Uban Rasulullah dan Beban Istikamah

Oleh: KH. Akhmad Arif Rifan, S.H.I, M.H.I.

Beberapa waktu yang lalu, kami melaksanakan tugas ke Palembang. Dalam rombongan tersebut, ada pimpinan kami, yaitu Ustaz Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dalam rombongan ini, beliau tidak lupa membawa tiga orang asisten, termasuk saya. Namun, ketiganya—termasuk saya—sama-sama lupa membawa peci. Maka beliau menegur kami dengan cukup keras: “Bagaimana bisa lupa membawa peci?” Karena tidak memakai peci, uban kami terlihat. Salah seorang dari kami kemudian bergumam sambil melihat yang lain:

“Kok ubanmu sudah banyak, ya?”

Ketika itu, Ketua kami mengingatkan:

“Kita ini harusnya seperti Rasulullah.”

Kami pun bertanya, “Apa maksudnya seperti Rasulullah?”

Bapak-Ibu, jika kita membaca berbagai riwayat, adakah yang pernah membaca berapa jumlah uban Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam?

Dalam riwayat Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Imām at-Tirmiżī, Anas bin Mālik yang pernah menyisir rambut Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan bahwa uban beliau hanya belasan helai. Dalam satu riwayat disebutkan 14 helai, dan dalam riwayat lain disebutkan 30 helai.

Bapak-Ibu bisa bayangkan betapa besar perhatian para sahabat kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka menghitung jumlah uban beliau. Dan sebaliknya, betapa dekatnya perhatian Rasulullah kepada para sahabatnya.

Namun yang dimaksud oleh pimpinan kami tadi bukan hanya soal uban, tapi soal apa yang menyebabkan Rasulullah cepat beruban.

Dari Abdullah bin ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau meriwayatkan bahwa:

“Tidak ada satu ayat pun yang turun kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang lebih dahsyat dan lebih berat daripada ayat ini.”

Itulah sebabnya, ketika para sahabat melihat uban Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kok engkau cepat sekali beruban?”, maka beliau menjawab:

“Yang membuat aku cepat beruban adalah Surah Hūd dan surah-surah sejenisnya.”

Silakan Bapak-Ibu cek, Surah Hūd adalah surah ke-11, terdiri dari 123 ayat, dan termasuk surah Makkiyyah (turun sebelum hijrah).

Lalu, apa bagian dari Surah Hūd yang membuat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam cepat beruban?

Berdasarkan penjelasan Abdullah bin ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, bagian yang paling berat tersebut adalah:

Surah Hūd ayat 112:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang lurus sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hūd: 112)

Ayat inilah yang menjadi beban paling berat bagi Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, karena memerintahkan istiqāmah—konsistensi total dalam kebenaran—bukan hanya bagi diri beliau, tetapi juga untuk para sahabat yang telah bertaubat dan mengikuti Islam.

Maka dari itu, pelajaran besar dari kisah ini bukanlah soal uban semata, tetapi istiqāmah dalam menjalani perintah Allah. Makanya, Bapak dan Ibu, ada sebuah riwayat yang pendek dan mudah dihafal, tetapi jika diperhatikan, peristiwanya memiliki makna yang sangat besar.
Ada seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang pernah meminta kepada beliau sesuatu yang dia katakan tidak akan lagi dia minta selain kepada beliau. Dia tidak akan bertanya atau meminta lagi kepada siapa pun setelah itu.

Untuk memudahkan pencarian riwayat ini, Bapak dan Ibu bisa mencatat: riwayat ini terdapat dalam Al-Arba‘īn An-Nawawiyyah (empat puluh hadis pilihan) karya Imam An-Nawawi rahimahullah. Hadis ini berada pada urutan ke-21—kalau saya tidak keliru, silakan dicek kembali nanti.

Sahabat yang meriwayatkan hadis ini bernama Sufyān bin ‘Abdillāh raḍiyallāhu ‘anhu. Ia berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sa’altu Rasūlallāh ṣallallāhu ‘alaihi wasallam…”

Aku bertanya kepada Rasulullah ,

“Yā Rasūlallāh, katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya lagi tentangnya kepada siapa pun selain engkau.”

Perhatikan, permintaan ini bukan hal ringan. Ini permintaan tentang prinsip yang akan ia pegang seumur hidup.

