Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. MA.
kita akan mentadabburi ayat yang ke-24 dari Surah Asy-Syura. Silakan dibuka Al-Qur’an Surah Asy-Syura ayat ke-24.
أَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَىٰ عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا ۖ فَإِن يَشَإِ اللّٰهُ يَخْتِمْ عَلَىٰ قَلْبِكَ ۗ وَيَمْحُ اللّٰهُ الْبَاطِلَ وَيُحِقُّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Am yaqụlụnaftarā ‘alallāhi kadzibā, fa in yasya`illāhu yakhtim ‘alā qalbik, wa yamḥullāhul-bāṭila wa yuḥiqqil-ḥaqqa bikalimātih, innahụ ‘alīmun biżātiṣ-ṣudụr.
Artinya:
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) telah mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.’ Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci hatimu. Dan Allah menghapus yang batil serta menegakkan yang hak dengan firman-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Asy-Syura: 24)
Pada ayat sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang janji-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menyampaikan kepada kaum kafir Quraisy suatu pernyataan penting, sebagaimana terdapat dalam:
قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ ۗ
Qul lā as`alukum ‘alaihi ajran illal-mawaddata fil-qurbā
Artinya:
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku ini kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS. Asy-Syura: 23)
Di sini kita mendapati salah satu metode pendidikan yang sangat penting dalam dakwah, yaitu metode at-talqīn – membimbing seseorang untuk mengucapkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah.
Ayat ini juga merupakan tarbiyah da’wiyyah, pelajaran penting bagi para dai, ulama, dan mubalig. Dakwah itu harus disampaikan dengan keikhlasan dan tidak berorientasi pada imbalan duniawi. Jangan sampai seorang dai berdakwah karena tarif, karena amplop, atau hanya untuk mencari bayaran. Kalau hanya mengandalkan amplop kosong, tentu tidak ada manfaatnya. Apalagi jika tujuannya semata-mata adalah dunia.
Lalu bagaimana dengan kajian berbayar yang sempat viral dan menimbulkan pro-kontra?
Kalau yang dibayar adalah biaya fasilitas—seperti sewa tempat, alat, dan kebutuhan teknis lainnya—maka insyaallah tidak masalah, sebagaimana kita membayar biaya pendidikan. Bahkan bisa menjadi subsidi untuk program-program dakwah lain. Namun, bila yang ditarifkan adalah sang penyampai ilmu, apalagi sampai ada manajer dan event organizer (EO) yang memperlakukan dakwah seperti bisnis, maka ini perlu diwaspadai. Jangan sampai kemudian dakwah menjadi alat untuk mencari penghidupan duniawi secara eksklusif.
Sikap seorang dai, alim, atau mubalig yang ikhlas dan tidak menggantungkan dakwahnya pada balasan materi akan membuatnya lebih merdeka, lebih bebas dalam menyuarakan kebenaran. Namun, jika ada sponsor atau pihak yang “mengontrol” isi ceramah, maka ini akan mengganggu objektivitas dakwah itu sendiri.
Kembali kepada ayat:
قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ ۗ
Para mufasir menyebutkan dua makna dari ayat ini:
- Makna pertama: Rasulullah tidak mengharapkan materi sedikit pun dari kaum Quraisy, melainkan beliau hanya berharap agar hubungan kekeluargaan tetap dijaga, meskipun mereka menolak dakwah beliau. Ini menunjukkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat menjaga adab dalam berdakwah, bahkan kepada keluarga yang menentangnya seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.
- Makna kedua: “Al-mawaddata fil-qurbā” ditafsirkan sebagai kecintaan karena Allah, sebagai bentuk taqarrub kepada-Nya. Yakni, satu-satunya yang diharapkan dari dakwah itu adalah cinta Allah karena kedekatan kepada-Nya, bukan karena balasan duniawi.
Kemudian ayat berikutnya:
وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُۥ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ شَكُورٌۭ
Wa may-yaqtarif ḥasanatan nazid lahụ fīhā ḥusnā, innallāha gafụrun syakụr.
