Tafsir Tarbawi QS Asy Syura ayat 25-26: Taubat: Dari Dosa Menuju Derajat yang Dicintai Allah

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

وَهُوَ الَّذِيْ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهٖ وَيَعْفُوْا عَنِ السَّيِّاٰتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَۙ وَيَسْتَجِيْبُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖ ۗوَالْكٰفِرُوْنَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ

Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan, mengetahui apa yang kamu kerjakan, memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang sangat keras.

Pada ayat ke-25 ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menegaskan:

“Wa huwa alladzī yaqbalu at-tawbata ‘an ‘ibādihī…” “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya.”

Wahuwa – dan Dia – Allah ‘Azza wa Jalla, alladzī – yang – yaqbalu menerima at-tawbah, taubat, dari ‘ibādihī, hamba-hamba-Nya.

“…wa ya‘fū ‘anis-sayyi’āt” – dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, “…wa ya‘lamu mā taf‘alūn” – dan mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan.

Ma‘asyiral Muslimīn wa zumrat al-mu’minīn, arsyadakumullāh.

Al-Imām al-Baghawī rahimahullāh menjelaskan makna dari ayat ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhu:

“Yurīdu auliyā’ahu wa ahla ṭā‘atihi” – Yang dimaksud dengan “hamba-hamba-Nya” dalam ayat ini adalah para wali-Nya, orang-orang yang dicintai Allah, dan orang-orang yang taat kepada-Nya.

Kemudian, Al-Imām al-Baghawī juga menjelaskan makna taubat. Beliau meriwayatkan beberapa pendapat tentang makna taubat, di antaranya:

“Niyyatan wal-iqbālati.” Taubat adalah meninggalkan maksiat, baik secara niat maupun perbuatan, kemudian bersegera untuk melakukan ketaatan, juga baik secara niat maupun amal praktiknya.

Beliau juga meriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdullāh:

“At-taubah hiya al-intiqālu min al-aḥwāl al-madhmūmah ilā al-aḥwāl al-maḥmūdah.”

“Taubat adalah berpindah dari keadaan yang tercela menuju keadaan yang terpuji.”

Berpindah dari perbuatan-perbuatan yang dicela menuju perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah makna taubat.

Dan kita mengenal istilah “taubatan naṣūḥā” – taubat yang sebenar-benarnya kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Allah berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةًۭ نَّصُوحًا

Yā ayyuhalladzīna āmanū tūbū ilallāhi taubatan naṣūḥā “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. At-Taḥrīm: 8)

Bagaimana taubat itu? Harus diawali dengan an-nadam – penyesalan. Jadi kalau seseorang bertaubat tapi tidak merasa menyesal atas perbuatannya, itu bukan taubat. Apalagi kalau dia merasa tidak bersalah. Minta maaf hanya supaya aman secara hukum, atau supaya tidak dituntut, tapi dalam hatinya tidak ada penyesalan – itu belum bisa disebut taubat.

Taubat yang benar itu harus diawali dengan an-nadam, penyesalan yang tulus atas dosa yang telah dilakukan.

Lalu, yang kedua adalah ḥadmul-iṣrār – tidak terus-menerus dalam perbuatan dosa. Jangan sampai dia menyesal, tapi mengulangi lagi. Istighfar, tapi besok mengulanginya kembali. Maka ia harus melepaskan itu semua, tarqul-ma‘āṣī, meninggalkan maksiat.

Kalau dia masih melakukannya, itu namanya taubat lombok, taubat sambal – ketika pedas minta ampun, tapi setelah reda, nambah lagi.

Taubat yang Allah terima adalah taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika seseorang melakukan dosa, lalu menyesal, itu baik. Tapi jika dia sudah menyiapkan niat untuk mengulangi lagi besok, itu belum taubat.

Penyesalannya hanya sesaat. Apalagi jika sudah tidak merasa bahwa itu adalah dosa, atau bahkan meyakini kebolehan melakukan dosa tersebut. Ini bisa berbahaya. Bisa sampai kepada kekufuran, wal-‘iyādzu billāh.

Para ulama bersepakat bahwa orang yang meninggalkan salat wajib karena juhūd—yakni mengingkari kewajiban salat—maka sepakat dihukumi kafir. Namun, apabila ia meninggalkan salat wajib karena malas dan sebab-sebab lain yang tidak sampai pada pengingkaran, maka masih terdapat perbedaan pendapat. Pendapat yang lebih kuat (rajih), insyaallah, tidak sampai kafir. Sebab, ia meninggalkan bukan karena mengingkari kewajiban salat, tetapi karena lalai, malas, atau sebab lainnya. Ini masih lebih ringan.

