Tafsir Tarbawi Surah Asy-Syūrā Ayat 29–31: Tafakkur dan Tunduk pada Sang Maha Kuasa

Oleh. Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِنْ دَابَّةٍ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاءُ قَدِيرٌ ۝ وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ ۝ وَمَا أَنتُم بِمُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ ۖ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila Dia menghendaki. Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Dia memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian). Dan kalian tidak dapat melemahkan (kekuasaan Allah) di bumi; dan kalian tidak mempunyai pelindung maupun penolong selain dari Allah. (Q.S Asy Syura ayat 29-31)

Pada ayat ke-29, setelah sebelumnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjelaskan rubūbiyyah-Nya, yaitu bagaimana Allah memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya dan menurunkan hujan, maka pada ayat ini Allah kembali menegaskan aspek rubūbiyyah tersebut melalui firman-Nya:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِنْ دَابَّةٍ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاءُ قَدِيرٌ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa untuk mengumpulkan mereka apabila Dia menghendaki.”

Pada ayat ini, Ibnu Katsīr dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “wa min āyātihi” adalah tanda-tanda kebesaran Allah, menunjukkan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya yang agung, serta kerajaan-Nya yang penuh wibawa. Salah satu tandanya adalah penciptaan langit, bumi, dan makhluk-makhluk yang berada di antara keduanya.

Sudah sering kita sampaikan bahwa “āyātullāh” (tanda-tanda kebesaran Allah) tidak terbatas hanya pada al-āyāt al-qauliyyah—yaitu ayat-ayat yang dibaca dalam Al-Qur’an, tetapi juga mencakup al-āyāt al-kauniyyah, yakni ayat-ayat Allah yang ada dalam alam semesta dan pada makhluk-Nya. Bahkan, Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an: “Wa fī anfusikum afalā tubṣirūn” — “Dan pada diri kalian sendiri, apakah kalian tidak memperhatikan?”

Ketika Allah menyebut “wa min āyātihi”, itu bukan sekadar pemanis bahasa, tapi merupakan seruan agar kita bertadabbur dan bertafakkur, merenungkan ciptaan-Nya. Sebagai mukmin, kita harus mampu menangkap isyarat-isyarat tersebut: tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada bukan hanya di dalam Al-Qur’an, tetapi juga dalam alam semesta yang mengelilingi kita.

Bagaimana seharusnya respons seorang mukmin? Ketika ia melihat langit yang tinggi, gunung yang kokoh, laut yang luas—haruslah tumbuh keimanan dalam hatinya. Ia menyadari bahwa semua itu diciptakan oleh Dzat yang Mahakuasa. Maka, yang berhak disembah bukanlah makhluk, tetapi Penciptanya: Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.

Dari perenungan itu, harus lahir buah keimanan: yaitu beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya, karena hanya Allah-lah Dzat yang berhak disembah. “Annahu huwal mustaḥiq li al-‘ibādah kullihā” — Dialah satu-satunya yang pantas untuk menerima seluruh bentuk ibadah.

Sebaliknya, ketuhanan-ketuhanan lain menjadi ṭil (tidak sah), karena mereka tidak menciptakan apa pun dan tidak mampu menurunkan hujah. Segala zat yang disembah selain Allah adalah sesembahan yang batil, karena tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.

Kemudian ayat ke-30:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).”

Syaikh As-Sa‘di menjelaskan bahwa ayat ini bermakna: apa-apa yang menimpa kalian dari musibah dan bencana, semuanya adalah akibat dari dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh tangan kalian sendiri.

Ibnu Katsīr menambahkan: “Mahmā aṣābakum ayyuhā al-‘ibād min al-muṣībāt, fa innamā hiya min sayyiātikum.” “Apa pun yang menimpa kalian, wahai para hamba, dari musibah dan bencana, itu semua merupakan akibat dari keburukan-keburukan yang kalian perbuat.”

