Al-Ghazālī dan Jalan Menuju Kepastian: Antara Keraguan, Akal, dan Rasa

Oleh Hamdan Maghribi

Pendahuluan

Abū Ḥāmid al-Ghazālī, tokoh pemikir besar Islam abad ke-11, tidak hanya dikenal sebagai mutakallim dan filsuf, tetapi juga seorang pencari kebenaran yang penuh gelisah. Ia menggugat semua sumber pengetahuan yang pernah ia yakini: persepsi indrawi, akal rasional, otoritas guru, bahkan pengalaman spiritual. Dalam al-Munqiḍ min al-alāl, Ghazālī menggambarkan dirinya mengalami krisis epistemologis; ragu terhadap segalanya, bahkan terhadap kemampuan akalnya sendiri. Namun dari pusaran keraguan itu, ia justru menemukan jalan menuju kepastian, sebuah jalan yang melewati akal, diterangi wahyu, dan disempurnakan dengan pengalaman sufistik. Tulisan ini ingin membuka kerangka epistemologi Ghazālī, menempatkan keraguan (al-syakk) dan kepastian (al-yaqīn) sebagai dua sisi dari koin pencarian kebenaran.

Keraguan sebagai Titik Awal Pengetahuan

Al-Ghazālī tidak memulai pencariannya dari iman taqlīdī (mengikuti tanpa memahami). Ia mencurigai semua bentuk otoritas; baik taqlīd, persepsi indrawi, hingga rasionalitas murni. Ini bukan keraguan karena kelemahan iman, melainkan keraguan metodologis yang digunakan untuk menggali fondasi kebenaran yang sejati.

Ia menyebut kondisi ini sebagai safsaah (sofistik), bentuk skeptisisme Yunani yang dalam Islam merujuk pada keraguan ekstrem. Namun berbeda dengan skeptisisme Yunani yang bersifat suspensif, al-Ghazālī tidak tinggal dalam keraguan. Ia menggunakannya untuk membedakan mana pengetahuan yang bisa diandalkan dan mana yang tidak.(Al-Ghazālī 1962)

Fondasi Pengetahuan: Akal, Firah, dan Cahaya Ilahi

Melalui krisis epistemologisnya, al-Ghazālī menyadari bahwa semua argumentasi rasional pada akhirnya membutuhkan asumsi pertama; yang tidak bisa dibuktikan dengan logika lanjutan tanpa jatuh pada infinite regress. Di sinilah ia memperkenalkan konsep “cahaya ilahi” (nūr ilāhī) yang ditanamkan Tuhan dalam hati manusia, yang memungkinkan manusia untuk “melihat” kebenaran langsung tanpa perantara argumentasi.(Al-Ghazālī 2000)

Ini bukan berarti al-Ghazālī menolak akal. Ia tetap menghormati akal sebagai alat penting, tetapi bukan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Cahaya ilahi tidak menghapus akal, melainkan menyempurnakannya. Dalam istilah modern, al-Ghazālī bisa disebut seorang foundationalist, yang percaya bahwa pengetahuan harus berakar pada dasar yang tak bisa diragukan.

Yaqīn: Memetakan Kepastian

Ghazālī mengklasifikasikan kepastian (yaqīn) ke dalam beberapa level; Syakk (keraguan): keadaan batin yang netral antara dua kemungkinan. ann (dugaan): condong ke satu sisi, tapi masih membuka kemungkinan lawan. I‘tiqād (keyakinan biasa): sikap mantap tapi tidak didasari bukti demonstratif. dan Yaqīn (kepastian): pengetahuan tak terbantahkan yang diperoleh melalui burhān (demonstrasi logis), pengalaman langsung (iss), atau pengamatan berulang (tawātur).(Griffel 2009)

Namun bagi Sufi, ada jenis kepastian lain: kepastian yang melibatkan hati, yang tidak sekadar bebas dari keraguan tapi mendalam dan membekas dalam jiwa. Al-Ghazālī menyebut ini sebagai aqq al-yaqīn, kebenaran yang mengakar dalam jiwa seperti api yang membakar tubuh.

