Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer Yogyakarta
Dengan semakin dekatnya bulan suci Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia mulai mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Namun, di balik antusiasme ini, terdapat kewajiban yang sering kali terlupakan oleh sebagian orang, yaitu melunasi puasa qadha dari Ramadhan sebelumnya.
Puasa qadha merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang memiliki utang puasa, baik karena sakit, safar, atau alasan syar’i lainnya yang membolehkan mereka tidak berpuasa pada waktu itu.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ayat ini menegaskan bahwa mereka yang tidak dapat berpuasa pada bulan Ramadhan wajib menggantinya di hari-hari lain. Namun, kenyataannya, banyak yang menunda-nunda pelaksanaan puasa qadha ini hingga mendekati Ramadhan berikutnya, bahkan ada yang melewatkannya tanpa alasan yang dibenarkan.
Menunda pelaksanaan puasa qadha tanpa uzur hingga masuknya Ramadhan berikutnya merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam syariat. Para ulama sepakat bahwa kewajiban qadha harus diselesaikan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda tanpa alasan yang sah, ia berdosa dan tetap wajib mengqadha puasa tersebut setelah Ramadhan berikutnya, disertai dengan membayar fidyah sebagai bentuk taubat dan penebus kelalaian.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ، وَإِنْ صَامَهُ
“Barangsiapa yang berbuka satu hari di bulan Ramadhan tanpa keringanan atau sakit, maka puasa sepanjang masa pun tidak akan bisa menggantikannya, meskipun ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi meninggalkan puasa Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk segera melunasi utang puasa mereka sebelum Ramadhan berikutnya tiba.
Selain itu, terdapat larangan berpuasa pada hari syak, yaitu sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali bagi mereka yang memiliki kebiasaan puasa tertentu atau sedang mengqadha puasa. Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ، إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang memang biasa berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa mengqadha puasa pada hari-hari tersebut diperbolehkan, terutama jika waktu yang tersisa sebelum Ramadhan sangat terbatas. Namun, sebaiknya puasa qadha dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan Sya’ban, agar tidak terburu-buru dan dapat dilakukan dengan tenang.
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ menjelaskan bahwa menunda qadha puasa hingga masuknya Ramadhan berikutnya tanpa uzur adalah haram dan pelakunya berdosa. Beliau juga menegaskan bahwa selain mengqadha puasa tersebut, pelaku wajib membayar fidyah sebagai bentuk penebusan.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa puasa qadha memiliki niat yang berbeda dengan puasa sunnah. Niat puasa qadha harus ditetapkan pada malam hari sebelum fajar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. An-Nasa’i)
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memastikan niat puasa qadha sudah ditetapkan sebelum fajar agar puasa tersebut sah di sisi Allah SWT.
Selain kewajiban qadha, terdapat juga fidyah sebagai pengganti bagi mereka yang tidak mampu berpuasa, seperti orang tua renta atau penderita penyakit kronis yang tidak ada harapan sembuh. Allah SWT berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang tidak mampu berpuasa, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Namun, fidyah ini tidak berlaku bagi mereka yang masih memiliki kemampuan untuk berpuasa di hari lain. Bagi mereka, kewajiban qadha tetap harus ditunaikan, karena puasa merupakan ibadah yang memiliki nilai spiritual yang tinggi dalam Islam. Mengabaikannya tanpa alasan yang dibenarkan dapat berdampak buruk terhadap hubungan seseorang dengan Allah SWT.
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang masih memiliki utang puasa qadha, hendaknya segera menyelesaikannya sebelum bulan Ramadhan tiba. Hal ini bukan hanya soal ketaatan terhadap perintah Allah SWT, tetapi juga sebagai bentuk kesiapan diri dalam menyambut bulan suci dengan hati yang bersih dan tenang.
Selain aspek hukum dan kewajiban, puasa qadha juga memiliki hikmah spiritual yang mendalam. Dengan menjalankan puasa qadha, seorang Muslim diajak untuk merenungkan kembali arti kesabaran, ketakwaan, dan ketaatan kepada Allah SWT. Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum memasuki bulan Ramadhan, di mana setiap amal kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya.
Banyak orang yang menyepelekan puasa qadha dengan alasan kesibukan atau kurangnya kesiapan mental. Padahal, jika seseorang memiliki niat yang kuat dan tekad yang bulat, maka Allah SWT pasti akan memberikan kemudahan dalam melaksanakannya. Sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Ayat ini menegaskan bahwa siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah, maka Dia akan memberikan jalan keluar dan kemudahan baginya.
Selain itu, Rasulullah SAW juga memberikan contoh dalam hal ketepatan waktu dalam melaksanakan ibadah. Beliau tidak pernah menunda-nunda kewajiban, termasuk dalam mengqadha puasa. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai jika rukhsah (keringanan) yang diberikan-Nya diambil, sebagaimana Dia mencintai jika azimah-Nya (hukum yang wajib) dilakukan.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa bagi mereka yang mendapatkan keringanan untuk berbuka, tetap memiliki kewajiban untuk mengqadhanya di kemudian hari, dan sebaiknya tidak menunda-nunda pelaksanaannya.
Menyikapi hal ini, umat Islam harus menjadikan momentum menjelang Ramadhan sebagai pengingat untuk segera menyelesaikan puasa qadha. Jangan sampai kita masuk ke bulan Ramadhan dengan utang ibadah yang belum tertunaikan.
Jika seseorang belum mengqadha puasanya hingga Ramadhan berikutnya tiba, apakah ada konsekuensi lain? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian besar ulama, seperti Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa orang yang menunda qadha tanpa uzur wajib membayar fidyah selain tetap mengqadha puasanya.
Namun, ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa cukup dengan mengqadha tanpa fidyah, selama keterlambatan itu bukan karena kesengajaan atau kelalaian. Dalam hal ini, lebih baik berhati-hati dengan membayar fidyah sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalankan ibadah.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang paling utama adalah segera menyelesaikan qadha puasa sebelum Ramadhan tiba agar kita tidak terjebak dalam perdebatan hukum yang tidak perlu.
Momentum menjelang Ramadhan seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT dan menjalankan ibadah dengan lebih baik. Selain puasa qadha, kita juga dapat meningkatkan ibadah lain seperti membaca Al-Qur’an, memperbanyak sedekah, dan memperbaiki shalat kita.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, maka pada hari seseorang berpuasa janganlah berkata keji dan jangan berteriak-teriak. Jika seseorang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari)
Dengan demikian, menjalankan puasa qadha bukan hanya soal kewajiban, tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki diri, memperdalam ketakwaan, dan menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih. Semoga Allah SWT memudahkan kita dalam menjalankan ibadah puasa qadha, dan menerima amal ibadah kita dengan penuh keikhlasan. (*)
Read more: https://klikmu.co/ramadhan-di-ambang-pintu-segera-lunasi-puasa-qadha/
0 Komentar