Namun begitu, Allah Maha Pemaaf. Ia memaafkan banyak kesalahan hamba-hamba-Nya. “Fala yujāzikum ‘alayhā, bal ya‘fū ‘anhā.” “Allah tidak membalas semua keburukan kalian; bahkan Dia banyak memberi maaf dan tidak menghukumnya.”

Kalau dihitung, misalnya seseorang melakukan 100 kesalahan yang layak diazab, bisa jadi hanya 10 yang benar-benar mendapat balasan, sisanya dimaafkan oleh Allah. Ini bentuk kasih sayang-Nya.

Lalu pada ayat ke-31:

وَمَا أَنتُم بِمُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Dan kalian tidak dapat melemahkan (mengalahkan) kekuasaan Allah di bumi; dan kalian tidak memiliki pelindung maupun penolong selain daripada Allah.”

Ayat ini memperingatkan bahwa manusia tidak punya daya dan upaya untuk keluar dari kehendak Allah. Mereka tidak bisa menghalangi musibah jika Allah menghendakinya.


Ayat-ayat ini memberi pelajaran tarbiah yang sangat penting. Bahwa musibah yang terjadi di dunia ini—baik berupa banjir, longsor, kebakaran, wabah, atau pemanasan global—bisa jadi merupakan akibat dari ulah manusia sendiri: menggunduli hutan, melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa pertimbangan lingkungan, dan semacamnya.

Kita tidak mengharamkan tambang, karena itu adalah karunia dari Allah. Namun, penggunaannya harus dilandasi ilmu dan tanggung jawab, harus ada kajian lingkungan (AMDAL), berpikir jangka panjang: apakah ini bermanfaat untuk umat dan bangsa, atau hanya menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan masyarakat?

Semua ini adalah bentuk dari “bimā kasabat aydīkum”—disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia.

Apa yang Allah tegaskan dalam ayat ini sangat penting untuk kita perhatikan. Allah sudah banyak memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Artinya, sudah banyak diskon, sudah banyak dispensasi. Jika Allah benar-benar menghukum manusia sesuai dengan seluruh kesalahan yang mereka perbuat, niscaya dunia ini akan hancur binasa.

Namun, ketika manusia masuk neraka, itu benar-benar karena mujāzāt—yakni sebagai balasan yang setimpal. Mereka diajak beriman, tetapi mereka menolak. Mereka durhaka, menentang, bahkan melawan. Maka, pantaslah mereka mendapatkan balasan tersebut. Dan balasan dari Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā itu adalah bentuk keadilan.

Berkali-kali kita sampaikan bahwa ketika Allah memasukkan hamba-Nya ke dalam surga, itu adalah karena rahmat-Nya, bukan semata-mata karena amal. Sebab jika amal manusia ditimbang, sesaleh apa pun, tidak akan sebanding dengan nikmat surga yang Allah berikan.

Bahkan Rasulullāh ﷺ bersabda bahwa beliau pun masuk surga bukan karena amalnya, melainkan karena rahmat Allah. Maka, tidak ada seorang pun yang masuk surga murni karena amalnya. Karena kalau ditimbang-timbang antara amal seorang hamba dengan surga—“ora cucuk, Pak!” (tidak sebanding), selisihnya sangat besar.

Sebaliknya, ketika Allah mengazab manusia, baik di dunia maupun di akhirat, itu adalah balasan yang setimpal. Itu adalah ‘adālah—keadilan dari Allah. Dan meskipun demikian, Allah tetap banyak memaafkan. Sudah banyak kesalahan kita yang tidak dibalas, sudah banyak yang “di-diskon” oleh Allah.

Kalau semua kesalahan manusia benar-benar dihitung dan dibalas seluruhnya, tentu kondisi kita akan jauh lebih buruk dari sekarang.

Ada faedah tarbawiyah yang sangat penting dari ayat ini. Kita belajar dari bagaimana Allah bersikap kepada para hamba-Nya.

