Tarbiyah Imaniyah dalam Surah Asy-Syura Ayat 23: Antara Harapan Surga, Kasih Sayang, dan Keteladanan Nabi

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.


ذٰلِكَ الَّذِيْ يُبَشِّرُ اللّٰهُ عِبَادَهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِۗ قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ وَمَنْ يَّقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهٗ فِيْهَا حُسْنًا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ

Itulah (karunia) yang (dengannya) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu suatu imbalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Siapa mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan kebaikan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Ataukah mereka mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) telah mengada-adakan kebohongan tentang Allah.” Jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan mengunci hatimu. Allah menghapus yang batil dan membenarkan yang benar dengan firman-firman-Nya (Al-Qur’an). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.

Pada pertemuan sebelumnya, telah kita bahas bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan dua uslub (gaya/metode) dalam mendidik hamba-hamba-Nya, yaitu uslub at-targhib wa at-tarhib (motivasi dan peringatan).

Pada ayat sebelumnya (ayat ke-21), Allah memulai dengan tarhib—memberi peringatan, ancaman, dan rasa takut kepada manusia—tentang apa yang akan dialami oleh orang-orang zalim dan musyrik karena pengingkaran mereka terhadap Yaumul Ba’ts (hari kebangkitan). Ayat tersebut ditutup dengan firman-Nya:

“Wa inna al-zhālimīna lahum ‘adzābun alīm.”
“Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan mendapat azab yang pedih.” (Asy-Syura: 21)

Dalam praktik pendidikan, baik di sekolah maupun di rumah, metode ini (targhib dan tarhib) sangat penting. Hanya saja, dalam praktiknya, targhib (dorongan dengan janji kebaikan) sebaiknya lebih diutamakan daripada tarhib (peringatan atau ancaman).

Kemudian pada akhir ayat ke-22, Allah memberikan unsur targhib, yaitu kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh:

“Walladzīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti fī raudāti al-jannāt…”
“Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh berada di taman-taman surga…”

Mereka akan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan di sisi Rabb mereka. Allah menutup ayat itu dengan kalimat:

“Dzālika huwal faḍlu al-kabīr.”
“Itulah karunia yang besar.”


Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa ketika seorang mukmin sudah berada di dalam taman-taman surga (raudatul jannah), maka itulah yang disebut sebagai al-fadhl al-kabīr, karunia yang paling besar.

Orang-orang beriman yang mendapatkan kenikmatan dunia seperti harta melimpah atau prestasi, tetap tidak merasa puas. Kenapa? Karena mereka sadar bahwa itu semua belum seberapa dibandingkan al-fadhl al-kabīr. Mereka tetap bertanya dalam hati: “Apakah aku akan sukses masuk surga?” Inilah standar keberhasilan sejati menurut Al-Qur’an.

Penegasan dari Allah dengan kata “huwa” dalam “dzālika huwal faḍlu al-kabīr” menunjukkan bahwa karunia terbesar itu bukanlah harta, jabatan, atau kesuksesan duniawi, tapi masuk ke dalam surga.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal:

“Lā rāhata illā fī al-jannah.”
“Tidak ada istirahat sejati kecuali di surga.”

Itulah pelajaran penting yang harus kita renungkan.

Pada ayat selanjutnya, Allah menegaskan:

“Dzālika alladzī yubassyirullāhu ‘ibādahulladzīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāt.”
“Itulah (balasan) yang Allah kabarkan dengan gembira kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh.”

Ini adalah bentuk adab dari Allah kepada kita. Ketika Allah menjanjikan surga kepada orang-orang beriman dan beramal saleh, sebagai hamba yang baik kita seharusnya menyambutnya dengan semangat dan rindu, bukan dengan cuek atau tidak peduli. Ketidakpedulian terhadap janji Allah adalah bentuk su’ul adab (buruknya adab) kepada-Nya.

Apalagi ketika muncul sebagian kalangan sufi yang menegaskan bahwa tidak dimasukkan ke surga atau ke neraka pun tidak masalah, yang penting Allah rida. Nah, ini adalah pemahaman yang tidak benar.

Atau ada pula yang menganggap bahwa orang-orang yang beramal saleh dengan harapan masuk surga adalah bentuk amal yang pamrih, karena dianggap belum sampai pada maqam mahabbah, belum cinta sejati kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā.