Namun, apabila seseorang sampai mengingkari kewajiban salat, maka itu lebih fatal. Oleh karena itu, hati-hatilah. Taubat dalam hal ini menjadi sangat penting untuk dilakukan. Taubat harus disertai penyesalan, berlepas diri dari dosa, dan tidak mengulanginya kembali.

Kemudian, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapus (dosa) perbuatan buruk.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1987, dihasankan oleh al-Albani)

Ini bentuk tanggung jawab dan komitmen kita dalam bertaubat. Maka, apabila seseorang mengaku bertobat, tetapi setelah itu tidak berusaha memperbaiki diri, tidak menambal atau mengganti kesalahannya dengan amalan-amalan baik lainnya, maka tobatnya belum sempurna.

Allah Subḥānahu wa Taʿālā menegaskan bahwa Dia menerima taubat:

وَهُوَ ٱلَّذِى يَقْبَلُ ٱلتَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُوا۟ عَنِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan serta mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syūrā: 25)

Selama seorang hamba betul-betul bertaubat kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā, sebesar apa pun dosa dan kesalahannya, Allah akan menerima taubat itu.

Dikatakan:

لَا كَبِيرَ مَعَ ٱلِٱسْتِغْفَارِ، وَلَا صَغِيرَ مَعَ ٱلْإِصْرَارِ

“Tidak ada dosa besar jika disertai istighfar, dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus.”

Ini penting. Keyakinan kita harus kuat bahwa Allah Subḥānahu wa Taʿālā pasti menerima taubat hamba-Nya. Namun, jangan sampai keyakinan ini membuat kita menyepelekan dosa dan menganggap enteng perbuatan maksiat.

Ibnu Katsīr dalam menafsirkan ayat tersebut menukil sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ، سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلَاةٍ

“Sungguh Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kalian yang menemukan kembali untanya yang hilang di tengah padang pasir.”
(HR. al-Bukhārī, no. 6309; Muslim, no. 2747)

Betapa Maha Baiknya Allah Subḥānahu wa Taʿālā kepada kita. Ketika Allah menerima taubat kita, bukan hanya sekadar menerima, tetapi Dia juga ridha dan bergembira dengan taubat itu. Tentu saja, kegembiraan Allah tidak sama dengan kegembiraan makhluk-Nya. Jika seorang manusia merasa gembira karena menemukan kembali sesuatu yang ia butuhkan, itu karena ia memiliki kebutuhan. Sedangkan Allah tidak memiliki kebutuhan kepada taubat kita. Kegembiraan Allah adalah bagian dari keagungan dan kemuliaan-Nya serta bukti bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-hamba-Nya.

Kemudian, dalam lanjutan penjelasan, disebutkan bahwa kata “ya’fu” (يَعْفُو) dalam ayat tersebut memiliki makna yang lebih dahsyat dibandingkan sekadar “yaqbalut-taubah” (يَقْبَلُ التَّوْبَةَ) atau “yaghfirudz-dzunūb” (يَغْفِرُ الذُّنُوبَ). Makna “ya’fu” adalah menghapus, bukan hanya dosa, tetapi juga bekas-bekas dari dosa itu, termasuk aib dan cela yang ditimbulkannya.

Karena itu, hati-hati. Ketika ada saudara kita yang sudah bertaubat dari dosanya, jangan diungkit-ungkit lagi. Allah saja sudah mengampuni dan menghapus bekas-bekas kesalahannya, maka kita sebagai sesama hamba hendaknya tidak membuka kembali aib tersebut.

Termasuk juga kesalahan kita sendiri, jangan kemudian dipamerkan atau diceritakan kembali, apalagi dengan rasa bangga. Kita khawatir hal itu termasuk dalam kategori “al-mujāhirūn bis-sū’”—yakni orang-orang yang terang-terangan menampakkan kemaksiatan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ

“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan dalam kemaksiatannya.”
(HR. al-Bukhārī, no. 6069; Muslim, no. 2990)

Karena efek dari dosa yang dipamerkan itu tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi bisa menjadi contoh buruk bagi orang lain, terlebih jika ia adalah figur publik. Maka jika Allah telah menutupi dosa kita, tidak usah diceritakan. Dan jangan merasa munafik karena menutup aib, justru itu adalah bentuk penjagaan diri.

