Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang
Kita sering melihat orang menikmati hidup dengan caranya masing-masing: ada yang suka keramaian, ada yang justru menemukan tenang ketika sendirian. Namun di balik perbedaan itu, ada satu tujuan yang sama: semua ingin bahagia. Dan kebahagiaan itu, anehnya, selalu berpangkal pada isi kepala yang tak pernah sama antar manusia. Karena itulah perjalanan mencari bahagia sering terasa unik bagi tiap orang, namun tetap memberi pelajaran yang sama: Allah-lah sumber segala ketenangan.
Bahagia adalah kebutuhan yang Allah tanamkan dalam jiwa manusia. Meski begitu, Islam mengajarkan bahwa bahagia yang paling kokoh bukan sekadar rasa senang, melainkan ketenteraman hati yang bersandar kepada Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa hati punya sumber ketenangan yang tak bisa diganti oleh apa pun di dunia.
Allah berfirman:
﴿ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini terasa dekat, sebab manusia memang punya kebutuhan untuk kembali kepada sesuatu yang membuat jiwanya tenang. Sebagian orang mencarinya lewat kebersamaan; mereka merasa hidup ketika dikelilingi tawa dan cerita. Sebagian lagi mencarinya dalam sepi; mereka merasa utuh ketika hanya mendengar suara hati sendiri. Tidak ada yang salah dari keduanya. Yang keliru adalah ketika kita mencari bahagia tanpa arah, tanpa menyadari bahwa ada sumber ketenangan yang lebih tetap dibanding suasana dan kondisi.
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati selalu berkaitan dengan hati dan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Beliau bersabda:
« إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ »
“Sungguh berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah (ujian yang menyesatkan).” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa bahagia tidak selalu berarti hidup tanpa ujian, tetapi hati yang diberi kemampuan untuk tidak terjerumus oleh ujian itulah yang disebut bahagia. Maka bahagia bukan pada tempatnya, tetapi pada cara kita menghidupkan hati.
Perbedaan Cara Bahagia adalah Fitri
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat betapa pikiran manusia tidak pernah sama. Seseorang merasa bahagia karena kopi panas dan buku favorit, sementara yang lain baru merasa bahagia jika berada dalam lingkaran keluarga besar. Ada yang kuat berjalan sendiri, ada yang rapuh tanpa teman bicara.
Semua berjalan dengan “kepala” masing-masing—isi pikiran, pengalaman hidup, luka-luka lama, dan harapan-harapannya. Perbedaan itu bukan kesalahan, melainkan tanda betapa luasnya cara Allah mencipta manusia.
Namun Islam mengingatkan bahwa kebebasan mencari bahagia tetap perlu dikendalikan oleh hati yang bersih. Allah berfirman:
﴿ فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ﴾
“Maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Taha: 123)
Ayat ini mengajarkan bahwa tanpa petunjuk Allah, manusia mungkin menikmati, tetapi sulit merasakan cukup.
Sepi dan Ramai: Dua Jalan, Satu Tujuan
Sebagian orang merasa bahwa kesendirian adalah bentuk pelarian, padahal ada kesendirian yang justru melatih hati untuk jernih. Rasulullah SAW bersabda:
« لَا تَكُنْ وِحْدَكَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ »
“Janganlah engkau sendirian, karena setan bersama orang yang sendirian.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini tidak melarang seseorang menikmati sepi, tetapi memperingatkan bahwa kesendirian yang kosong dari zikir, introspeksi, dan ibadah bisa melemahkan hati.
Sebaliknya, kebersamaan juga memiliki ujian. Ada yang dekat dengan banyak orang tetapi hatinya kosong. Ada yang sedikit temannya tetapi luas lapang hatinya. Allah menegaskan:
﴿ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ﴾
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Artinya, baik sepi maupun ramai, keduanya menjadi jalan bahagia jika menghidupkan kebaikan.
Ikhlas: Jembatan dari Banyak Perbedaan
Jika setiap manusia membawa isi kepala yang berbeda-beda, maka Islam memberi satu jembatan agar semua perbedaan itu bisa bertemu: keikhlasan.
Ikhlas membuat seseorang tidak iri pada kebahagiaan orang lain, tidak minder pada cara hidupnya sendiri, dan tidak mencari validasi berlebihan. Ikhlas membuat hati cukup, meskipun cara bahagianya sederhana.
Pada akhirnya, manusia boleh memilih jalannya masing-masing untuk menemukan rasa lega itu. Ada yang menemukannya dalam riuh tawa teman-teman, ada pula yang menemukannya dalam sunyi selepas tahajud. Namun yang meneguhkan semuanya adalah keyakinan bahwa Allah mengetahui isi hati setiap hamba dan tidak menyesatkan siapa pun yang berusaha mendekat kepada-Nya.
Karena bahagia sejati bukan ditemukan oleh kepala yang sibuk, tetapi oleh hati yang kembali.
Semoga Allah menjadikan setiap langkah, dalam ramai maupun sepi, sebagai jalan menuju ketenangan yang tidak lekang oleh keadaan. Aamiin. (*)
Read more: https://klikmu.co/mencari-bahagia-dengan-cara-berbeda/
0 Komentar