Padahal, dalam ʿubūdiyyah—dalam beribadah kepada Allah—meskipun kita harus memperkuat mahabbah (cinta kepada Allah), kita tetap perlu memiliki dua sayap: sayap rajāʾ (harapan) dan sayap khawf (takut). Sayap rajāʾ adalah harapan atas janji-janji baik dari Allah, dan khawf adalah rasa takut terhadap ancaman-Nya.

Jadi, tidak ada yang salah bila kita melaksanakan salat karena takut neraka. Tidak masalah kita berzakat atau berinfak karena ingin masuk surga. Orang yang memberikan janji dan ancaman itu adalah Allah sendiri. Meskipun, tentu akan lebih baik jika semua itu juga dibingkai dengan cinta (mahabbah).

Namun, jangan sampai merasa sudah cinta kepada Allah lalu menafikan khawf dan rajāʾ. Hati-hati, ini bisa menjadi jebakan setan. Sebab, mahabbah kita kepada Allah dan iman kita bersifat yazīd wa yanquṣ—bertambah dan berkurang.

Hari ini kita mungkin merasa sok dekat dengan Allah, sok menjadi wali-Nya, merasa sudah maʿrifat, sudah ʿārif billāh. Tapi belum tentu besok kita tetap seperti itu. Nah, keberadaan khawf dan rajāʾ ini menjadi bingkai dan batas minimal agar iman kita tetap terjaga. Setidaknya ada rasa takut neraka jika iman kita turun, dan ada harapan surga untuk kembali naik.

Bagus jika kita bisa beribadah karena cinta kepada Allah. Bagus jika kita bisa salat dan tilawah karena cinta, karena tresna kepada Gusti Allah. Tapi ingat, iman itu fluktuatif, naik dan turun. Maka ketika turun, jangan sampai “bablasan” (kebablasan) hingga hilang sama sekali dan menjadi kufur. Harus ada pembatas. Paling tidak, takut akan neraka. Harus ada pemicu untuk naik lagi: harapan akan surga.

Ikhwah fīllāh, arsyadakumullāh, tabsyīr (kabar gembira) dari Allah Subḥānahu wa Taʿālā ini harus kita sambut dengan sukacita dan keinginan. Coba bayangkan, jika Anda sebagai orang tua menjanjikan hadiah kepada anak, tetapi anak Anda malah tidak menginginkannya, bagaimana perasaan Anda? Kecewa, bukan?

Kita sudah siapkan hadiah, tetapi anak tidak tertarik. Padahal, meski kalau tidak jadi beli kita jadi untung—uangnya tidak keluar—tetap saja kita kecewa karena anak tidak senang. Maka kalau menjadi hamba Allah, jadilah hamba yang “demen”—yang suka. Diberi rukhṣah, ya dimanfaatkan. Diiming-imingi, ya ingin. Ditakut-takuti, ya takut betulan.

Harus seperti itu. Ketika diberi nikmat, bersyukur dan menikmatinya dengan baik. Jangan sok merasa tidak butuh terhadap nikmat, sampai tidak mau menikmatinya. Jangan pula merasa sok tidak pamrih dalam ibadah, sampai tidak memiliki rajāʾ atas janji-janji Allah. Jangan merasa sok tidak takut terhadap ancaman-ancaman Allah. Kalau begitu, lalu untuk apa Allah menyebutkan surga dan neraka berkali-kali dalam Al-Qur’an?

Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan bahwa orang-orang beriman itu musyfiqūn—mereka takut, khawatir. Jadi, kalau kita merasa tidak takut dengan alasan “saya ibadah bukan karena takut,” itu adalah pemahaman yang keliru.

Ini adalah bentuk kesalahpahaman yang sering muncul di sebagian oknum kelompok ṭarīqah atau sufistik, yang perlu diluruskan—tanpa bermaksud menyalahkan secara keseluruhan. Tapi hal ini terjadi pada sebagian tokoh, baik yang tertulis dalam buku-buku, kitab-kitab mereka, maupun syair-syair mereka.

Arsyadakumullāh.

“Qul lā asalukum ‘alaihi ajran illā al-mawaddata fī al-qurbā.”
(Katakanlah: “Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.”)

