Fiqih Identitas Muhammadiyah

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Ini tentang fiqih identitas. Agar Islam kita berbeda dengan Islam mereka. Islamku tidak sama dengan Islammu.

Memulai acara dengan basmalah, meski Al-Fatihah juga disunahkan. Shalat dengan niat dalam hati, meski diucapkan juga boleh. Basmalah dibaca sir dalam shalat, meski dijaharkan pun tidak mengapa. Qunut Subuh sudah pasti tiada, meski sekali-sekali qunut juga bersanad. Tarawih 11 rakaat, meski 23 rakaat pun ada dalilnya.

Tidak menghadiahkan pahala, meski banyak sahabat meriwayatkan bolehnya menghadiahkan pahala kepada orang tua yang telah meninggal. Sebutan Kyai, Wali, dan Gus semakin jarang, berganti dengan gelar akademik dari Barat seperti Profesor Emeritus. Dan masih banyak identitas lain yang tak tercatat.

Muhammadiyah, NU, Salafi, Tabligh, dan puluhan harakah Islam lainnya memiliki identitas khas, bukan sekadar untuk membedakan, tetapi juga sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Dalam konteks tertentu, identitas ini menjadi semacam kredo gerakan yang terkadang bersifat sensitif.

Tidak jarang, perbedaan ini menimbulkan selisih yang bagaikan api dalam sekam. Jangan harap ada titik temu, meski KHGT telah dilaunching, sebab perbedaan ini bukan sekadar khilafiyah sebagaimana dipahami para imam mazhab, melainkan khilaf yang dirawat dan dijaga agar tetap berbeda demi menegaskan identitas.

Beberapa perbedaan bahkan dipertahankan habis-habisan demi menunjukkan pembeda—takut dianggap sama. Muhammadiyah takut sama dengan NU, NU takut sama dengan Muhammadiyah. Salafi dan Tabligh pun demikian.

Khuruj dari masjid ke masjid, dari satu mushala ke mushala lain selama 40 hari atau empat bulan seumur hidup sudah pasti identik dengan Tabligh. Muhammadiyah dan NU enggan, meski khuruj ini juga bersanad. Membuka acara dengan basmalah sudah pasti Muhammadiyah, meski Muqaddimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah diawali dengan Al-Fatihah.

Imam Syafi’i berfatwa: Jika imam tidak mengucapkan aamiin dan makmum juga tidak mengucapkannya, maka shalat tetap sah dan tidak perlu sujud sahwi. Aamiin tidak perlu diucapkan kecuali setelah bacaan Ummul Quran. Jika seseorang tidak mengucapkan aamiin setelah Al-Fatihah selesai, maka ia tidak perlu mengqadhanya di bagian lain.

Imam Malik berpendapat berbeda: Aamiin tidak disyariatkan dan tidak perlu diucapkan dalam shalat. Para ulama juga berikhtilaf tentang letak pengucapan aamiin. Sebagian berpendapat bahwa makmum mengucapkan aamiin setelah imam mengucapkannya. Bagi imam, aamiin diucapkan setelah huruf “nun” dari kata waladh dhooliin.

Realitasnya, fiqih identitas bukan semata soal perbedaan ritual yang sering diperdebatkan. Bukan hanya tentang jumlah rakaat tarawih atau lokasi shalat Id. Gamis bukan sekadar pakaian yang dikenakan. Sarung yang dilipat, kopyah, atau surban yang dikenakan di kepala juga bukan sekadar aksesoris. Identitas pakaian Muhammadiyah adalah batik, bukan sarung. Majelis dzikir sudah pasti bukan tradisi Muhammadiyah, tetapi resepsi.

Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’i atau Muhammad bin Idris memiliki 5.679 perbedaan pendapat. Namun, mereka tetap akur. Buya HAMKA membaca qunut shalat Subuh karena makmumnya adalah Kyai Idham Chalid.

Bukankah guru-guru kita yang mulia pun berikhtilaf? Dan bukankah itu menjadi teladan bagaimana perbedaan bisa tetap ada tanpa saling merendahkan, apalagi saling menyesatkan dan membid’ahkan? (*)

Read more: https://klikmu.co/fiqih-identitas-muhammadiyah/

Posting Komentar

0 Komentar