Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.
وَلَوْ بَسَطَ ٱللَّهُ ٱلرِّزْقَ لِعِبَادِهِۦ لَبَغَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ بِعِبَادِهِۦ خَبِيرٌۢ بَصِيرٌ
وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ
Artinya:
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di muka bumi, tetapi Dia menurunkan (rezeki) itu menurut kadar yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (lagi) Maha Melihat terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya. Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Pelindung, Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura: 27–28)
Dalam ayat ke-27 ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menegaskan bahwa seandainya Allah melapangkan rezeki kepada seluruh hamba-Nya, niscaya banyak di antara mereka yang akan melampaui batas di muka bumi. Akan tetapi, Allah menurunkan rezeki sesuai kadar yang dikehendaki-Nya, karena Dia Maha Teliti dan Maha Melihat terhadap kondisi setiap hamba-Nya.
Ayat ini terhubung erat dengan penjelasan Allah pada ayat-ayat sebelumnya, termasuk ayat ke-19, yang berbunyi:
ٱللَّهُ لَطِيفٌۭ بِعِبَادِهِۦ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ ۖ وَهُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia Mahakuat, Mahaperkasa.” (QS. Asy-Syura: 19)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Sebagian manusia, jika diberi rezeki berlimpah, justru akan melampaui batas, melakukan dosa, dan bahkan terjerumus dalam kemaksiatan. Maka dari itu, Allah memberikan rezeki kepada para hamba sesuai kadar yang maslahat bagi mereka.
Inilah yang menjadi dasar penting dalam tarbiyah iqtisādiyyah — pendidikan finansial dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Qurṭubī dalam tafsirnya, Allah mengetahui kondisi masing-masing hamba. Ada hamba yang, jika diberi rezeki berlimpah, justru akan rusak imannya. Maka, Allah tahan rezekinya sebagai bentuk kasih sayang.
Al-Qurṭubī meriwayatkan sebuah hadits: “Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada yang meminta satu pintu ibadah kepada-Ku. Namun Aku tahu bahwa jika Aku bukakan pintu itu, ia justru akan menjadi ujub, sombong, dan akhirnya merusak ibadah tersebut. Maka Aku tidak bukakan baginya jalan itu.”
Contohnya seperti kasus haji furada atau visa haji yang tidak keluar bagi sebagian orang. Padahal, secara finansial dan usaha, mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, visa tidak keluar. Bisa jadi ini adalah bentuk kasih sayang Allah, karena kalau mereka pergi, bisa jadi timbul rasa ujub, bangga diri, atau niat yang tercampur riya’. Maka Allah tidak memberikan jalan ke sana.
Begitu pula dalam hal zakat dan sedekah. Ada orang yang diberi rezeki, lalu menunaikan zakat dan sedekah, tapi dalam hatinya muncul rasa sombong. Ujung-ujungnya, amal itu menjadi basi, karena dirusak oleh ujub dan takabbur. Maka, Allah menahan rezeki dari orang-orang tertentu agar mereka tetap terjaga keimanannya.
Sebaliknya, ada pula hamba Allah yang tidak bisa menjadi baik kecuali jika ia kaya. Kalau ia miskin, kemiskinan itu bisa membuatnya kufur, putus asa, dan berburuk sangka kepada Allah. Maka Allah kayakan dia sebagai bentuk rahmat agar ia tetap dalam keimanan.
Sebagaimana ada pula yang hanya menjadi baik jika ia miskin. Kalau ia kaya, ia rusak. Maka Allah jaga dia dengan kemiskinan agar tetap istiqamah.
Apa yang harus kita lakukan? Ingin kaya atau ingin miskin?
Tidak apa-apa meminta kepada Allah agar diberi kekayaan. Tapi mintalah kekayaan yang berkah, yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Namun jika Allah memberi kita rezeki yang sedikit, keterbatasan finansial, tetaplah berbaik sangka. Mungkin justru itulah yang terbaik bagi kita.