Ketika kita memberi kepada orang lain, atau berbuat ihsan kepada siapa pun—terutama kepada pasangan, anak, orang tua, tetangga, atau sahabat—mental kita seharusnya mental bonus, bukan mental hitung-hitungan. Berikanlah lebih, sebagaimana Allah memberi lebih kepada kita.

Sebaliknya, jika kita harus menghukum, menegur, atau membalas keburukan orang lain, jangan sampai kita berlaku zalim. Jangan sampai hukuman kita melebihi batas yang seharusnya. Kalau mau menghukum, ya sesuai dengan kadar kesalahannya. Kalau harus membalas, balaslah yang setimpal, tetapi jangan sampai berbuat zalim.

Dan inilah yang dilakukan Allah:

وَمَا ٱللَّهُ بِظَلَّـٰمٍۢ لِّلْعَبِيدِ “Dan Allah tidak berlaku zalim terhadap para hamba.”

Kalaupun Allah menghukum, itu murni karena keadilan-Nya. Bahkan ketika memungkinkan untuk memaafkan, Allah pun lebih memilih memaafkan. Maka jika kita bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak membalasnya, itu lebih baik. Namun jika memang harus membalas, jangan berlebihan, jangan sampai melebihi batas keadilan.

Kemudian, perhatikan firman Allah dalam ayat selanjutnya:

وَمَا أَنتُم بِمُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ ۖ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ “Dan kalian tidak akan dapat melemahkan (mengalahkan) kekuasaan Allah di bumi. Dan kalian tidak memiliki pelindung maupun penolong selain dari Allah.”

Kata “bimuk‘jizīn” dijelaskan oleh As-Sa‘dī sebagai berikut: “Muj‘izīn qudratallāhi ‘alaykum bal antum ‘ājizūna fī al-arḍ, lā yastaṭī‘u aḥadun imtinā‘ ‘ammā yunaffiduhullāhu fīkum.”

Artinya: “Kalian tidak memiliki daya apa pun untuk mengalahkan atau menghindari kekuasaan Allah. Kalian lemah di muka bumi. Tidak ada satu pun yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Apa pun yang Allah tetapkan atas kalian, kalian tidak mampu menahannya.”

Buah dari keyakinan ini adalah kita menjadi hamba yang tunduk dan taat kepada Allah. Kesadaran bahwa kita ini ‘ājiz—lemah, tidak berdaya—harus mendorong kita untuk senantiasa pasrah, taat, dan berserah diri kepada ketentuan Allah.

Sebagian manusia rela tunduk pada otoritas duniawi—penguasa, pemimpin, pejabat—karena merasa takut dan lemah di hadapan kekuasaannya. Tetapi anehnya, mereka tidak mau tunduk kepada Allah, padahal kekuasaan Allah jauh lebih besar dan tidak berbatas waktu.

Wali kota, bupati, gubernur, presiden—semuanya memiliki masa jabatan. Tapi kekuasaan Allah abadi dan tidak terbatas. Maka sangat tidak masuk akal jika manusia tunduk kepada yang lemah dan sementara, tapi tidak tunduk kepada Yang Mahakuasa dan Kekal.

Firman Allah dalam ayat ini:

“Wa mā antum bimuk‘jizīna fil arḍ, wa mā lakum min dūnillāhi min waliyyin wa lā naṣīr.”

…menegaskan bahwa kita tidak punya pelindung dan penolong sejati kecuali Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.

Di dunia ini, semestinya buah dari semua kesadaran tentang kekuasaan dan keagungan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah kita menjadi hamba yang taat kepada-Nya.

