis serta aktivis.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama dan pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Ḥaramain (Mekkah-Madinah), pusat pembelajaran Islam. Di sana, mereka bersentuhan dengan semangat pembaruan Islam yang dikobarkan oleh tokoh-tokoh seperti Jamāl al-Dīn al-Afghānī, Muḥammad ‘Abduh, dan Rasyīd Riḍā(Scharbrodt, 2022). Para pembaru ini, khususnya Riḍā, adalah murid intelektual-spiritual Ibn Taimiyyah(Kerr, 1966). Mereka menerbitkan majalah al-Manār yang menyebarkan ide-ide ‘salafi’ dan menjadi bacaan utama para pelajar Indonesia di Mekkah.

Ulama-ulama seperti Ahmad Khatib al-Minangkabawi, guru dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dan Ahmad Dahlan, menjadi jalur penting penyebaran pemikiran para reformis. Majalah seperti al-Imam (Singapura), al-Munir (Padang), dan al-Urwah al-Wuṡqā (Kairo) juga menjadi jembatan penting penyebaran ide-ide Ibn Taymiyyah ke kalangan intelektual Indonesia(Sudar, 2014; Zarkasyi, 1986).

Dengan latar sosial-politik Indonesia yang tengah mengalami penjajahan dari kolonial Belanda, pemikiran teologis Ibn Taimiyyah yang bercorak kritis dan membebaskan sangat resonan. Ia menawarkan jalan keluar dari stagnasi pemikiran, kebekuan keagamaan, dan dominasi budaya lokal yang menghambat kemajuan umat.

Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah: Tauhid Sebagai Gerak Pembaruan

Ahmad Dahlan (1868–1923), pendiri Muhammadiyah, adalah salah satu tokoh yang menyerap semangat Ibn Taimiyyah meski tidak secara langsung mengutip karyanya. Sebagai murid Ahmad Khatib dan pembaca majalah al-Manār, Dahlan sangat terinspirasi oleh gagasan-gagasan pembaruan dan pemurnian akidah(Kurzman, 2002; Kutoyo, 1985).

Bagi Dahlan, tauhid bukan sekadar konsep teologis, tetapi harus membentuk karakter dan perilaku sosial. Inilah mengapa Muhammadiyah tidak hanya bergerak dalam bidang dakwah, tapi juga pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Gerakan ini menolak tradisi yang tidak berdasar, seperti penggunaan ayat sebagai jimat, upacara selamatan, atau penghormatan berlebihan terhadap kuburan orang saleh.(Noer, 1973)

Dahlan mengkritik keras tradisi keagamaan yang menjauh dari semangat al-Qur’an dan Sunnah. Ia bahkan mengoreksi arah kiblat Masjid Gedhe di Yogyakarta menggunakan ilmu falak, yang menimbulkan kontroversi kala itu. Sikapnya yang menolak taqlīd dan menyerukan ijtihād adalah cerminan nyata dari semangat Ibn Taimiyyah(Basya, 2020; Sudar, 2014).

Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah modern yang menggabungkan pelajaran agama dan umum, menjunjung rasionalitas dan disiplin ilmiah. Ini sejalan dengan visi Ibn Taimiyyah bahwa Islam harus hadir sebagai kekuatan rasional, bukan sekadar dogma spiritual yang mistis.

Ahmad Surkati: Tauhid dan Kesetaraan

Ahmad Surkati (1875–1943) adalah tokoh pembaruan yang lahir di Sudan dan menetap di Indonesia setelah belajar di Mekkah dan Madinah. Ia dikenal sebagai ulama yang sangat konsisten dengan ajaran tauhid murni dan pemurnian agama dari segala bentuk khurafat. Bersama murid-muridnya, ia mendirikan al-Irsyad al-Islamiyyah, sebuah organisasi reformis yang menyasar komunitas Arab di Indonesia, khususnya di Batavia (Jakarta)(Kurzman, 2002).

Surkati terlibat dalam polemik sosial dan teologis yang tajam. Ia menolak ide bahwa keturunan Nabi (sayyid) memiliki kedudukan lebih tinggi dalam pernikahan. Baginya, yang membedakan manusia adalah ketakwaan, bukan garis keturunan. Sikapnya ini menimbulkan konflik besar dengan komunitas sayyid, tetapi juga menunjukkan keberaniannya menegakkan prinsip kesetaraan dalam Islam, sebuah keberanian intelektual yang selaras dengan semangat Ibn Taimiyyah yang menolak fanatisme nasab (keturunan)(Sudar, 2014; Zarkasyi, 1986).

