Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.
Kita kembali kepada kajian kitab al-‘Ibādāt al-Qalbiyyah wa Atsāruhā fī Ḥayāti al-Mu’minīn—ibadah-ibadah hati dan pengaruhnya dalam kehidupan orang-orang yang beriman.
Saya bacakan:
“‘Ibādah al-jawāriḥ aḥad al-ni‘am al-‘uẓmā wa arkān al-Islām, lakin lahā jawāniḥ min al-‘ibādah an-naw‘iyyah.”
Artinya: ibadah-ibadah fisik merupakan bagian yang sangat penting dan termasuk dari rukun Islam. Namun di balik itu, ia juga punya sisi ruhaniyah yang bersifat qalbiyyah (berbasis hati).
Ibadah-ibadah fisik yang kita lakukan—seperti salat, haji, berjihad, hadir ke majelis ilmu, bersilaturahmi, bertakziah dan sebagainya—tentu memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam kehidupan kita. Bahkan, amalan-amalan fisik tersebut menjadi bukti dari kebenaran iman yang ada di dalam kalbu kita.
Karena itu, tidak benar jika ada orang yang mengaku beriman tapi tidak salat, tidak puasa, tidak zakat, tidak berhaji ke Baitullah, atau tidak mengerjakan amalan-amalan lainnya yang berbentuk fisik dalam Islam.
Amalan-amalan fisik itu bukan hanya bagian dari rukun Islam yang kita ketahui bersama, tetapi juga menjadi bukti dari keimanan. Bahkan, bukti keimanan yang paling sederhana sekalipun.
Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa iman itu memiliki tingkatan—sebanyak 73 atau 79 tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah mengucapkan lā ilāha illā Allāh, dan yang paling rendah adalah imāṭat al-adzā ‘aniṭ-ṭarīq—menyingkirkan gangguan dari jalan.
Jadi ketika kita melihat duri atau gangguan di jalan, lalu kita tergerak untuk menyingkirkannya, maka itu adalah bagian dari iman. Tidak ada satu pun amalan dalam Islam kecuali di dalamnya ada kaitan dengan persoalan iman.
Para ilmuwan bahkan mengatakan: seluruh aktivitas manusia—politik, sosial, budaya, ekonomi, bahkan aktivitas ilmiah—itu adalah potret nyata dari keyakinan yang ada di dalam diri setiap orang.
Apalagi kita yang beragama Islam. Tidak mungkin seseorang mengatakan: “Yang penting hati saya baik, persoalan saya pakai baju atau tidak, itu tidak penting.” Itu tidak tepat. Karena baju yang kita pakai adalah potret nyata dari keimanan dalam diri kita.
Contohnya, bahkan sikap kita terhadap kucing yang ikut hadir di majelis ilmu, itu juga merupakan bagian dari potret keimanan. Sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentang seorang wanita yang disiksa dan dimasukkan ke neraka oleh Allah hanya karena persoalan seekor kucing. Ia mengurung kucing itu, tidak diberi makan, dan tidak dibebaskan untuk mencari makan sendiri. Maka ia diazab oleh Allah.
Perhatikan, itu hanya kucing.
Sekarang pertanyaannya: bagaimana kalau—mohon maaf—ada yang mendirikan panti asuhan, lalu anak-anak panti itu justru disodomi? Maafkan, ini memang sedang ramai diberitakan. Sementara, menyakiti kucing saja bisa membuat seseorang masuk neraka. Apalagi menyakiti anak manusia?
Hal seperti itu sama saja dengan apa yang sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan penyalur TKI. Mereka menjanjikan calon pekerja untuk diberangkatkan ke luar negeri, lalu dikumpulkan di asrama. Kadang diberi makan, kadang tidak.
Dalam Islam, meskipun orang tersebut memakai jubah seperti saya hari ini, tidak serta-merta bisa dikatakan ia beriman. Bahkan amalan-amalan fisik itu seharusnya menjadi tangga menuju ihsān.
Karena derajat tertinggi dalam keberagamaan adalah al-ihsān. Tingkatan terendah adalah Islam—melakukan hal-hal yang bersifat lahiriah. Lalu naik ke tingkatan iman, dan naik lagi ke tingkatan ihsān.
Kalau sudah sampai pada tingkatan ihsān, maka yang tampak di hadapan kita hanyalah Allah. Rasulullah menggambarkan: “Anta‘budallāh ka’annaka tarāh. Fa in lam takun tarāh, fa innahu yarāk.” “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu.”
