Hewan Kurban Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Oleh Dr. Adi Hidayat, Lc., MA., P. hD

Berkaitan dengan bahwa ada hadist hewan kurban akan menjadi kendaraan bagi orang yang berkurban di akhirat. Khususnya, ada satu riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam yang berbunyi:

«اسْتَنِسُوا بِهَا فَإِنَّهَا مَرْكَبَةُ صَاحِبِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Baguskanlah hewan-hewan sembelihan kalian, karena sesungguhnya hewan-hewan tersebut akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya pada hari kiamat.”

Namun demikian, perlu diketahui bahwa riwayat ini dan riwayat-riwayat serupa memiliki banyak redaksi yang berbeda. Ada yang berbunyi “samminu” (gemukkanlah), “ahsinū” (baguskanlah), dan sebagainya. Intinya sama, bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan di akhirat, terutama saat menyeberangi shirath (jembatan antara surga dan neraka).

Permasalahannya adalah, para ulama ahli hadits menilai bahwa seluruh riwayat-riwayat ini sangat lemah (dha‘īf jiddan), bahkan sebagian di antaranya tidak memiliki asal (laa ashla lahu). Artinya, tidak ditemukan jalur sanad yang tersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Ibnul ‘Arabi al-Maliki menyebutkan bahwa hampir seluruh hadits tentang keutamaan kurban yang berlebihan—seperti akan menjadi kendaraan di akhirat—tidak ditemukan kekuatannya dan dinilai lemah.

Beberapa ulama lain juga menegaskan hal yang sama. Misalnya:

  • Al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam karyanya menyebut bahwa riwayat ini sangat lemah.
  • Al-Albani, pakar hadits kontemporer dalam kitabnya, juga menyebut hadits ini sangat lemah.
  • Al-Munawi dalam Faidh al-Qadīr menyatakan bahwa hadits tersebut lemah.
  • Beberapa ulama lain seperti Syekh Shalih al-Munajjid juga mengomentari bahwa hadits ini sangat lemah, bahkan cenderung palsu.

Namun, ada catatan menarik dari sebagian ulama yang mencoba memaknai hadits ini secara ma‘nawi (kiasan). Boleh jadi, maksud “kendaraan di akhirat” bukan dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai majas (ungkapan simbolik). Dalam bahasa Arab, banyak istilah yang mengandung makna majazi (kiasan).

Maknanya bisa saja bahwa jika seseorang berkurban dengan hewan terbaik—yang paling bagus, paling sehat, dan paling gemuk—maka nilai pahalanya akan semakin besar. Dan pahala itulah yang akan memudahkan seseorang menyeberangi shirath, karena amal baiknya semakin berat dalam timbangan.

Ini mirip dengan kisah dua putra Nabi Ādam ‘alaihis salam yang disebut dalam Al-Qur’an:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Ādam dengan sebenar-benarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban. Maka diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lainnya…”
(QS. Al-Mā’idah: 27)

Yang diterima kurbannya adalah yang mempersembahkan hewan terbaik. Sedangkan yang ditolak adalah yang mempersembahkan hasil tanaman yang jelek. Maka, kualitas kurban menunjukkan kesungguhan dalam beribadah.

Bahkan ketika Allah menurunkan surah Al-Kawtsar, Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk bersyukur dengan memperbanyak shalat dan berkurban:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”
(QS. Al-Kawtsar: 2)

Kata wanhar dalam ayat ini merujuk pada penyembelihan unta, hewan kurban yang paling besar dan paling utama pada masa itu. Ini menjadi isyarat bahwa berkurban dengan hewan yang terbaik sangat dianjurkan.

Kenapa kita perlu berkurban dengan hewan yang terbaik? Karena:

  1. Pahala yang lebih besar akan memperberat timbangan amal.
  2. Amal yang berat akan memudahkan kita melewati shirath.
  3. Ketakwaan yang mendasari ibadah itu menjadi pakaian terbaik untuk menuju surga.

Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hajj ayat 37:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging dan darah kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.”
(QS. Al-Hajj: 37)

Jadi, yang menjadi “kendaraan” sebenarnya adalah amal saleh dan ketakwaan yang melatarbelakangi kurban tersebut—bukan hewannya secara fisik.

Kesimpulan:

  • Dari segi sanad, hadits yang menyebut kurban akan menjadi kendaraan di akhirat itu sangat lemah bahkan ada yang palsu.
  • Namun dari sisi makna, bisa diambil pelajaran bahwa memperbagus hewan kurban adalah bentuk kesungguhan dan ketakwaan, yang pahalanya dapat memudahkan seseorang menuju surga.
  • Maka, jangan bersandar pada hadits tersebut secara tekstual, tetapi maknailah secara kiasan untuk memotivasi diri dalam beribadah sebaik mungkin.

Wallāhu ta‘ālā a‘lam bish-shawāb.
Semoga Allah memudahkan ikhtiar kita dan menerima seluruh amal kebaikan kita.

Read more: https://www.tabligh.id/2025/05/28/hewan-kurban-menjadi-kendaraan-di-akhirat/

Posting Komentar

0 Komentar