Maka Rasulullah ﷺ menjawab dengan kalimat pendek namun sangat bernilai:

قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
“Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ lalu beristiqamahlah.”

Isi perintah ini adalah istikamah. Meski pendek dan mudah dihafal, makna dari hadis ini sangat dalam.

Saya pribadi kembali teringat dengan riwayat ini karena kenangan saat belajar Al-Qur’an selama tiga tahun. Kami belajar di sebuah rumah kayu yang difungsikan sebagai masjid. Santrinya tidak banyak, dan kami tidak membayar. Bahkan makan pun hanya dua kali sehari—siang setelah zuhur dan malam setelah magrib. Pagi tidak disediakan makan.

Di rumah guru kami itu, pada bagian depan, terpampang tulisan hadis ini dalam huruf Arab. Setiap hari kami melihatnya.

Dari sini saya merenung: yang paling berat dalam hidup ini adalah istikamah.


Makna Istikamah Menurut Para Sahabat dan Ulama

Abu Bakar Ash-Shiddiq raḍiyallāhu ‘anhu menjelaskan bahwa istikamah adalah tidak melakukan kesyirikan setelah beriman, dan terus menjaga kemurnian tauhid sampai wafat. Ia merujuk pada firman Allah dalam surah Fussilat ayat 30:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami adalah Allah,’ kemudian mereka beristikamah…”

Maksud dari ayat ini adalah setelah seseorang mengikrarkan keimanannya, ia harus teguh menjaganya sampai akhir hayat.

Umar bin Al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu juga menjelaskan bahwa istikamah adalah tetap berada di jalan yang lurus tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan—tanpa menyimpang seperti serigala menyimpang dari jalan.

Imam An-Nawawi rahimahullah juga sependapat, bahwa istikamah adalah teguh di atas kebenaran tanpa menyimpang hingga diwafatkan oleh Allah.


Pelajaran Istikamah dan Bulan Haram

Jika kita merujuk pada sejarah (sirah) Nabi ﷺ dan ilmu Al-Qur’an (ulūm al-Qur’ān), Surah Hūd termasuk surah Makkiyah, yaitu diturunkan sebelum hijrah. Ini menunjukkan bahwa pelajaran tentang istikamah adalah pelajaran yang sangat awal dan fundamental.

Dalam kurikulum pembinaan generasi, istikamah adalah pelajaran inti karena ia menjadi sumber keteguhan dan keberkahan.

Kita bisa melihat kelanjutannya dari ayat sebelumnya:

تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Para malaikat turun kepada mereka seraya berkata: ‘Jangan takut dan jangan bersedih. Bergembiralah kalian dengan surga yang telah dijanjikan.’”


Relevansi dengan Bulan Zulkaidah dan Bulan Haram

Saat ini kita berada di bulan Zulkaidah. Bapak dan Ibu, tahukah bahwa Zulkaidah adalah satu dari empat bulan haram? Hal ini dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 36:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا…
“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan… empat di antaranya adalah bulan-bulan haram.”

Dalam hadis, Rasulullah ﷺ juga bersabda dalam khutbahnya saat haji wada’:

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ…
“Sesungguhnya waktu telah kembali seperti keadaannya saat Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram…”

Beliau menyebutkan: Zulkaidah, Zulhijah, Muharram (berturut-turut) dan Rajab (terpisah).


Hikmah Bulan Haram dan Hubungannya dengan Istikamah

Dalam bulan-bulan haram ini, Allah melarang segala bentuk kezaliman, termasuk kezaliman terhadap diri sendiri dengan melakukan kemaksiatan. Maka pelajaran tentang istikamah sangat tepat dibarengi dengan semangat menyambut dan menghormati bulan haram.

Jika kita rangkum:

  • Dalam satu tahun ada 12 bulan
  • Dari 12 bulan itu, 4 adalah bulan haram
  • Maka sepertiga waktu kita dilingkupi pengingat agar menjaga diri dari kezaliman dan kemaksiatan

Dan ini berkaitan erat dengan pelajaran utama dari hadis tadi:
“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah.”

Ada satu hal yang perlu kita renungkan bersama: orang tua, kita semua, punya semangat luar biasa untuk mewariskan sesuatu kepada anak-anak kita. Ada yang mewariskan rumah, sawah, ladang, kendaraan, deposito, tabungan, dan lain sebagainya. Bahkan terkadang, anak yang belum lahir pun sudah dibuatkan rekening khusus. Maka, tidaklah mengherankan jika sampai ada ungkapan, “Hidup itu sing penting warisan!”