Para ulama mengatakan: “Wa tālitu martabat al-iḥsān wa hiya rusuḫ al-qalb fīl-‘irfān ḥattā yakūn al-qalbu lā yasyhadu illā Allāh.” Derajat tertinggi dari keagamaan adalah ihsān, yaitu ketika hati kita larut dalam makrifat kepada Allah—hingga hati tidak menyaksikan selain Allah.
Orang yang telah mencapai derajat ihsān, menyaksikan perkara-perkara gaib seolah-olah nyata di depan matanya.
Ibu dan Bapak bisa bayangkan, kita semua percaya kepada malaikat maut. Dan faktanya, semua orang—tua, muda, bayi, muslim, nonmuslim—pasti meninggal dunia.
Beberapa hari lalu, Mas Ikhlas bertanya kepada saya, “Ustaz, ini ada tetangga meninggal dunia, beragama Katolik. Apa yang harus kami lakukan?” Saya jawab, tunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kehidupan sosial bermasyarakat. Silakan bertakziah. Tapi ketika misa pemberkatan jenazah dimulai, mohon pamit.
Bahkan saya dapat kabar, salah satu putra dari almarhum adalah seorang mualaf. Semua orang merasakan kematian. Tapi apakah keyakinan akan kematian itu memengaruhi hidup kita? Itulah persoalannya.
Maka saya katakan: keyakinan terhadap malaikat maut, kalau hanya sebatas doktrin, tentu berbeda dengan mereka yang merasa bahwa malaikat maut selalu mengiringi hidupnya dan sewaktu-waktu bisa menjalankan tugasnya. Itu pasti berbeda dalam cara hidupnya.
Biasanya orang yang menyimpang dalam hidupnya adalah orang yang lupa akan kematian.
Itulah makna ihsān.
Perhatikan firman Allah: “Wa-btaghi fīmā ātāka Allāh al-dār al-ākhirah wa lā tansa naṣībaka mina al-dunyā.” “Fokuslah kepada apa yang Allah anugerahkan kepadamu untuk akhirat, namun jangan lupakan bagianmu di dunia.”
Lanjutannya: “Wa aḥsin kamā aḥsana Allāh ilayk.” “Berbuat ihsanlah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu.”
Dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan objek dari perintah “berbuat ihsan”. Sebagaimana dalam ayat Iqra’ bismi rabbika alladzī khalaq—objek “yang dibaca” tidak disebutkan. Maka para ulama mengatakan, jika ada kata kerja yang membutuhkan objek tetapi objeknya tidak disebutkan, maka maknanya berlaku umum.
Begitu pula dalam ayat: Wa aḥsin. Berbuat ihsanlah kepada siapa saja: kepada binatang, kepada alam semesta, apalagi kepada manusia, bahkan kepada orang kafir pun kita tetap diperintahkan untuk berlaku ihsan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika engkau menyembelih hewan, berbuat ihsanlah.” Lalu bagaimana bentuk ihsan dalam menyembelih hewan? Yaitu dengan menajamkan pisau, menghadapkannya ke arah kiblat, dan menghindari agar hewan yang sedang menunggu giliran tidak melihat penyembelihan temannya. Itu adalah bentuk ihsan kepada hewan.
Demikian pula ihsan kepada tetangga non-Muslim. Mereka tetap memiliki hak yang dijamin dalam agama. Sebagai tetangga, jika mereka sakit, kita jenguk. Jika meninggal, kita boleh bertakziah. Bertakziah adalah bagian dari muamalah duniawiyah yang dibolehkan. Rasulullah sendiri pernah menjenguk pembantu beliau yang masih muda dan beragama Yahudi ketika ia sakit. Ini adalah teladan ihsan Rasulullah, bahkan kepada non-Muslim dan kepada hewan, apalagi kepada sesama manusia.
Itulah yang disebut martabat al-ihsan. Oleh karena itu, ibadah-ibadah zhahir yang kita lakukan menjadi bukti keberagamaan kita. Namun jangan lupa, ibadah fisik itu bisa terlihat dan dinilai orang: salat, memberi zakat, menyembelih hewan qurban, memberikan bantuan. Itu semua nyata. Tetapi jangan abaikan: ibadah hati (qalbiyyah) itu jauh lebih penting daripada ibadah-ibadah lahiriah. Bahkan pengaruhnya dalam kehidupan seorang mukmin lebih kuat.
Contohnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berdoa: “Allahumma inni a‘udzubika min khusyuu‘in nifaq.” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekhusyukan yang munafik. Para sahabat bertanya: Apa itu kekhusyukan yang munafik? Rasulullah menjawab, “Khusyuu‘ul badani wa fusuqul qalbi.” Yaitu badan tampak khusyuk, tapi hati menyimpan kemunafikan. Na’udzubillah.