Di sini, terdapat satu metode pendidikan yang disebut uslūb at-taqlīn (metode pengajaran dengan penuntunan). Taqlīn berasal dari kata laqqana–yulaqqinu–taqlīnan, yang berarti menuntun untuk ditirukan. Semua ayat dalam Al-Qur’an yang diawali dengan “qul” seperti:

  • Qul huwallāhu aḥad,
  • Qul yā ayyuhal kāfirūn,
  • Qul a‘ūdzu bi rabbil-falaq, dan seterusnya,

merupakan bentuk uslūb at-taqlīn. Allah Subḥānahu wa Taʿālā mendidik Rasulullah ﷺ dengan metode ini.

Kata “taqlīn” sudah tidak asing lagi, biasanya digunakan untuk mentalkinkan orang yang sedang sakaratul maut, seperti dalam hadis: “Laqqinū mawtākum lā ilāha illallāh.” Kita mengucapkan dan menuntun orang itu agar menirukan.

Metode ini, meskipun klasik, pada tema-tema dan usia tertentu masih sangat efektif. Ya, mungkin ada yang menganggapnya sebagai dogma atau doktrin, tapi untuk tema-tema akidah dan bagi anak-anak yang belum bisa berpikir kompleks, ini adalah metode yang paling tepat.

Rasulullah ﷺ saja ditalkinkan oleh Allah untuk mengatakan wahyu-Nya. Seperti dalam ayat ini:

“Qul lā asalukum ‘alaihi ajr, illā al-mawaddata fī al-qurbā.”
(Katakanlah: “Aku tidak meminta imbalan darimu atas dakwahku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.”)

Ikhwah fīllāh, arsyadakumullāh, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makna “illā al-mawaddata fī al-qurbā”.

Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Katsir—yang dinukil oleh Al-Afan dan disebutkan dalam kitab karya Al-Imam Al-Baghawi—perkataan Ikrimah mengenai ayat:

لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ
“Aku tidak meminta kepadamu atas dakwahku ini imbalan apa pun, kecuali agar kalian menjaga hubungan kekerabatan antara aku dan kalian.”

Karena Rasulullah ﷺ dan para pembesar Quraisy memang memiliki hubungan kekerabatan.

Dari ayat ini, arsyadakumullah, kita bisa memahami bahwa dakwah kepada kerabat, terlebih keluarga inti seperti suami, istri, anak, dan terutama orang tua, harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan tidak menyakiti. Bagaimanapun, hubungan kekeluargaan adalah ikatan penting yang wajib dijaga.

Maka, wafillah arsyadakumullah, jika pun terjadi konflik atau perselisihan, jangan sampai kita berbuat zalim, menyakiti, merampas hak, atau menodai harga diri mereka. Ini poin yang sangat penting dalam dakwah.

Ada penjelasan menarik dari As-Sa’di mengenai makna ayat:

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا

Rasulullah ﷺ diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan kepada kaum kafir Quraisy bahwa beliau tidak menginginkan harta mereka, tidak pula ingin menjadi penguasa mereka. Ini bukanlah tujuan beliau berdakwah.

Arsyadakumullah, fakta di lapangan: sering kali ada orang-orang yang menolak dakwah karena merasa terancam. Mereka takut hartanya diambil, kedudukannya digeser, atau pendapatannya terganggu. Demikian pula para pembesar Quraisy, mereka menolak bukan karena tidak tahu bahwa risalah Nabi adalah kebenaran, tetapi karena merasa posisi dan pengaruh mereka terancam.

Allah kemudian memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk menegaskan:

لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا

Menurut As-Sa’di, “ajr” (imbalan) dalam ayat ini tidak hanya bermakna harta atau upah, tetapi juga menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak memiliki ambisi untuk merampas kekuasaan. Para bangsawan tetap bangsawan, para pemuka tetap pemuka. Tujuan dakwah adalah mengajak kepada tauhid.

Ini menjadi kaidah penting bagi para dai, murabbi, dan mubalig: kita harus tegas menyampaikan, lā asalukum alaihi ajrā—kami tidak meminta imbalan apa pun.

Berbahaya jika dakwah menjadi bertarif—menentukan amplop atau tarif tertentu. Selama tidak meminta, dan ada kebutuhan lalu diberi, itu sah-sah saja. Tapi jangan sampai menetapkan harga: “kalau tidak segini, saya tidak datang.” Itu bisa bertentangan dengan prinsip dakwah Rasulullah ﷺ.