Tapi, pernahkah kita bertanya dalam hati, “Apa kita juga sedang mempersiapkan warisan keimanan untuk anak-anak kita?” Apakah kita sedang membangun fondasi tauhid yang kuat bagi mereka? Ataukah jangan-jangan, kita hanya sibuk mempersiapkan warisan materi, sementara iman dan tauhid yang menjadi modal utama kehidupan akhirat mereka kita abaikan?


Perhatikanlah firman Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dalam Surah Al-Baqarah ayat 133, ketika Allah menegur kita semua dengan sebuah pertanyaan:

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي

“Adakah kamu hadir ketika Ya‘qub kedatangan maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’” (QS. Al-Baqarah [2]: 133)

Bayangkan, Nabi Ya‘qub ‘alayhis salām—seorang nabi, seorang rasul, orang saleh, manusia mulia—menjelang wafatnya tidak menanyakan soal warisan dunia, tapi yang ia tanyakan adalah: “Anak-anakku, apa yang akan kalian sembah setelah aku tiada?”

Lalu anak-anaknya menjawab dengan penuh keyakinan:

قَالُوا نَعْبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ آبَائِكَ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْمَـٰعِيلَ وَإِسْحَـٰقَ إِلَـٰهًا وَٰحِدًا ۖ وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

“Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismā‘il, dan Isḥāq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 133)

Lihatlah! Inilah warisan sejati yang diberikan oleh Nabi Ya‘qub kepada anak-anaknya: keimanan dan tauhid yang kokoh.

Maka dari itu, mari kita koreksi diri kita, sudahkah kita, sebagai orang tua, membangun kesalehan anak-anak kita? Sudahkah kita mengajarkan mereka untuk mengenal Allah, mencintai Rasulullah, memahami al-Qur’an, dan menjauhi syirik?

Jangan sampai kita menjadi generasi yang hanya mewariskan dunia, tapi melupakan warisan iman.

Ingatlah, orang tua yang hanya meninggalkan harta dunia, tapi lalai membangun keimanan anaknya, kelak bisa menjadi penyesalan yang besar di akhirat.

Perhatikan firman Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā:

يَوْمَ يَفِرُّ ٱلْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِۦ وَأَبِيهِ، وَصَٰحِبَتِهِۦ وَبَنِيهِ، لِكُلِّ ٱمْرِئٍۢ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍۢ شَأْنٌۭ يُغْنِيهِ

“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa [80]: 34–37)

Hari itu, tidak ada lagi saling tolong-menolong, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih (qalbun salīm), dengan iman yang lurus, dan amal yang diterima.

Jangan sampai kita seperti seorang ayah yang sibuk membangun rumah di dunia, tapi tidak membangun rumah anaknya di surga. Jangan sampai seperti ibu yang lelah menyekolahkan anak hingga doktoral, tapi tak pernah menyuruhnya menghafal satu ayat pun dari Kitabullah.


Kita mengenal sosok Luqmān al-Ḥakīm. Dalam al-Qur’an, nasihat Luqmān kepada anaknya diabadikan Allah, bukan nasihat tentang bisnis, properti, atau pergaulan, melainkan nasihat tentang tauhid, tentang jangan mempersekutukan Allah:

يَـٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqmān [31]: 13)

Inilah prioritas utama orang tua saleh: memastikan anak-anaknya bertauhid dan selamat dari kesyirikan.


Mari kita jadikan iman dan tauhid sebagai warisan utama untuk anak-anak kita. Dunia ini fana, harta bisa habis, rumah bisa runtuh, rekening bisa kosong. Tapi iman yang tertanam kuat dalam hati anak-anak kita, insya Allah akan menjadi penyelamat mereka dan kita di hari akhir.

Penutup khutbah ini saya tutup dengan pesan dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam hadits yang masyhur:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, no. 1631)

Semoga kita semua dimudahkan Allah untuk mewariskan keimanan kepada anak-anak kita. Āmīn, yā Rabbal ‘ālamīn.

Read more: https://www.tabligh.id/2025/05/21/uban-rasulullah-dan-beban-istikamah/

Posting Komentar

0 Komentar