Jangan merasa “gentle” atau seolah-olah jujur kalau berkata, “Kita kan harus mengakui kesalahan.” Ya, mengakui kesalahan itu penting, apalagi jika berkaitan dengan hak-hak antarsesama manusia—misalnya mengaku punya utang, itu wajib. Atau jika pernah mencuri, maka harus dikembalikan. Namun, jika dosa-dosa tersebut tidak terkait dengan hak orang lain, tidak ada manfaatnya jika justru diumbar. Apa yang sudah Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tutupi, jangan kita buka kembali. Itu bisa mendatangkan konsekuensi hukum, baik duniawi maupun ukhrawi.

Orang yang bertobat kepada Allah kembali menjadi mulia, seolah-olah ia tidak pernah melakukan keburukan tersebut. Maka Allah mencintainya dan memberikan taufik kepadanya untuk melakukan amal-amal yang mendekatkan diri kepada-Nya.

Ikhwah fīllāh, salah satu tarbiyah rūḥiyyah yang sangat penting adalah taubat al-qulūb—amalan hati yang agung. Taubat tidak harus hanya dilakukan oleh para pendosa atau orang-orang yang zalim. Bahkan, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam yang ma‘ṣūm (terjaga dari dosa) pun senantiasa beristigfar setiap hari.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. al-Bukhārī, no. 6307)

Dalam riwayat lain disebutkan seratus kali. Itu Rasulullah, apalagi kita? Di zaman akhir seperti ini, banyak dosa, banyak fitnah, banyak godaan. Betapa sering kita tergelincir—dosa mata, dosa lisan, dosa telinga, dan anggota tubuh lainnya. Maka, taubat dan istigfar harus rutin dilakukan.

Bahkan, kita seringkali tidak sadar telah berbuat salah. Manusia disebut sebagai makhluk yang lemah dan pelupa. Sealim apa pun seseorang, pasti pernah tergelincir. Sesaleh apa pun seseorang, pasti pernah berbuat salah.

Syaikh As-Sa‘di dalam tafsirnya menyebutkan:

التوبة من الأعمال العظيمة

“Taubat adalah bagian dari amal yang agung.”

Maka, implementasi dari ayat-ayat dan hadis-hadis tentang taubat adalah bagaimana kita terus memperbanyak istigfar. Kadang, kalau tidak kita agendakan, kita bisa lalai. Padahal, istigfar bisa kita masukkan dalam zikir pagi-sore atau setiap selesai salat.

Insya Allah, dengan banyak beristigfar, hidup akan lebih ringan, pikiran lebih tenang. Banyak sekali keutamaan istigfar. Dalam kitab Kunūz al-Istighfār disebutkan bahwa istigfar bisa menjadi:

  • Pelancar rezeki
  • Sebab terkabulnya doa
  • Penyebab mendapatkan keturunan saleh dan salihah
  • Penyebab turunnya hujan
  • Pelancar segala urusan
  • Bahkan menjadi obat bagi penyakit

Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:

وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ

“Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (QS. Asy-Syūrā: 26)

Imām al-Baghawī menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah bahwa Allah mengabulkan doa orang-orang yang beriman dan memberi pahala kepada mereka atas amal kebajikan mereka.

Ibnu ‘Abbās juga menafsirkan ayat tersebut sebagai:

وَيُثِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا

“Dan Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman.”

Ini semua menunjukkan betapa Allah mencintai taubat. Allah bahagia, ridha, dan bahkan lebih bahagia daripada seseorang yang kehilangan untanya di tengah padang pasir lalu menemukannya kembali.

Dalam hadits disebutkan:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ وَقَعَ عَلَى بَعِيرِهِ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلَاةٍ

“Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya daripada salah seorang dari kalian yang menemukan kembali untanya yang hilang di tengah padang pasir.” (HR. Muslim, no. 2747)

Allah gembira bukan karena membutuhkan taubat kita, tapi karena kemurahan dan kasih sayang-Nya yang luar biasa. Maka, jika Allah saja sudah mengampuni dan menutupi dosa-dosa kita, jangan kita ungkit-ungkit lagi.

Apalagi jika seseorang mengungkap dosa masa lalunya dengan bangga. Itu masuk dalam kategori al-mujāhir—orang yang terang-terangan berbuat dosa. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ

“Seluruh umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan (mujāhirīn).” (HR. al-Bukhārī, no. 6069; Muslim, no. 2990)

Efek dari pamer dosa sangat berbahaya, bisa menjadi inspirasi buruk bagi orang lain, apalagi jika pelakunya figur publik.

Maka, kalau Allah sudah menutupi, tutuplah. Jangan merasa munafik karena tidak menceritakan masa lalu yang kelam. Justru itu bagian dari rasa malu dan bukti taubat yang tulus.

Para salafus shālih mengatakan:

“Lebih baik aku tertidur dan tak bangun qiyāmul-lail, lalu aku beristigfar karena lalai, daripada aku bangun malam lalu merasa bangga telah beribadah.”