Orang-orang munafik di zaman Nabi salat, bahkan di shaf paling depan. Mereka takbiratul ihram, rukuk, sujud, salam. Tetapi hati mereka menyimpan kedustaan dan kebencian terhadap Nabi dan kaum Muslimin. Maka salat mereka tidak bermakna di sisi Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda (meski sebagian ulama menganggap hadis ini lemah, namun maknanya benar secara substansi), “Barang siapa salat, tetapi tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka salatnya belum dikategorikan sempurna.”
Contohnya, seseorang bisa jadi tampak rajin ke masjid, tetapi lisannya menyakiti orang, emosinya meledak-ledak, dan hatinya penuh dengki. Itu bisa jadi bukan masalah pada salatnya secara lahiriah, tapi pada hati yang tidak hadir dalam salat.
Semua ibadah fisik harus diiringi dengan ibadah qalbiyyah. Contoh: puasa. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh ia menahan lapar dan dahaga.” Artinya, puasa bukan hanya menahan makan dan minum, tetapi juga menahan lidah, menahan nafsu, dan menahan dari kebohongan.
Namun jangan disalahpahami. Bukan berarti karena belum bisa meninggalkan dusta, maka tidak usah berpuasa. Justru dengan berpuasa, seseorang belajar dan melatih diri meninggalkan kedustaan. Tapi jika seseorang tetap berdusta, berbuat maksiat saat puasa, maka puasanya tidak membawa pengaruh. Rasulullah menyebut, “Betapa banyak orang yang hanya mendapat lapar dan dahaga dari puasanya.”
Demikian pula dalam qiyamul lail, salat tarawih. Banyak orang terlihat melaksanakannya, tetapi tidak mendapat apapun kecuali rasa lelah. Itu ibadah fisik. Tapi jika tidak menghasilkan adab, akhlak, etika—maka qalbunya belum beribadah.
Mengapa hal ini penting? Karena sesungguhnya yang merasakan kebahagiaan saat dekat dengan Allah bukan jasad, tetapi hati. Banyak orang ke masjid, tetapi mencuri. Banyak orang mendirikan pesantren, tetapi menista santri. Banyak yang belajar agama, tapi merusak pendidikan.
Kalbu sangat penting karena kalbu memiliki bahasa sendiri. Dalam teori komunikasi, ini disebut metakomunikasi atau intrakomunikasi—yakni komunikasi intrapersonal, berbicara kepada diri sendiri. Contohnya dalam Islam adalah doa.
Ketika seseorang berdoa, ia tidak melihat Allah, tetapi ia meyakini Allah hadir. Doa adalah bentuk komunikasi paling dalam dengan Allah. Misalnya doa yang sangat menyentuh:
“Yā Qayyūm, wahai Dzat yang Maha Hidup dan menghidupkan langit dan bumi. Untuk-Mu kami berpuasa, kepada-Mu kami salat, hanya kepada-Mu kami rukuk dan sujud. Aḥyī qalbī bima‘rifatika—hidupkan hatiku dengan ma‘rifat kepada-Mu. Ampunilah dosaku, karena tak ada yang dapat mengampuni selain Engkau.”
“Allāhumma innaka ḥāḍirun ladayya—sungguh Engkau hadir di sisiku. Aku yakin dan merasakan kehadiran-Mu. Engkau melihatku, Engkau mengetahui segala yang terjadi padaku.”
“Farzuqnī unsaka—anugerahkan kepadaku rasa rindu dan mesra dalam beribadah kepada-Mu. Waqzi fanī khawfaka—berilah aku rasa takut yang mendalam kepada-Mu.”
“Allahumma a‘laya tawakkaltu—kepada-Mu aku berserah diri. Farzuqnī rizqan kafilān—karuniakanlah aku rezeki yang cukup.”
“Allahumma radhdhinī biqadā’ik—buatlah aku rela dengan ketetapan-Mu. Waqanni‘ qalbī bi‘aṭā’ik—puaskan hatiku dengan pemberian-Mu. Wa ‘allimnī syukran ni’matik—ajarkan aku bersyukur atas nikmat-Mu.”
“Anta ḥasbī—Engkaulah pelindungku. Allāhumma arinī rawḍatal ḥayāt ma’aka—perlihatkan kepadaku taman kehidupan bersama-Mu.”
“Wa adhqinī ḥalāwata qirā’ati āyātik—berilah aku kenikmatan saat membaca ayat-ayat-Mu.”
“Wa in kuntu lastu ahlan lidzālik—jika aku tak pantas, fa anta ahlun lidzālik—Engkaulah yang layak memberi siapa saja yang Engkau kehendaki.”
Inilah doa yang penuh ihsan, komunikasi qalbiyyah yang menghadirkan Allah di hadapan hati kita.