Artinya:
“Dan barang siapa mengerjakan suatu kebaikan, niscaya Kami akan menambahkan kebaikan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Asy-Syura: 23)
Makna ḥusnā di sini bukan hanya balasan surga di akhirat, tetapi juga kebaikan-kebaikan yang Allah munculkan di dunia. Seperti kata Imam Hasan al-Bashri: “Sesungguhnya kebaikan akan melahirkan kebaikan berikutnya.” Maka, jika engkau merasa futur, jauh dari Allah, atau banyak lalai dari kewajiban, jangan biarkan hal itu berlarut-larut. Mulailah dengan satu kebaikan kecil, tapi ikhlas. Bisa berupa istighfar, salawat, membantu orang tua, atau menolong sesama Muslim.
Insyaallah, satu kebaikan yang kita lakukan dengan ikhlas akan menjadi titik balik untuk kebangkitan ruhiyah dan ubudiah kita.
Allah menutup ayat ini dengan dua nama-Nya:
ٱللَّهَ غَفُورٌۭ شَكُورٌۭ
Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Ini bukan sekadar deskripsi sifat Allah, tapi pelajaran bagi kita untuk meneladani-Nya—agar menjadi pribadi yang pemaaf dan tahu berterima kasih kepada sesama.
Sebagai hamba Allah, kita dituntut untuk menjadi pribadi yang tidak hanya bersyukur kepada Allah ﷻ, tetapi juga mampu mensyukuri kebaikan, sekecil apa pun, dari sesama manusia.
Ini sangat penting, sebagaimana disebutkan dalam pepatah Arab:
ٱلۡكَرِيمُ مَن يَشۡكُرُ ٱلۡقَلِيلَ
“Orang yang mulia adalah orang yang mensyukuri (kebaikan) yang kecil sekalipun.”
Kalau kita ingin mengetahui apakah seseorang itu mulia dan dermawan, salah satu ukurannya adalah sejauh mana ia mampu berterima kasih atas kebaikan kecil yang diberikan kepadanya. Bahkan ketika orang yang membantu menganggap bantuannya itu tidak seberapa, orang yang memiliki hati yang baik akan tetap menyampaikan terima kasih.
Sebagai manusia, kita harus mensyukuri bantuan-bantuan kecil dari sesama. Allah saja sangat berterima kasih dan mensyukuri kebaikan para hamba-Nya. Maka terlebih lagi kita, sesama manusia, tentu harus lebih mampu berterima kasih dan menghargai kebaikan sesama.
Tuduhan Orang Kafir dan Pembelaan Allah
Kemudian, Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Qur’an:
أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗاۖ فَإِن يَشَإِ ٱللَّهُ يَخۡتِمۡ عَلَىٰ قَلۡبِكَۗ
“Ataukah mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?’ Maka sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci hatimu.”
(QS. Asy-Syūrā: 24)
Ayat ini berkaitan dengan kaum kafir Quraisy sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi. Mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengada-adakan kebohongan atas nama Allah ﷻ, seolah-olah beliau berdusta bahwa dirinya menerima wahyu dan diutus sebagai Nabi.
Ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan wahyu dari Allah ﷻ, mereka menuduh beliau berdusta. Maka Allah ﷻ membantah tuduhan itu dan menyatakan, seandainya benar Nabi berdusta, tentu Allah akan mengunci hatinya.
Imam Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa Allah ﷻ bisa saja mengunci hati mereka, membungkam lisan mereka, dan menyegerakan azab atas tuduhan keji itu. Namun, sebagaimana ayat-ayat sebelumnya, azab itu ditangguhkan sampai hari kiamat sebagai bentuk ujian dan istidrāj (penangguhan azab untuk memperberat dosa mereka).
Peringatan Bagi Para Penyeru Agama
Apa yang ditegaskan Allah ﷻ dalam ayat ini menjadi pelajaran penting bagi para ulama, ustaz, dai, dan mubaligh. Ketika menyampaikan ayat Allah, berhati-hatilah. Tafsirkan dengan merujuk kepada penjelasan para ulama yang muktabar. Jangan sembarangan menafsirkan, apalagi menyesuaikan ayat dengan hawa nafsu atau kerangka berpikir lain seperti hermeneutika dan teori-teori sekuler.