Jangan-jangan, kalau kita diberi kekayaan berlimpah, justru kita lebih mudah bermaksiat, lebih jauh dari ibadah, lebih tertipu oleh dunia. Dan sebaliknya, jika Allah berikan kekayaan, kita wajib waspada dan gunakan untuk kebaikan, untuk ketaatan.
Bagi orang beriman, kaya dan miskin sama-sama baik, jika ia menyikapinya dengan syukur dan sabar. Kekayaan adalah ladang pahala jika digunakan untuk taat. Kemiskinan adalah jalan menuju surga jika disikapi dengan sabar dan husnuzan kepada Allah.
Maka, ayat ini tidak mendorong kita untuk memilih miskin atau kaya. Tetapi mendorong kita agar siap dalam keadaan apapun — dan tetap taat dalam kondisi apapun. Karena yang paling penting bukan berapa banyak harta yang kita miliki, tetapi bagaimana kita bersikap terhadap pemberian Allah.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa: “Seorang mukmin yang kuat dan kaya lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah.” Namun tentu saja, yang dimaksud adalah apabila kekuatan dan kekayaan itu digunakan dalam keimanan dan kebaikan. Itu yang kita harapkan.
Dalam konteks ini, Allah menyebutkan dalam Surah Asy-Syura:
يَنْزِلُ ٱلْمَطَرَ مَن يَشَآءُ
“Allah menurunkan hujan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 28)
Ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan rezeki sesuai dengan kadar dan kehendak-Nya. Kita harus yakin bahwa apa yang Allah tetapkan itulah yang terbaik bagi kita.
Namun, keyakinan ini berbeda dengan kewajiban untuk berikhtiar. Ikhtiar adalah kewajiban. Kita harus mengambil sebab-sebab, mengumpulkan sebab, dan menjalankan sebab-sebab itu sebagai bentuk usaha kita. Adapun hasil, rezeki yang kita peroleh, itu adalah ketetapan dari Allah.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat ke-19 sebelumnya dalam Surah Asy-Syura, tentang konsep rezeki: bahwa rezeki itu telah ditentukan, telah terbagi, dan tidak akan meleset.
Apapun yang Allah tetapkan kepada kita, insyaallah itulah yang terbaik. Semua demi maslahat kita. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi—ini adalah bagian dari tarbiyah iqtisadiyah yang penting untuk kita pahami dan kita tanamkan kepada anak-anak kita.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Maha Teliti dan Maha Melihat. Allah mengetahui apa yang baik untuk kita, dan mengetahui apa yang buruk untuk kita. Allah paham betul, dengan ketelitian dan akurasi yang sempurna, apa yang akan terjadi di masa depan. Maka, apapun yang Allah tetapkan dan berikan kepada kita, kita harus menerimanya dengan lapang dada, dengan penuh keyakinan, dan dengan keridhaan.
Jika yang diberikan terbatas atau tidak banyak, tetap kita terima. Sebaliknya, jika Allah berikan rezeki yang melimpah, jangan sampai kita tertipu, jangan sampai kita terlena, apalagi sampai menggunakannya dalam kemaksiatan atau kedurhakaan kepada Allah.
Ini penting. Banyak orang kaya yang tertipu oleh kekayaannya, menjadi lalai dari Allah, merasa tidak membutuhkan Allah, sombong, bahkan durhaka. Sebaliknya, banyak orang miskin yang menderita dengan kemiskinannya, lemah semangat, mengeluh, menyalahkan takdir, bahkan menyalahkan Tuhan, lalu karena ingin mendapat rezeki, menempuh jalan-jalan yang diharamkan.
Jika seseorang tidak memahami konsep dasar ini, maka ia akan tersesat dalam urusan rezeki. Maka, ini adalah satu poin tarbiyah Islamiyah yang sangat penting, yang harus kita pahami dan tanamkan dalam diri serta anak-anak kita.
