Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.
وَمِنْ ءَايَـٰتِهِ ٱلْجَوَارِ فِى ٱلْبَحْرِ كَٱلْأَعْلَـٰمِ
إِن يَشَأْ يُسْكِنِ ٱلرِّيحَ فَيَظْلَلْنَ رَوَاكِدَ عَلَىٰ ظَهْرِهِۦٓ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّكُلِّ صَبَّارٍۢ شَكُورٍ
أَوْ يُوبِقْهُنَّ بِمَا كَسَبُوا۟ وَيَعْفُ عَن كَثِيرٍۢ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah ialah kapal-kapal yang berlayar di lautan laksana gunung-gunung. Jika Dia menghendaki, Dia menahan angin, maka kapal-kapal itu pun terdiam di permukaan laut. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur. Atau Dia menghancurkan kapal-kapal itu karena dosa-dosa mereka, dan Dia memaafkan banyak (dari kesalahan mereka).”
(Q.S. Asy-Syura: 32–34)
Allah-lah yang mengendalikan samudra dan lautan—tempat kapal-kapal berlayar mengarunginya.
Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa istilah kal-a’lām (seperti gunung-gunung) merujuk pada kapal layar yang tinggi menjulang, sehingga dalam pandangan orang Arab dahulu, menyerupai gunung. Mereka menyebut segala yang tinggi menjulang dengan ‘alam—tanda atau gunung.
Jika Allah menghendaki, Dia dapat menghentikan angin (yuskin ar-rīḥ), dan kapal-kapal itu pun menjadi rawākid—berhenti diam di permukaan laut. Sebab, kapal-kapal pada masa lalu bergerak hanya dengan dorongan angin. Tanpa angin, perjalanan pun terhenti.
Sesungguhnya dalam fenomena ini terdapat pelajaran bagi orang-orang yang sabar (ṣabbār) dan bersyukur (syakūr). Dua karakter ini menjadi kunci dalam menyadari dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah.
Ayat berikutnya, aw yubiqhunna bimā kasabū, memperingatkan bahwa Allah bisa saja menenggelamkan kapal-kapal itu karena dosa-dosa penumpangnya. Namun, Allah juga Maha Pengampun, sebagaimana disebut dalam lanjutan ayat: wa ya’fū ‘an katsīr—Dia memaafkan banyak dari kesalahan mereka.
Tiga ayat ini, khususnya dua yang pertama, bukan hanya mengajak kita merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta, tetapi juga menyadarkan bahwa sehebat apa pun teknologi—kapal layar, kapal bermesin, bahkan pesawat terbang—semuanya bergantung sepenuhnya kepada kehendak Allah.
Teknologi secanggih apa pun masih tunduk pada angin, cuaca, dan berbagai faktor alam. Belum lama ini, terjadi kecelakaan pesawat di India. Bahkan, pesawat jemaah haji pun harus mendarat darurat di Bandara Kualanamu karena ancaman bom.
Ini membuktikan bahwa sehebat apa pun buatan manusia, jika Allah berkehendak (in yasya’), semuanya bisa menjadi lumpuh. Kita mungkin menyebut human error, kesalahan pilot, atau kelalaian maskapai, tetapi semua itu hanyalah sebab lahiriah. Yang menentukan segalanya adalah kehendak-Nya.
Bahkan teknologi tercanggih bisa rusak hanya karena seekor burung tersedot ke dalam mesin pesawat atau karena kebocoran kecil di lambung kapal. Ini semua menunjukkan betapa lemah dan terbatasnya manusia di hadapan kekuasaan Allah.
Maka, janganlah kita sombong. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita doa saat menaiki kendaraan:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ
“Mahasuci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kepada Tuhanlah kami akan kembali.”
Mungkin ada yang mengira doa ini hanya relevan di zaman kendaraan masih berupa unta atau kuda. Namun, pada kenyataannya, hingga kini—baik naik mobil, kapal, atau pesawat—semuanya tetap tunduk pada kehendak Allah.
Mari kita renungi: mesin terbuat dari apa? Bahan bakarnya dari mana? Semua berasal dari ciptaan Allah. Tanpa izin-Nya, tidak akan ada semua itu.