Lebih jauh, makna yang dijelaskan As-Sa’di juga menyampaikan bahwa Rasulullah ﷺ bukan ancaman bagi income atau status sosial kaum kafir Quraisy. Dakwah beliau bukan untuk menggusur, melainkan untuk menyelamatkan.

Karena itu, para dai juga harus menjaga jarak hati dari kekuasaan dan harta. Boleh berdakwah kepada orang kaya, tetapi hati-hati. Jangan sampai dakwah dilakukan karena “duwé”—karena pamrih. Jangan berharap akan fasilitas atau hadiah. Niat kita harus lurus.

Kemudian, makna “illā al-mawaddah fī al-qurbā” menurut As-Sa’di memiliki dua kemungkinan:

  1. Rasulullah ﷺ tidak meminta imbalan, kecuali agar mereka menjaga hubungan kekerabatan. Ini permintaan sederhana dari Rasulullah ﷺ: jaga silaturahim, jaga kasih sayang sebagai saudara.
  2. Maksud “al-mawaddah fī al-qurbā” adalah mawaddatullāh (kecintaan dari Allah), yang diperoleh melalui taqarrub (kedekatan) kepada-Nya. Ini makna yang jarang dibahas para mufasir. Rasulullah ﷺ tidak berharap balasan dari manusia, tetapi berharap kecintaan Allah akibat taqarrub beliau melalui dakwah dan ketaatan.

Dua makna ini saling melengkapi.

Dari makna pertama, kita diajarkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan kerabat—seburuk apa pun mereka. Tidak ada “mantan ayah”, “mantan ibu”, “mantan kakak”, atau “mantan adik.” Jika hubungan itu berasal dari darah, maka ia kekal dan harus dijaga. Bahkan jika menjaga hubungan itu harus dibayar dengan harta kita.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat-ayat tentang permusuhan terhadap orang kafir. Tetapi, terlepas dari itu, menjaga hubungan baik dengan objek dakwah tetap merupakan metode yang bisa membuka hati dan penerimaan terhadap dakwah kita.

Seperti yang dilakukan oleh Luqman Al-Hakim dalam mendakwahi anak dan istrinya—yang saat itu masih dalam kekafiran—dengan nasihat lembut penuh hikmah sampai akhirnya mereka masuk Islam. Ka aslama, kata para mufasir. Beliau terus menggunakan mau’izhah hasanah hingga mereka menerima hidayah.

Akhlak dan kelembutan kita bisa menjadi wasilah hidayah.

Adapun tentang firman Allah:

وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا

Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan, maka akan Kami tambahkan kebaikan untuknya.”

Sebagian ulama memaknainya bahwa siapa yang berbuat satu kebaikan, Allah akan menambah kebaikan-kebaikan lain sebagai balasannya. Ini sejalan dengan kaidah:

Min jazā’il ḥasanāti al-ḥasanātu ba’dahā,
“Bagian dari balasan atas satu kebaikan adalah lahirnya kebaikan-kebaikan setelahnya.”

Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik. Dia Maha Pengampun, lagi Maha Mensyukuri:

Inna Allāha Ghafūrun Syakūr
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Mensyukuri.”

Kata “Syakūr” ini sangat penting. Sebagai bagian dari keimanan kita terhadap Asmā’ul Ḥusnā, kita harus meneladani sifat ini. Meskipun kita tidak akan bisa seperti Allah, tapi kita harus menginternalisasikannya: menjadi orang yang mudah memaafkan, dan mudah berterima kasih.

Sekecil apa pun kebaikan yang kita terima, biasakan berterima kasih. Misalnya kepada satpam, petugas parkir, Pak Ogah, dan lainnya. Kalaupun tidak bisa memberi uang, setidaknya ucapkan, “Terima kasih.” Karena:

Man lam yaskuril qalīl, lam yaskuril katsīr.
“Siapa yang tidak bisa bersyukur atas yang kecil, dia juga akan sulit bersyukur atas yang besar.”

Mari kita biasakan bersyukur, bukan hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia yang menjadi jalan sampainya nikmat kepada kita. Jika tidak bisa dengan materi, maka dengan senyum dan ucapan baik.

Inilah implementasi dari sifat Allah yang mulia, “Ghafūr” dan “Syakūr.”

Read more: https://www.tabligh.id/2025/05/20/tarbiyah-imaniyah-dalam-surah-asy-syura-ayat-23-antara-harapan-surga-kasih-sayang-dan-keteladanan-nabi/

Posting Komentar

0 Komentar