Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I
Betapapun besar keikhlasan, ketulusan, dan kepasrahan Nabiullah Ibrahim ‘alaihissalam untuk mengorbankan anak semata wayangnya dari seorang Hajar—yang telah dinantikannya selama tidak kurang dari 90-an tahun—namun “veto” Langit berkata lain:
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, dan nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus/ganti anak itu dengan seekor sembelihan (domba) yang besar.”
(QS. Ash-Shaaffaat: 103–107)
Perlakuan Allah yang membebaskan “qurban Ismail” dan menggantinya dengan seekor domba yang besar mengajarkan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk mulia yang dikasihi Allah, yang tidak boleh dinistakan dan direndahkan martabatnya. Allah menegaskan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ…
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
(QS. Al-Isra’: 70)
Konsep kemuliaan manusia yang demikian luhur termanifestasikan dalam fungsi manusia sebagai hamba Allah Swt. yang menyandang amanah kekhalifahan (QS. Al-Baqarah: 30) [وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً]; diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin: 4) [لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ]; dianugerahi ruh dari Allah Swt. (QS. Shad: 72) [فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ]; serta kemuliaan yang didasarkan pada iman dan takwa tanpa membedakan kedudukan, jabatan, ras, suku, dan bangsa (QS. Al-Hujurat: 13) [إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ].
Alam semesta pun ditundukkan oleh Allah Swt. agar dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menunjang fungsi dan tujuan penciptaannya (QS. Luqman: 20) [أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ…]. Kemuliaan yang begitu tinggi meniscayakan bahwa relasi manusia dengan Allah bersifat langsung, tanpa memerlukan mediasi—yang sering kali korup dan manipulatif (QS. Al-Baqarah: 186):
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.”
Konsep kemuliaan manusia ini juga ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam pidato beliau pada peristiwa Haji Wada’, tepat pada hari dan bulan seperti saat ini 14 abad silam. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Wahai manusia, hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Hari yang haram.” Beliau bertanya lagi: “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab: “Negeri yang haram.” Beliau bertanya lagi: “Bulan apakah ini?” Mereka menjawab: “Bulan yang haram.”
Beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (suci) atas kalian, sebagaimana sucinya hari ini, di negeri ini, dan dalam bulan ini.”
Beliau mengulangi pernyataan ini beberapa kali, lalu mengangkat kepalanya seraya berkata: “Ya Allah, sudahkah aku sampaikan? Ya Allah, sudahkah aku sampaikan?”
Ibnu ‘Abbas berkata: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh itu adalah wasiat beliau kepada umatnya. Maka hendaklah yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kafir setelahku, saling menebas leher satu sama lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks menjaga kemuliaan hakiki manusia inilah Allah mengutus para nabi dan rasul dengan seperangkat akidah dan syariat sebagai pedoman dan konstitusi kehidupan (the way of life).
Para ulama mengajarkan tentang Maqashid Asy-Syari’ah, yaitu tujuan-tujuan pokok diberlakukannya syariat Islam secara universal: agar hawa nafsu tunduk kepada kehendak Allah, dan kebutuhan jasmaniah dapat dinikmati secara proporsional, tanpa menimbulkan kerusakan dan kesulitan.
Ironisnya, sebagian pihak justru mempermainkan bahkan melecehkan hukum Allah yang menjadi penjaga kemuliaan manusia. Mereka melakukannya secara sadar, sistematis, dan terorganisir. Akibatnya, berbagai penyimpangan terjadi: dari kejahatan politik hingga moral. Pendidikan berorientasi materialistik, agama hanya menjadi aksesoris, dan lembaga pendidikan kehilangan kedekatan dengan masyarakat.
Budaya kita makin permisif dan hedonistik. Perzinahan dianggap gaya hidup modern, dibungkus dalih “tuntutan zaman” dan HAM. Sistem ekonomi liberal-kapitalistik memperkuat monopoli dan eksploitasi. Bahkan manusia diperdagangkan atas nama prestasi dan kemajuan perempuan, seperti dalam ajang Miss Universe dan kontes kecantikan lainnya yang tak manusiawi.
Prof. Buya Hamka dalam bukunya Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, cet. ke-10, 1982) mengingatkan:
“Dua puluh ekor kerbau pedati yang sama gemuk, sama kuat, dan sama pandai menghela pedati, tentu harganya tidak jauh berbeda. Tetapi 20 orang manusia yang sama tinggi dan kuatnya belum tentu sama nilainya, sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga, bagi manusia pribadinya.”
Lebih menyedihkan lagi, ketika keberagamaan sebagian umat berubah menjadi budaya pop yang keluar dari keaslian ajaran Islam. Akibatnya, umat sulit membedakan mana yang benar-benar membawa maslahat dan mana yang membawa kebinasaan. Islam lebih dipahami sebagai gaya hidup (lifestyle) ketimbang jalan hidup sejati (the way of life).
Kemuliaan manusia bukan sekadar hak asasi, tetapi anugerah Ilahi yang wajib dijaga. Karamah insaniyah (kemuliaan manusia) bersifat ontologis dan universal, tanpa diskriminasi, serta bersumber dari wahyu yang autentik.
Dalam konteks beragama di era disrupsi multidimensi yang menggerus nilai fitrah dan kemanusiaan, kita perlu mengarusutamakan pandangan al-wasathiyah—yakni serasi, adil, dan proporsional. Seruan amar ma’ruf dan nahi munkar harus dilakukan dengan mahabbah (cinta), tarahum (kasih sayang), tasamuh (toleransi), ta’aluf (kerekatan), dan takaful (saling menanggung).
Praksis dakwah pun hendaknya diarahkan untuk menciptakan perdamaian, menghargai kemajemukan, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang autentik dan universal.
Semoga keteladanan Ibrahim ‘alaihissalam dalam kontemplasi dan perjalanan spiritualnya menginspirasi kita semua untuk memuliakan dan memanusiakan sesama.
Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/09/berhaji-dan-kemuliaan-hakiki-manusia/
0 Komentar