Filsafat dan Tasawuf: Dua Jalan Menuju Kepastian

Salah satu kontribusi besar al-Ghazālī adalah penolakannya atas dikotomi ‘palsu’ antara filsafat dan tasawuf. Al-Ghazālī bukanlah seorang yang berpindah dari filsafat ke tasawuf, tetapi seseorang yang merangkul keduanya. Ia menerima banyak unsur filsafat Ibn Sīnā, tetapi menyusunnya ulang dalam kerangka Sufi.

Dalam Iyā’ ʿUlūm al-Dīn, al-Ghazālī berbicara tentang kepastian yang tumbuh dari amal, pengendalian diri, kesabaran, dan hubungan langsung dengan Tuhan.(Al-Ghazālī 2005) Dalam karya-karya filsafatnya, seperti Maqāṣid al-Falāsifah dan Tahāfut al-Falāsifah, ia menegaskan pentingnya demonstrasi logis, tapi juga menunjukkan batasannya.(Al-Ghazālī 1936, 2000)

Kritik terhadap Otoritas dan Jalan Tengah Epistemologis

Dalam kritiknya terhadap kaum iniyyah (Ismāʿīliyyah), al-Ghazālī menolak konsep otoritas mutlak (taʿlīm) yang menggantikan akal. Ia juga mengkritik para filsuf yang meletakkan akal sebagai sumber kebenaran mutlak. Al-Ghazālī justru menunjukkan bahwa kepastian sejati harus dicari di titik temu antara akal dan wahyu; antara burhān dan ilhām.

Dengan kata lain, kepastian sejati adalah dialog antara apa yang masuk akal dan apa yang disingkap oleh hati.(Griffel 2005)

Refleksi tentang bagaimana pemikiran al-Ghazālī tetap relevan di dunia modern yang skeptis-relativis. Di tengah suara yang sering meragukan semua hal, al-Ghazālī mengajarkan bahwa keraguan bukan musuh iman, tetapi justru batu loncatan menuju keyakinan. Ia mengajarkan bahwa iman yang matang bukanlah iman yang membutakan, tetapi iman yang telah melewati dan menerangi jalan panjang keraguan, penalaran, dan pengalaman spiritual.

Penutup

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa epistemologi al-Ghazālī bukanlah sejarah intelektual semata, melainkan peta jalan bagi setiap pencari kebenaran. Al-Ghazālī mengajarkan bahwa yang dicari bukan hanya kebenaran di atas kertas dan tulisan, tetapi kebenaran yang menyinari hati dan memandu laku kehidupan.

Dalam dunia yang serba cair, dinamis, dan penuh tanya, al-Ghazālī hadir sebagai sahabat spiritual dan intelektual yang membimbing kita dengan ungkapan; ragu itu boleh, tapi jangan berhenti dalam keraguan, pastikan jawaban dari setiap keraguan. Karena, sebagaimana yang al-Ghazālī alami dan temukan, cahaya kepastian akan menyinari hati siapa pun yang terus berjalan.

Bahan Bacaan

Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. 1936. Maqāṣid Al-Falāsifah. Edited by Muḥammad Sa‘īd Al-Kurdī. Cairo: al-Maṭba‘ah al-Maḥmūdiyyah al-Tijāriyyah.

———. 1962. Al-Iqtiṣād Fī Al-I‘Tiqād. Edited by I.A. Cubukcu and H. Atay. Ankara: Nur Matbaasi.

———. 2000. Tahāfut Al-Falāsifah. Edited by Michael Marmura. Provo (Utah): Brigham Young University Press.

Al-Ghazālī, Muḥammad Abū Ḥāmid. 2005. Iyā’ ‘Ulūm Al-Dīn. Riyāḍ: Dār Ibn Ḥazm.

Griffel, Frank. 2005. “Taqlīd of the Philosophers: Al-Ghazālī’s Initial Accusation in His Tahāfut.” In Ideas, Images, and Methods of Portrayal, 273–96. Leiden, The Netherlands: Brill. https://doi.org/10.1163/9789047407263_016.

———. 2009. Al-Ghazali’s Philosophical Theology. Oxford: Oxford University Press.

Read more: https://www.tabligh.id/2025/06/12/al-ghazali-dan-jalan-menuju-kepastian-antara-keraguan-akal-dan-rasa/

Posting Komentar

0 Komentar