Jangan memaksakan ayat untuk menjustifikasi keinginan pribadi. Itu bisa menjadi bentuk “iftirā ʿalallāhi kadzibā” — mengada-adakan kebohongan atas nama Allah ﷻ — dan bisa menyebabkan Allah mengunci hati pelakunya. Bila hati telah terkunci, akan sulit menerima kebenaran dan hidayah.
Kegelisahan Intelektual dan Ujian Pemikiran
Sebagian orang yang sedang mengalami masa pubertas intelektual — yang sering disebut murāhaqah fikriyyah — terkadang mulai genit dalam berdialektika, gemar mendebat ayat-ayat Allah ﷻ, dan menafsirkan ayat tidak sesuai dengan manhaj yang benar. Mereka lebih mengikuti hawa nafsu dan pemikiran modernis ketimbang penjelasan ulama salaf maupun khalaf yang lurus.
Bahkan ada yang menyifati Allah dengan sifat yang tidak Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an dan tidak pula Rasulullah ﷺ tetapkan dalam sunahnya. Ini pun termasuk bentuk kebohongan terhadap Allah ﷻ yang sangat berbahaya.
Allah Menegakkan Kebenaran dan Menghapus Kebatilan
Allah ﷻ menegaskan:
وَيُحِقُّ ٱللَّهُ ٱلۡحَقَّ بِكَلِمَٰتِهِۦۚ إِنَّهُۥ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Dan Allah menegakkan yang benar dengan firman-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
(QS. Asy-Syūrā: 24)
Artinya, cepat atau lambat, Allah akan menghapus kebatilan dan memenangkan kebenaran. Sebagaimana firman Allah:
وَقُلْ جَاءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَاطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.”
(QS. Al-Isrā’: 81)
Meskipun terkadang proses itu tidak cepat. Kadang kita berdakwah dalam waktu lama, tetapi hasilnya belum terlihat. Kesyirikan tetap ada, bid’ah tetap menjalar, kemaksiatan tetap marak, dan kezaliman masih bercokol. Bisa jadi, kita wafat sebelum menyaksikan keberhasilan dakwah kita. Tetapi janji Allah pasti: kebatilan akan lenyap.
Dakwah adalah Estafet dan Akumulasi
Perjuangan dakwah adalah perjuangan panjang. Bisa jadi hasilnya baru terlihat di generasi berikutnya — anak kita, cucu kita, atau bahkan cicit kita. Kita hanya bagian dari estafet panjang dakwah Islam.
Lihatlah bagaimana KH. Hasyim Asy’ari tidak membayangkan Nahdlatul Ulama akan sebesar sekarang, atau KH. Ahmad Dahlan yang tidak pernah membayangkan Muhammadiyah akan memiliki ribuan sekolah, rumah sakit, dan kampus, bahkan menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di dunia. Mereka tidak melihat hasil secara langsung, tetapi perjuangan mereka tetap abadi dan besar.
Maka yakinlah, cepat atau lambat, Allah akan memenangkan kebenaran dengan firman-Nya. Allah menegaskan:
إِنَّهُۥ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
(QS. Asy-Syūrā: 24)
Ini adalah peringatan agar kita memperhatikan ʿamalul-qulūb — amal-amal hati. Kendalikan bisikan hati. Jangan sampai menyimpang dari keikhlasan, kerendahan hati, dan kejujuran terhadap Allah ﷻ.
Amalan Hati Lebih Penting dari Amalan Fisik
Sering kali manusia hanya terpaku pada amalul jawāriḥ — amalan-amalan fisik seperti salat, puasa, sedekah, dan lain sebagainya — namun lupa untuk memperhatikan amalul qulūb, yaitu amalan-amalan hati. Mereka lalai mengawasi kondisi batin mereka sendiri, padahal di dalam hatinya masih tersisa penyakit seperti ujub (bangga diri), iri, dengki, su’uzan (berprasangka buruk), dan takabur.
Mereka lupa untuk memupuk qana‘ah (rasa cukup), menguatkan rida (kerelaan terhadap takdir), serta mempertebal husnuzan (prasangka baik) kepada Allah dan sesama. Padahal semua itu adalah bagian penting dari riyāḍatul qulūb — latihan jiwa dan pembersihan hati.