Sungguh, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā akan menerima taubat kita. Bahkan dalam hadis disebutkan:

طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

“Berbahagialah orang yang menemukan dalam catatan amalnya banyak istigfar.” (HR. Ibn Mājah, no. 3818; dinilai hasan oleh al-Albānī)

Ada tambahan pahala dari Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, ada balasan yang lebih dari sekadar imbalan atas amal hamba-Nya. Itulah yang harus kita yakini, bahwa ketika Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memberikan nikmat kepada kita, memberikan rahmat-Nya kepada kita, termasuk kelak di akhirat saat Allah menganugerahkan surga kepada kita semua—āmin—maka itu bukan sekadar balasan yang setimpal atas amal perbuatan.

Kalau hanya membalas, biasanya setara. Tapi ini lebih dari itu. Bukan hanya jazā’ (balasan), melainkan ada wa yazīdahum min faḍlih—ada tambahan dari karunia Allah. Sebab, jika dibandingkan dengan amal kita, tentu tidak sebanding dengan kenikmatan yang Allah berikan nanti di akhirat.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa seorang hamba masuk surga bukan karena amalnya, melainkan karena rahmat Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Bahkan Rasulullah sendiri masuk surga bukan karena amalnya, tetapi karena rahmat dan anugerah dari Allah. Apa yang Allah berikan jauh lebih besar dibandingkan amalan para hamba, bahkan amalan Rasulullah sekalipun. Ini menunjukkan pentingnya meyakini bahwa Allah memberikan bonus kepada orang-orang beriman.

Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:

وَيَسْتَجِيبُ ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۚ وَٱلْكَـٰفِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌۭ شَدِيدٌۭ

“Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Adapun orang-orang kafir, bagi mereka azab yang sangat keras.” (QS. Asy-Syūrā: 26)

Al-Imām al-Baghawī menukil penjelasan dari Abū Ṣāliḥ mengenai ayat ini. Makna dari wa yazīdahum min faḍlih adalah bahwa Allah memberikan tambahan karunia kepada orang-orang beriman, di antaranya berupa syafaat kepada saudara-saudaranya. Artinya, Allah tidak hanya menerima amal mereka, tetapi juga menjadikan mereka sebagai pemberi syafaat bagi orang lain dari kalangan saudara-saudaranya.

Menurut penjelasan tersebut, ini mencakup syafaat seorang mukmin kepada saudara dekat maupun jauh. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita menjadikan dakwah kepada keluarga sebagai prioritas. Jika kita memiliki keluarga yang saleh, mereka bisa menjadi pemberi syafaat bagi kita di akhirat kelak.

Penjelasan ini sesuai dengan beberapa riwayat yang menyebutkan adanya syafaat orang tua yang saleh kepada anaknya, syafaat anak yang saleh kepada orang tuanya, dan juga syafaat seorang yang mati syahid kepada keluarganya. Semua ini menunjukkan bahwa karunia Allah tidak terbatas hanya pada individu yang beramal, tetapi meluas kepada orang-orang terdekatnya.

Dalam penjelasan Imam al-Baghawī dari Abū Ṣāliḥ juga disebutkan bahwa syafaat itu tidak hanya kepada saudara langsung, tetapi juga kepada saudara dari saudaranya—artinya saudara jauh pun bisa mendapatkan limpahan syafaat. Ini makna dari wa yazīdahum min faḍlih, yaitu bahwa Allah memberikan tambahan dari karunia-Nya yang melampaui batas kemampuan manusia.

Adapun orang-orang kafir, Allah sebutkan dengan sangat tegas bahwa mereka akan mendapatkan azab yang pedih. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menggunakan gaya bahasa targhīb (motivasi) dan tarhīb (ancaman) dalam mendidik hamba-Nya. Gaya targhīb digunakan untuk memotivasi manusia melakukan kebaikan dengan janji-janji berupa surga, rahmat, dan kenikmatan. Sementara tarhīb digunakan sebagai peringatan dan ancaman terhadap mereka yang ingkar, bahwa bagi orang-orang kafir, ada azab yang sangat pedih.

Ini adalah bentuk pendidikan dari Allah agar kita terdorong untuk senantiasa berbuat baik, beriman, dan tidak mengingkari-Nya. Sebab, di balik keimanan, ada limpahan rahmat dan bonus dari Allah yang tidak akan pernah sebanding dengan amal kita.

Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/03/tafsir-tarbawi-qs-asy-syura-ayat-25-26-taubat-dari-dosa-menuju-derajat-yang-dicintai-allah/

Posting Komentar

0 Komentar