Allah berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِى يُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ مِنۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوا۟ وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُۥ ۚ وَهُوَ ٱلْوَلِىُّ ٱلْحَمِيدُ
“Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia adalah Pelindung yang Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura: 28)
Ada poin menarik di sini. Pertama, Allah-lah yang menurunkan hujan, bukan yang lain. Ini bagian dari tauhid rububiyah: meyakini bahwa Allah satu-satunya yang berkuasa atas segala perbuatan di alam semesta. Bukan teknologi, bukan rekayasa cuaca. Hujan turun karena Allah.
Kedua, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya, kenapa Allah menyebut nikmat hujan secara spesifik? Karena nikmat ini bersifat universal. Semua manusia, bahkan seluruh makhluk hidup di bumi, membutuhkan hujan. Tanpa hujan, tak ada kehidupan. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّۢ ۖ
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya: 30)
Air adalah sumber kehidupan. Tanpa hujan, tak ada air. Tanpa air, tak ada tumbuhan, tak ada makanan, dan manusia akan mati kehausan. Maka, nikmat hujan adalah rahmat yang sangat besar dari Allah.
Namun, hujan dalam kondisi tertentu juga bisa menjadi azab. Maka ketika turun hujan, kita disunahkan untuk membaca doa:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
“Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang bermanfaat.”
Jangan sampai hujan yang turun adalah hujan azab, yang membawa kerusakan.
Selanjutnya, Ibnu ‘Asyur juga menjelaskan kenapa ayat ini diakhiri dengan dua Asmaul Husna: Al-Wali dan Al-Hamid. Ini tidak sembarangan. Penyebutan Asmaul Husna dalam akhir ayat selalu memiliki keterkaitan makna dengan isi ayatnya.
Al-Wali (ٱلْوَلِىُّ) berarti Maha Pelindung. Allah-lah yang melindungi kita dari segala keburukan, termasuk saat hujan turun. Al-Hamid (ٱلْحَمِيدُ) berarti Maha Terpuji. Segala pujian hanya layak ditujukan kepada Allah atas segala nikmat dan kebaikan yang Dia limpahkan, termasuk hujan.
Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa wali pasti akan berbuat baik kepada yang dilindunginya, dan al-hamid adalah zat yang memberi kebaikan atas apa yang layak dipuji. Maka, dua nama ini sangat relevan dalam konteks Allah menurunkan hujan sebagai bentuk perlindungan dan kebaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَن أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, siapa yang mengihshanya (memahami, menghafal, dan mengamalkannya), maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengihsha bukan sekadar menghafal, tapi juga memahami dan mengamalkan. Maka, jika Allah disebut sebagai Al-Wali, kita pun harus menjadi pelindung: bagi orang-orang lemah, keluarga, dan mereka yang diamanahkan kepada kita. Para pengasuh pesantren, para musyrif, harus menjadi pelindung dan pengayom para santri.
Jika Allah adalah Al-Hamid, maka kita pun harus menjaga akhlak dan perilaku yang layak dipuji. Karena orang yang terpuji adalah orang yang akhlaknya baik.
Penutup dari ayat ini menunjukkan kesesuaian nama-nama Allah dengan konteks nikmat yang Dia sebutkan. Wali: pelindung yang memberikan pertolongan. Hamid: yang dipuji karena kebaikan-Nya.
Kesimpulan tarbiyah dari dua ayat ini adalah:
Pendidikan ekonomi (tarbiyah iqtisadiyah) sangat penting. Bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pemberi rezeki, termasuk rezeki berupa hujan. Rezeki yang Allah berikan kepada kita qadaru mā yasya’—sesuai kadar yang Dia kehendaki, dengan hikmah dan tujuan yang diketahui oleh-Nya.
Maka ketika kita diberi rezeki melimpah, jangan lalai. Ketika diberi rezeki sedikit, jangan putus asa. Karena bisa jadi, limpahan rezeki akan membuat kita lupa, dan kekurangan rezeki justru mendekatkan kita kepada Allah. Yang penting adalah ridha dan tawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
0 Komentar