Dalam aspek tauhid, Surkati dengan tegas melarang tawassul kepada orang mati, ziarah kubur yang berlebihan, dan praktik-praktik mistis. Ia menganggap semua itu sebagai bentuk penyimpangan dari Islam murni. Ia juga menyebarkan pemikiran melalui majalah Azzahra dan sistem pendidikan yang ia bangun di sekolah-sekolah al-Irsyad.

Metodologi Surkati menekankan pentingnya kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, dengan menjauhi takwil berlebihan dan pemikiran filsafat yang tidak berdasar. Ia adalah salafi yang konsisten, dan dalam banyak aspek, ia lebih terang-terangan membawa bendera teologis Ibn Taymiyyah dibandingkan Ahmad Dahlan.

Ahmad Hassan: Rasionalisasi Tauhid

Ahmad Hassan (1887–1958), pendiri dan pemimpin Persatuan Islam (Persis), adalah representasi paling eksplisit dari pemikiran salafi Ibn Taimiyyah di Indonesia. Ia banyak menulis, berdialog, dan berdebat melalui forum dan media massa. Ia dikenal tegas, logis, dan tidak kompromis dalam membela kemurnian akidah(Sudar, 2014; Zarkasyi, 1986, 2016).

Ahmad Hassan menguasai literatur salafi, termasuk karya-karya Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Ia membagi tauhid ke dalam tiga kategori (rubūbiyyah, ulūhiyyah, asmā’ wa ṣifāt), menyerukan penolakan terhadap semua bentuk perantara dalam ibadah, dan mengkritik keras praktik-praktik seperti tahlilan, talqin, perayaan maulid, dan ziarah kubur. Ia menulis banyak fatwa yang membongkar dasar-dasar tradisi populer tersebut, membuktikan bahwa semua itu tidak bersumber dari Nabi(Kurzman, 2002; Sudar, 2014).

Yang menarik, Hassan menggunakan pendekatan rasional dalam menjelaskan tauhid dan membantah syirik. Ia tidak sekadar menegur, tetapi mengajak umat berpikir secara logis. Persis menjadi basis penting bagi gerakan pembaruan teologis yang berorientasi tekstual dan rasional(Anas, 2015).

Selain itu, Hassan menekankan pentingnya membuka pintu ijtihād. Bagi dia, umat Islam tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan pendapat ulama masa lalu. Situasi dan tantangan baru menuntut solusi baru yang tetap berpijak pada wahyu. Gagasan ini sangat resonan dengan seruan Ibn Taimiyyah untuk menolak taqlīd buta.

Warisan Bersama: Tauhid, Ijtihād, dan Penolakan Bid‘ah

Meskipun berasal dari latar belakang dan tradisi berbeda, Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, dan Ahmad Hassan memiliki benang merah yang sama: semangat pembaruan yang berakar pada tauhid murni, ajakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, serta penolakan terhadap tradisi-tradisi agama yang tidak memiliki dasar yang kuat.

Mereka tidak hanya mengusung gagasan teologis dalam wacana, tetapi juga menghadirkannya dalam institusi pendidikan, organisasi sosial, dan gerakan dakwah. Inilah yang membuat warisan mereka bertahan hingga kini, dan menjadi fondasi penting dalam pembentukan wajah Islam Indonesia modern.

Warisan Ibn Taimiyyah hadir dalam gerakan mereka bukan sebagai salinan literal, tetapi sebagai semangat pembaruan yang kontekstual. Mereka tidak sekadar meniru, tetapi menyesuaikan dengan realitas Indonesia yang majemuk dan terjajah saat itu. Inilah kekuatan revivalisme Islam Indonesia: setia pada prinsip, tapi cerdas dalam pendekatan.

Penutup: Membumikan Teologi Pembaruan

Warisan Ibn Taimiyyah dalam konteks Indonesia bukanlah doktrin kaku, tetapi visi dinamis tentang bagaimana umat Islam harus hidup berdasarkan tauhid yang murni dan pemahaman Islam yang autentik. Ahmad Dahlan mengartikulasikan teologi pembaruan ini dalam bentuk pendidikan dan pelayanan sosial; Ahmad Surkati menekankannya dalam kesetaraan sosial dan pemurnian ibadah; sedangkan Ahmad Hassan melanjutkannya dalam bentuk argumentasi logis dan penegakan hukum Islam yang otentik.