Mengapa semua ini penting? Karena Allah ﷻ adalah Dzat Yang Maha Mengetahui isi hati manusia.
Allah Mengetahui Isi Hati
Allah ﷻ berfirman:
عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
(QS. Asy-Syūrā: 24)
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
أَلَا يَعۡلَمُ مَنۡ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ
“Apakah (Allah) yang menciptakan itu tidak mengetahui, sedangkan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui?”
(QS. Al-Mulk: 14)
Jangan Sombong dan Jangan Memvonis
Allah juga mengingatkan kita untuk tidak merasa diri sudah suci atau paling benar:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Artinya, belum tentu orang yang kelihatan saleh di mata manusia — hafal Al-Qur’an, hafal hadis, retorikanya luar biasa — benar-benar bertakwa di sisi Allah ﷻ. Bisa jadi justru orang yang tidak dikenal, tidak menonjol, tapi ikhlas dalam amalnya, lebih mulia di sisi Allah.
Maka kita pun tidak boleh mudah memvonis orang lain. Bahkan jika secara lahiriah ia tampak sebagai pelaku maksiat, belum tentu hatinya seburuk penampilannya.
Sering kali, orang-orang yang tidak pernah ikut kajian, yang tampak awam dan sederhana, justru dalam momen tertentu menunjukkan ketulusan, kejujuran, dan keberanian berkorban yang luar biasa. Mereka lebih istijābah — lebih mudah menerima kebenaran — dibanding sebagian orang yang rutin ikut kajian, tetapi hatinya tertutup oleh kesombongan ilmu.
Jangan Menilai dari Penampilan
Kita tidak boleh menilai orang hanya dari sampulnya. Jangan menghakimi seseorang hanya dari penampilan fisiknya. Setiap manusia, seburuk apa pun kelihatannya, pasti memiliki potensi kebaikan dalam dirinya.
Sebagai da’i, kita tidak boleh putus asa melihat kondisi orang lain. Jangan apriori. Jangan merasa lebih suci daripada yang lain. Ketika ada seseorang datang ke pengajian meskipun penuh tato, atau berpakaian kurang sesuai, sambutlah ia dengan ramah. Jangan sampai sikap kita membuat orang merasa tidak pantas mendekat kepada rahmat Allah ﷻ.
Jangan pernah berputus asa terhadap hidayah Allah untuk orang lain. Bahkan, jika kita sendiri merasa pesimis terhadap kemungkinan seseorang mendapatkan hidayah, itu bisa menjadi penghalang turunnya hidayah itu.
Bahaya Sikap Eksklusif
Ketika para da’i bersikap eksklusif, tidak mau berbaur dengan masyarakat, merasa lebih suci daripada yang lain, maka dakwah akan kehilangan daya sentuhnya.
Saya sendiri pernah beberapa kali berdialog dengan mereka yang jauh dari dunia pengajian. Saat kami duduk bersama di angkringan, pos ronda, atau tempat-tempat santai lainnya, obrolan kami awalnya ngalor-ngidul. Tapi ketika pembicaraan mulai diarahkan kepada hal-hal yang menyentuh hati, mereka begitu tersentuh, merasa diperhatikan, merasa dihargai. Mereka tak menyangka ada orang yang mau menyambangi dan mengajak mereka kepada kebaikan.
Tugas Da’i: Ulurkan Tangan dengan Kasih Sayang
Mereka adalah umat Nabi Muhammad ﷺ. Maka tugas kita sebagai para da’i adalah mengulurkan tangan kepada mereka dengan penuh kasih sayang dan prasangka baik. Lihatlah sesama umat Islam dengan ‘ainur raḥmah — pandangan penuh kasih. Jangan nilai seseorang hanya dari penampilan fisiknya. Karena sekali lagi, Allah Maha Mengetahui isi hati.
عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
(QS. Asy-Syūrā: 24)
Oleh karena itu, marilah kita terus awasi dan perbaiki amalul qulūb — amalan hati kita. Ia lebih penting daripada sekadar amalan fisik.
0 Komentar