Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Kita akan mentadabburi firman Allah Subḥānahu wa Taʿālā dalam Surah Asy-Syūrā. Pada pekan lalu, kita telah sampai pada ayat ke-20. Insyaallah, pada malam hari ini kita akan mentadabburi ayat ke-21 dan 22.
Tafaddal, silakan dibuka Surah Asy-Syūrā ayat 21 dan 22. Tafaddal, Mas Akmal. Bārakallāhu fīkum.
Surah Asy-Syūrā: 21–22
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ ٱلْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ ٱلظَّـٰلِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah ada sebelumnya, pasti (azab) telah ditimpakan kepada mereka. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang sangat pedih.” (QS. Asy-Syūrā: 21)
تَرَى ٱلظَّـٰلِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا۟ وَهُوَ وَاقِعٌۢ بِهِمْ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ فِى رَوْضَـٰتِ ٱلْجَنَّـٰتِ ۖ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْكَبِيرُ
“Kamu akan melihat orang-orang yang zalim merasa ketakutan karena (dosa-dosa) yang telah mereka perbuat, sedangkan azab itu pasti menimpa mereka. Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh berada di taman-taman surga. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Itulah karunia yang besar.” (QS. Asy-Syūrā: 22)
Pada pekan lalu, kita telah menyampaikan dua ayat yang begitu mulia. Ayat-ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang kelembutan, kasih sayang, dan kedermawanan Allah Subḥānahu wa Taʿālā kepada para hamba-Nya. Salah satu bentuk dari kemuliaan, kedermawanan, dan kelembutan Allah kepada para hamba adalah bahwa Allah pasti akan memberikan rezeki kepada mereka semua.
Di antara para hamba itu ada yang yasi‘ lahum ar-rizq, yakni Allah luaskan bagi mereka rezeki. Kita juga telah membahas penegasan Allah bahwa siapa pun yang menghendaki keuntungan akhirat, maka Allah akan menambahkan keuntungan itu baginya. Namun, barang siapa yang dalam hidupnya hanya mengharapkan keuntungan dunia, maka Allah akan memberikannya, tetapi ia tidak akan mendapatkan bagian apa-apa dari keuntungan akhirat.
Penegasan dalam dua ayat tersebut merupakan prinsip nilai-nilai mendasar yang sangat penting untuk kita tanamkan kepada anak-anak kita, keluarga kita, dan murid-murid kita. Ini merupakan bagian dari at-tarbiyah al-iqtiṣādiyyah (pendidikan ekonomi/finansial Islam).
Dalam pendidikan ekonomi Islam, hal pertama yang harus ditanamkan adalah keyakinan bahwa:
“Innallāha huwa ar-Razzāq”,
“Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Pemberi rezeki.”
Semua rezeki datang dari Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Sementara manusia, institusi, perusahaan, atau lembaga hanya merupakan perantara. Yang memberi rezeki sebenar-benarnya adalah Allah yang yarzuqu man yashā’, Laṭīfun bi-‘ibādihi, Allah yang Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya.
Selain itu, penting untuk memperkuat pemahaman bahwa akhiratlah yang harus menjadi cita-cita dan obsesi utama, bukan dunia. Sebab dunia, sekeras apa pun kita mengejarnya—apalagi jika sampai dengan merendahkan diri, meminta-minta kepada orang lain, tidak menjaga izzah (kemuliaan diri), dan tidak memiliki ‘iffah (menjaga kehormatan)—maka itu semua akan merendahkan derajat seseorang.
Apalagi jika sampai menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, menerjang larangan-larangan-Nya seperti mencuri, mengurangi timbangan, melakukan transaksi riba, bahkan korupsi dan merampok. Orang-orang seperti ini tidak memahami bahwa ar-rizqu maqṣūm: rezeki sudah ditentukan dan tidak akan salah alamat.
Namun, bagaimana kita mendapatkan rezeki itulah yang menjadi pilihan. Kita akan mendapatkan rezeki yang telah ditetapkan untuk kita, tanpa berkurang sedikit pun. Tapi kita punya pilihan: apakah rezeki itu akan kita raih melalui cara yang halal dan penuh keberkahan, ataukah dengan cara yang haram, penuh musibah, laknat, dan kerugian di dunia dan akhirat?
Ikhwah a‘azzakumullāh, apa yang telah kita sampaikan pada pekan lalu semoga dapat kita kokohkan dalam diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita.