Sebagaimana sebagian manusia tunduk dan patuh kepada para penguasa dunia, kita pun melihat bagaimana masyarakat ketika diperintah oleh seorang pemimpin—mereka langsung merunduk, berebut untuk bersalaman, bahkan ada yang “menjilat”, karena merasa ‘ājiz—lemah, tak berdaya—sementara di hadapannya adalah seseorang yang memiliki otoritas, kekuasaan, jabatan, dan harta. Ia dianggap muk‘jiz—berdaya atas dirinya.

Itulah manusia. Dalam ukuran normal, wajar jika seseorang merendahkan diri di hadapan yang lebih kuat. Namun yang tidak normal adalah jika seseorang tidak mau taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, padahal kekuasaan Allah jauh melebihi segala kekuasaan yang ada.

Coba kita pikirkan: saat kita berhadapan dengan wali kota, bupati, gubernur, atau bahkan presiden sekalipun, kekuasaan mereka ada batasnya. Masa jabatan paling lama lima tahun, maksimal dua periode, atau harus diubah konstitusi jika ingin lebih. Lihat saja mereka yang baru lengser, apa dayanya sekarang?

Artinya, ‘ājiz kita (ketidakberdayaan kita) di hadapan mereka pun ada batasnya. Demikian pula kekuasaan mereka atas kita juga terbatas.

Namun jika kita bicara tentang ‘ājiz kita di hadapan Allah, dan betapa kuasa-Nya Allah atas manusia, itu tidak ada batasnya—baik waktu, tempat, maupun kekuasaan lainnya. Tidak ada yang dapat menandingi atau membatasi-Nya.

Lalu, mengapa kita tidak tunduk kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā? Mengapa kita tidak merunduk, tidak tunduk, bahkan dalam tanda kutip “menjilat” kepada Zat yang memang paling layak mendapatkan semua bentuk penghambaan dan ketundukan itu?

Bukankah kekuasaan-Nya tidak dibatasi oleh apa pun? Sementara kekuasaan dunia saling membatasi. Kekuasaan bupati dibatasi oleh DPRD, gubernur dibatasi oleh presiden, presiden bisa dibatasi oleh kekuatan ekonomi, oligarki, atau aturan konstitusi. Semuanya terbatas.

Tetapi kekuasaan Allah? Tidak terbatas. Maka tidak normal jika seseorang tidak mau tunduk kepada Zat yang kekuasaannya paling mutlak dan abadi.

Firman Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā:

وَمَا أَنتُم بِمُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ ۖ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Dan kalian tidak dapat melemahkan (mengalahkan) kekuasaan Allah di bumi, dan kalian tidak memiliki pelindung maupun penolong selain dari Allah.”

Dalam ayat-ayat ini, terkandung banyak poin tarbawiyah (pendidikan)—baik tarbiyah ruhiyah (spiritual), tarbiyah ṭabī‘iyah (melalui ciptaan alam), maupun tarbiyah nafsiyah (pendidikan diri).

Salah satu metode pendidikan yang sangat penting dalam ayat ini adalah uslūb at-tafakkur—metode berpikir. Bagaimana kita mendidik diri dan orang lain dengan mengajak untuk:

  • berpikir,
  • merenung,
  • mengamati,
  • melakukan observasi dan riset terhadap fenomena-fenomena yang ada di sekitar kita.

Dari pengamatan itu, kita simpulkan bahwa:

Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah Zat yang menciptakan segalanya dan karena itu, Dia-lah satu-satunya yang pantas untuk disembah.

Tafakkur—merenung dan berpikir—harus menjadi habit, kebiasaan dalam kehidupan kita. Segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita adalah ayat, tanda-tanda kekuasaan Allah, dan isyarat-isyarat-Nya yang harus kita tangkap sebagai orang yang berakal.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang senantiasa bertafakkur, mengambil pelajaran, dan memperkuat keimanan dari setiap ciptaan dan ketetapan-Nya.

Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/19/tafsir-tarbawi-surah-asy-syura-ayat-29-31-tafakkur-dan-tunduk-pada-sang-maha-kuasa/

Posting Komentar

0 Komentar