Kita diingatkan dalam doa: wa mā kunnā lahu muqrinīn—kita tidak akan mampu menguasainya tanpa pertolongan Allah. Dan wa innā ilā Rabbinā lamunqalibūn—pasti kita akan kembali kepada-Nya, baik karena musibah maupun sebab lain.
Perjalanan—baik udara, laut, atau darat—bisa menjadi zikrul maut (pengingat kematian). Jika Allah menghentikan angin, kapal takkan bergerak. Persediaan habis, dan kematian pun tinggal menunggu. Namun, karena rahmat-Nya, Allah mengirimkan kembali angin untuk menyelamatkan perjalanan.
Demikian pula bimā kasabū—Allah bisa saja menghancurkan kapal karena dosa penumpangnya. Dalam Tafsir Al-Baghawi, dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah bimā kasabat rukbānuha minadz-dzunūb—dosa yang dilakukan para penumpang.
Ketika kita naik pesawat atau kapal, ingatlah ayat ini. Terutama jika pemimpin perjalanan—pilot atau kapten—berbuat maksiat.
Secara pribadi, saya merasa lebih tenang ketika menaiki maskapai seperti Saudia yang tidak menjual minuman keras. Bukan promosi, tetapi fakta bahwa banyak maskapai lain, termasuk dalam rute ke Tanah Suci, tetap menjual minuman haram.
Saat terbang ke Jepang, misalnya, rasa waswas sangat besar karena minuman keras dijual bebas di pesawat. Saya hanya bisa memperbanyak istighfar. Sebab bisa saja, karena dosa penumpang atau praktik dalam pesawat, Allah menurunkan azab-Nya.
Semoga dengan istighfar kita, Allah mengampuni kita. Sebab Allah telah berfirman:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan Allah tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampun (beristighfar).”
Makna bimā kasabū dan wa ya’fū ‘an katsīr menunjukkan bahwa Allah menghukum sebagian dan memaafkan banyak yang lain. Maka jika masih ada yang selamat meski berada di lingkungan maksiat (seperti kapal pesiar), itu karena rahmat Allah.
Cerita dari awak kapal pesiar asal Indonesia mengungkapkan kondisi moral yang memprihatinkan. Mohon maaf, ditemukan kondom dan pakaian dalam berserakan. Video dokumentasinya pun beredar di YouTube. Jika Allah hendak mengazab, tentu kapal-kapal seperti itu lebih sering tenggelam. Namun Allah masih menunda azab-Nya.
Semestinya semua ini membuat kita lebih tawaduk, khusyuk, dan waspada terhadap dosa, terutama saat dalam perjalanan (safar).
Rasulullah ﷺ mengajarkan doa safar:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى
“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kebaikan dan ketakwaan dalam perjalanan ini.”
Sebab, tujuan sejati safar adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan hanya sekadar berpindah tempat.
Dalam ayat disebut:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.”
Menurut As-Sa‘di, ṣabbār berarti orang yang sangat banyak bersabar dalam menjalankan ketaatan, menjauhi maksiat, dan menghadapi musibah. Sedangkan syakūr adalah orang yang bukan sekadar bersyukur, tetapi sangat bersyukur, menyadari semua nikmat berasal dari Allah, serta menggunakannya untuk meraih rida-Nya.
Orang-orang yang sabar dan bersyukur inilah yang mampu menangkap pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (āyāt kauniyyah). Inilah ciri mukmin sejati.
Dalam Tafsir Al-Baghawi, ayat inna fī dzālika la āyātin likulli ṣabbār syakūr ditafsirkan sebagai likulli mu’min—hanya orang beriman yang sabar dan bersyukur yang dapat mengambil pelajaran.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Jika diberi nikmat, ia bersyukur. Jika ditimpa musibah, ia bersabar.”
Kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi, tetapi pada sikap kita terhadap kondisi itu. Bahagia bukan karena kaya atau sehat, tetapi karena kita mampu bersabar dalam kesulitan dan bersyukur dalam kelapangan.
Semoga kajian ini bermanfaat, khususnya dalam hal fawāid tarbawiyyah (pelajaran pendidikan). Di antaranya adalah pentingnya merenungi ayat-ayat Allah di alam semesta sebagai metode pendidikan ruhiyah dan akhlakiyah agar kita menjadi hamba yang sabar dan bersyukur.
0 Komentar