Setelah Allah Subḥānahu wa Taʿālā menegaskan rubūbiyyah-Nya—bahwa Dia-lah yang memberi rezeki, Maha Lembut kepada hamba-Nya, dan Maha Kuat lagi Perkasa—Allah kemudian menegaskan pula aspek ulūhiyyah-Nya, dan menyindir perbuatan kaum musyrik Quraisy dalam firman-Nya:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu (selain Allah) yang menetapkan bagi mereka aturan agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” (QS. Asy-Syūrā: 21)
Ikhwah a‘azzakumullāh, Imam Ibnu Katsīr menjelaskan bahwa ayat ini menyindir mereka yang tidak mengikuti apa-apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepada seluruh umat manusia dalam agama yang mulia, tetapi justru mengikuti aturan dan syariat yang ditetapkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin maupun manusia. Mereka lebih memilih hukum buatan manusia dan meninggalkan syariat Ilahi yang penuh rahmat dan keadilan.
ada hal menarik yang dinukil oleh Ibnu Katsir, yakni sebuah hadits Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda:
رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ لُحَيٍّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ
“Aku melihat Amru bin Luhai menyeret isi perutnya di dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini merupakan kesaksian dari Rasulullah ﷺ dalam mimpi beliau. Amru bin Luhai adalah sosok yang menyeret isi perutnya di neraka, maksudnya adalah ia melemparkan dirinya ke dalam neraka.
Dalam penjelasan disebutkan:
وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ غَيَّرَ دِينَ إِسْمَاعِيلَ، وَهُوَ الَّذِي حَمَلَ قُرَيْشًا عَلَى عِبَادَةِ الْأَصْنَامِ
Artinya: “Dialah orang pertama yang mengubah agama Nabi Ismail ‘alaihis salam, dan dialah yang membawa kaum Quraisy kepada penyembahan berhala.”
Amru bin Luhai adalah seorang bangsawan pada zamannya yang pertama kali mengenalkan ‘ibādatul ash-nām (penyembahan berhala) kepada masyarakat Quraisy. Ia yang mensyariatkan suatu agama yang tidak diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka, Ibnu Katsir menukil peristiwa ini sebagai tafsir dari firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (tuhan-tuhan) yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak karena ketetapan yang telah ada dari Allah, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih.”
(QS. Asy-Syūrā: 21)
Ikhwah fillah a‘azzakumullāh, inilah yang disebut sebagai tasyrī‘, yaitu membuat syariat, hukum, dan aturan. Hak membuat syariat sepenuhnya hanya milik Allah Azza wa Jalla. Dalam istilah yang digunakan oleh Sayyid Quthb, hal ini disebut sebagai tauhid mulkiyyah.
Sebagian ulama membagi tauhid menjadi empat:
- Tauhid Rubūbiyyah
- Tauhid Ulūhiyyah
- Tauhid Asmā’ wa Shifāt
- Tauhid Mulkiyyah (disebut juga Tauhid Hākimiyyah)
Tauhid Mulkiyyah berarti mengesakan Allah dalam hal pembuatan hukum dan perundang-undangan. Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak menetapkan syariat dan aturan yang wajib ditaati. Firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yusuf: 40)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
(QS. Al-Mā’idah: 44)
Artinya, siapa pun yang membuat aturan dan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, maka mereka telah menyaingi kedudukan Allah dalam hal pembuatan syariat, sebagaimana disebut dalam ayat:
شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
Mereka mensyariatkan sesuatu dari agama yang tidak diizinkan oleh Allah.
Ini adalah pelajaran penting dalam tarbiyah siyāsiyyah (pendidikan politik). Siapa pun kita — ketika menjadi pemimpin dalam level apa pun — jangan sampai kita menetapkan aturan atau kebijakan yang bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Biasanya, para pemimpinlah yang membuat kebijakan dan regulasi. Maka, jika kita mendapat amanah dalam struktur yudikatif, legislatif, atau eksekutif — terlebih lagi jika kita menjadi pembuat undang-undang — maka jangan sampai kita membuat aturan yang bertentangan dengan wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya ﷺ.
Jika aturan itu berkaitan dengan hal duniawi (al-umūr ad-dunyāwiyyah) yang tidak ditetapkan oleh syariat, maka kita boleh membuatnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُورِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
Namun jika berkaitan dengan urusan ibadah, terutama ibadah mahdhah, atau urusan mu‘āmalah yang sudah ada ketetapan syariatnya, maka tidak boleh kita membuat aturan yang bertentangan dengannya. Jika tidak, kita termasuk dalam kategori:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
Yakni, seolah-olah menjadi sekutu-sekutu Allah yang ikut menetapkan agama tanpa izin-Nya.
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah berfirman:
وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan sekiranya tidak karena ketetapan (yang telah ditetapkan Allah) pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih.”
(QS. Asy-Syūrā: 21)
Kata Ibnu Katsir, maknanya:
لَوْلَا مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْكَلِمَةِ لَعُجِّلَ لَهُمُ الْعِقَابُ
“Kalau bukan karena ketetapan Allah yang mendahului, niscaya mereka akan disegerakan azabnya.”
Namun Allah menangguhkan azab mereka hingga Hari Kiamat.
Allah lalu berfirman:
وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan mendapatkan azab yang pedih.”
Al-Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan zhālimīn dalam ayat ini adalah al-musyrikīn (orang-orang musyrik). Hal ini tidak bertentangan dengan tafsir lain karena kesyirikan adalah bentuk kezaliman yang paling besar. Sebagaimana disebutkan dalam ayat:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqmān: 13)
Zalim artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dan orang-orang yang menyekutukan Allah dalam ubudiyah (ibadah) telah menempatkan ibadah bukan kepada Sang Khaliq, tetapi kepada makhluk. Ini adalah bentuk kezaliman paling nyata.