Jangan seperti doa seseorang di Padang Arafah, Bu. Naik ke Jabal Rahmah, ceritanya sama Pak Kamiran Komar. Ada orang bau sekali sedang berdoa, tapi satu tangannya memegang es krim. Ini contoh yang tidak tepat. Itu namanya komunikasi intrapersonal yang tidak selesai.
Bu, kalau sedang marah pada suami, selesaikan dulu. Mohon maaf, kemarin saya terpaksa mengeluarkan satu santri dari sini. Selama 25 tahun saya tinggal di sini, tidak pernah saya dengar santri mengucapkan kata “anjing.” Tapi tiba-tiba ada satu santri yang latah berkata seperti itu kepada pengurus. Itu sangat menyakitkan. Saya usir dia. Tapi kemudian Allah tunjukkan pada saya dan Umi-nya Soki, saat kami makan es campur di dekat sekolah anak-anak SD di Condongcatur, ada tiga anak muda yang sedang ngobrol—dan kata “anjing” itu dilontarkan dengan sangat mudah. Seolah-olah biasa. Nauzubillah.
Saya khawatir, anak-anak kita hari ini menganggap ucapan seperti itu normal. Mereka gagal berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Padahal Nabi kita, ketika diusir dari Mekah, beliau bisa saja tinggal dan hidup nyaman karena punya keluarga dan status sosial. Tapi beliau memilih pergi ke Thaif. Saat dilempari penduduk Thaif, datang dua malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menimpakan bukit kepada penduduknya. Tapi Rasulullah menolak, karena dari sulbi mereka mungkin akan lahir orang-orang yang beriman. Beliau mengeluh bukan kepada manusia, tapi kepada Allah. Inilah bentuk meta-komunikasi.
Doa itu bahasa kalbu. Kalau kita ingin berdoa, berdoalah dengan bahasa yang kita pahami. Jangan paksakan bahasa Arab jika tidak mengerti. Nanti jadinya seperti orang yang berdoa sambil memegang es krim. Maka, Nabi Ayyub pun ketika diuji dengan sakit selama 18 tahun, keluhannya hanya kepada Allah. Begitu juga Nabi Yunus, Nabi Adam, semuanya menumpahkan doa dalam bahasa kalbu, bukan sekadar bahasa lisan.
Kalbu itu penting. Kalau kalbu sudah ditata, maka badan akan mengikuti. Kata para ulama, selain dari organ tubuh yang tampak, kalbu juga bisa bermaksiat. Jadi jika ada perilaku buruk yang keluar dari tubuh dan pancaindra kita, itu warna dari kalbu kita.
Kalau santri salat di kamar, masih bisa dibina. Tapi kalau sudah mengeluarkan kata-kata kotor, itu berat. Maka saya katakan, bukan berarti kamu anak buruk, tapi mungkin tempat ini bukan untukmu. Kami tidak mentolerir ucapan seperti itu. Karena satu kata itu prosesnya panjang.
Perilaku buruk itu menular. Maka harus ada ketegasan. Kalbu adalah tempat bersemayamnya ilmu, ketakwaan, rasa cinta, marah, dan juga waswas. Maka jika ingin terbebas dari waswas, yang harus dijaga adalah kalbu.
Waswas itu lintasan pikiran yang mengganggu. Misalnya orang yang sudah tua, selalu merasa akan mati. Padahal, mati itu tidak perlu ditakuti, tapi disiapkan. Yang tetap berlari menuju Allah adalah kalbu. Semua organ tubuh hanyalah pelayan bagi kalbu.
Insyaallah nanti kita akan bahas hambatan-hambatan ibadah qalbu. Ibadah fisik dibahas oleh Ustaz Fajar. Saya bahasnya ibadah qalbu.
Latihlah berbicara kepada Allah. Misalnya, Pak Hasan ingin menasihati anaknya yang jauh. Setelah salat, hadirkan wajah anaknya, lalu doakan seolah-olah sedang berbicara langsung.
Dulu saya memberi saran kepada ibu muda yang bayinya wafat usia 7 bulan. Setiap rindu, ia menangis dan membawa bunga ke makam. Saya sarankan, ganti dengan salat dua rakaat setiap kali rindu, lalu tumpahkan air mata di atas sajadah, baru ambil bunga. Ternyata lebih menyembuhkan. Ini cara recovery bagi ibu-ibu yang ditinggal anaknya.
Ada yang selalu membawa foto almarhum istrinya. Konsepnya: istri di dunia, istri di akhirat. Itu bagus, agar selalu terasa kebersamaannya. Insyaallah itu menjadi amal jariyah.
0 Komentar