Ketiganya menunjukkan bahwa teologi bukan sekadar diskursus metafisik, melainkan kekuatan pendorong perubahan sosial. Pemikiran Ibn Taimiyyah menjadi inspirasi, bukan beban sejarah. Ia menjadi peta jalan bagi kebangkitan, bukan sekadar romantisme masa lalu.

Kini, tugas generasi baru adalah menjaga warisan (semangat, mental) itu tetap hidup: membumikan tauhid, mendorong ijtihād, memberantas bid‘ah, dan merawat akal sehat dalam keberagamaan. Sebab, sebagaimana Ibn Taimiyyah pernah tegaskan, “Tidak ada jalan menuju kebaikan kecuali melalui ilmu, iman, dan amal.”(Al-Turkī, 2021) Sebuah warisan yang akan selalu relevan selama umat Islam ingin hidup bermartabat di bawah cahaya ilmu dan wahyu.

Bahan Bacaan

Ahmad, M., & Greer, I. (2022). Shāh Walī Allāh in Defence of Ibn Taymiyyah. Islamic Studies, 61(1), 25–44.

Al-‘Imrān, ‘Alī ibn Muḥammad. (2019). Al-Jāmi’ li Sīrah Syaikh al-Islām ibn Taimiyyah (661-728) Khilāl Sab’a Qurūn (M. ‘Uzair Syams & ‘Alī ibn Muḥammad Al-‘Imrān (eds.)). Dār ‘Aṭā’āt al-‘Ilm.

Al-Barīkān, I. ibn M. ibn ‘Abd A. (2004). Manhaj Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah fī Taqrīr ‘Aqīdah al-Tauīd.

Al-Turkī, I. ‘Abd al-R. I. (2021). Al-Khulāṣah al-Taimiyyah: 700 Naṣ Muntaqā min Majmū‘ Fatāwā Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Dār Ibn al-Jauzī.

Anas, D. W. (2015). Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam. Amana Publishing.

Basya, M. H. (2020). Muhammadiyah dan Salafisme: Perlawanan Cendekiawan Muhammadiyah terhadap Revivalisme Islam. Suara Muhammadiyah.

Bori, C. (n.d.). Ibn Taymiyya (14th to 17th Century): Transregional Spaces of Reading and Reception. The Muslim World, 108(1), 87–123.

Dumairieh, N. (2025). The Reception of Ibn Taymiyya (d. 728/1328) in Ibrāhīm al-Kūrānī’s (d. 1101/1690) Works. 102(1), 249–275. https://doi.org/doi:10.1515/islam-2025-0008

Hoover, J. (2025). The Tawḥīds of Ibn Taymiyya. In Islamic Perspectives on God and (Other) Monotheism(s) (pp. 89–110). AMI Press.

Kazi, Y. (2013). Reconciling Reason and Revelation in the Writing of Ibn Taymiyya (728/1328): An Analytical Study of Ibn Taymiyya’s Dar’ al-Ta’arud. Yale University.

Kerr, M. H. (1966). Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida. University of California Press.

Kurzman, C. (2002). Modernist Islam 1840-1940: A Sourcebook. Oxford University Press.

Kutoyo, S. (1985). Kiai Haji Ahmad Dahlan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nizami, K. A. (1990). The Impact of Ibn Taymiyya on South Asia. Journal of Islamic Studies, 1, 120–149.

Noer, D. (1973). The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942. Oxford University Press.

Scharbrodt, O. (2022). Muhammad ‘Abduh: Modern Islam and the Culture of Ambiguity. Bloomsbury.

Sharif El-Tobgui, C. (2019). Reason and Revelation in Islam before Ibn Taymiyya. In Ibn Taymiyya on Reason and Revelation.

Sudar. (2014). Ibn Taymiyyah’s Theological Influence on Indonesian Muslim Revivalists. International Islamic University Malaysia.

Yāsīn, M. B. (2018). Minah Ibn Taimiyyah: al-Tadāfu‘ al-‘Aqadī fi urūf al-Siyāsah wa al-Qaā’ wa al-Mujtama‘ al-Mamlūkī. Markaz Tafakkur li al-Buḥūṡ wa al-Dirāsāt.

Zarkasyi, A. F. (1986). Al-Ittijāh al-Salafī fī al-Fikr al-Islāmī al-adī bi Indonesia. Cairo University.

Zarkasyi, A. F. (2016). Konsep tauhid Ibn Taymiyyah dan pengaruhnya di Indonesia. Darussalam University Press.

Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/19/warisan-ibn-taimiyyah-dan-gerakan-pembaruan-islam-di-indonesia/

Posting Komentar

0 Komentar