Allah melanjutkan firman-Nya:
تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ
“Engkau akan melihat orang-orang yang zalim itu sangat ketakutan karena dosa-dosa yang telah mereka lakukan, dan azab itu pasti menimpa mereka.” (QS. Asy-Syūrā: 22)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ ۖ لَهُم مَّا يَشَاءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka berada di dalam taman-taman surga. Mereka memperoleh di dalamnya apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Itulah karunia yang besar.” (QS. Asy-Syura: 22)
Ayat ini menggambarkan kondisi yang berbalik dari yang Allah jelaskan dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat ke-19. Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bagaimana kondisi orang-orang beriman di dunia ini dalam kaitannya dengan ancaman azab.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا مُشْفِقُونَ مِنْهَا
“Dan orang-orang yang beriman itu merasa takut terhadapnya (azab).” (QS. Asy-Syura: 18)
Berbeda dengan orang-orang kafir yang justru:
يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِهَا
“Orang-orang yang tidak beriman kepadanya meminta agar azab itu segera datang.” (QS. Asy-Syura: 18)
Orang-orang kafir bukan merasa takut, malah menantang. Mereka berkata, “Kalau memang benar apa yang kamu katakan, wahai Muhammad, tentang azab, mana buktinya? Turunkan sekarang!” Mereka mempermainkan ancaman azab dengan sikap pongah dan meremehkan.
Namun nanti di akhirat, kondisinya akan berbalik. Orang-orang kafir yang sebelumnya menantang dan menyepelakan, akan menjadi sangat takut dan gemetar saat akan dimasukkan ke dalam neraka. Sementara orang-orang yang beriman, yang di dunia takut dan khawatir terhadap azab, justru tidak akan merasakan ketakutan dan kekhawatiran lagi. Mereka akan masuk ke dalam Raudhatul Jannah (taman-taman surga).
لَهُمْ مَّا يَشَاءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ
“Bagi mereka apa saja yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka.”
Al-Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan dengan sangat indah makna ayat ini. Beliau berkata:
“Maka janganlah engkau bertanya tentang nikmatnya taman-taman surga yang subur itu, tentang apa yang ada di dalamnya: sungai-sungai yang mengalir, padang rumput yang hijau, pemandangan yang indah, pohon-pohon yang berbuah, burung-burung yang berkicau, suara-suara yang merdu, pertemuan dengan orang-orang yang dicintai, kebersamaan serta persahabatan yang hakiki. Keindahan dan kemegahan taman itu semakin bertambah seiring berjalannya waktu, dan para penghuninya semakin rindu akan kenikmatan dan kasih sayang yang ada di dalamnya.”
Selain itu, kenikmatan terbesar bagi penghuni surga adalah laddatu an-nazhar ilallah (kenikmatan memandang wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana firman-Nya:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26)
“Tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama sebagai melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ (٢٢) إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (٢٣)
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
(QS. Al-Qiyamah: 22–23)
Ada yang bisa melihat wajah Allah setiap saat, pagi dan petang, ada yang hanya sesekali, bahkan ada yang tidak mendapatkannya sama sekali. Ini adalah kenikmatan luar biasa yang menjadi puncak dari seluruh kenikmatan surga.
Dalam ayat ini juga terkandung pelajaran tarbawi yang penting. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan metode pendidikan uslub at-targhib wa at-tarhib, yaitu metode mendidik dengan memberikan motivasi dan juga peringatan.
Targhib adalah pendekatan pendidikan dengan memberi kabar gembira, iming-iming, dan janji akan hal-hal yang dicintai oleh jiwa manusia, agar mereka terdorong melakukan kebaikan.
Sedangkan tarhib adalah pendekatan pendidikan dengan menakut-nakuti, memberi peringatan akan siksa, azab, atau hal-hal yang dibenci oleh jiwa manusia, agar mereka menjauhi maksiat.
Dalam ayat ini, meskipun tarhib-nya (peringatan azab) disebut terlebih dahulu, tetapi targhib-nya (janji surga) menjadi penutup yang indah. Ini karena ayat sebelumnya masih berkaitan dengan kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka yang membuat aturan agama sendiri, menyelisihi syariat Allah.
Ada beberapa poin tarbawi yang dapat kita ambil dari ayat ini:
- Tarbiyah Siyasiyah (Pendidikan Politik): Bahwa hak membuat hukum (tasyri’) hanyalah milik Allah. Maka siapa pun yang memiliki wewenang membuat aturan, kebijakan, dan hukum, harus menjadikannya sejalan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Uslub At-Targhib wa At-Tarhib: Metode pendidikan yang bisa diterapkan dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan kehidupan sosial, dengan cara memberikan motivasi dan juga peringatan, sebagaimana yang Allah lakukan kepada hamba-hamba-Nya dalam Al-Qur’an.
0 Komentar